Monday, November 7, 2016

What's Your Up To, Pet?

Tak ada yang lebih indah dari sebuah kejujuran yang dirangkai dalam sebuah tulisan blog. Karena itu mungkin sudah jarang ditemui.





Satu postingan dari teman di blog Dismantle menampilkan tulisan tentang teman saya yang merasa kecewa terhadap saya karena memperlakukan zine yang ditulisnya untuk satu acara dengan tidak semestinya. Saya paham kekecewaannya, karena sebelumnya sempat berdialog di chat whatsapp soal alasan dan kenapa bundling zine dan kaset itu terjadi.

Saya selalu respek dengan kedua teman saya ini, mereka mendirikan label yang kemudian menjadi inspirasi bagi saya dan kedua teman untuk membuat label bernama Anoa Records. Kami tahu passion mereka yang khas dari setiap rilisannya, termasuk dari acara-acara yang mereka buat, yang saya terkadang berpikir label, band, dan penikmat rilisannya adalah the scene that celebrated itself, literally. Tak ada yang buruk untuk itu, its just so perfect that way, and i adore them.

Dan ketika saya menggulirkan ide acara Popcore, termasuk dengan soal zine, dan siapa yang menulis, serta kebebasan apapun yang ditulis, sosok pria bernama Tiok adalah hal yang manis. Dia menulis blog letskissasecret yang begitu saya sukai karena mengkritik saya karena telah membuat Anoa Records menjadi membosankan dengan rilisan terakhirnya hahahah

Klarifikasi yang bisa saya sampaikan tak ada sedikitpun niatan untuk me-sell out-kan zine tersebut, karena soal bundling adalah hal yang biasa. Dan distribusi zine tak akan ekslusif dan bisa dibeli terpisah. Bahkan saya kasih gratis ke beberapa orang.

Bahkan acara Popcore, agendanya sederhana, menampilkan tiga band keren yang dikurasi dengan selera subjektif, yang mana bandnya jarang dan gak punya kesempatan untuk ditonton orang, itu saja. Nggak ada itu yg hal-hal berbau sponsor atau infiltrasi dari label untuk meminta bandnya main di acara ini. Toh bandnya juga gak menjual. Apa yang mau dijual. So far yang nonton cuma 20-30 orang. Sepertinya selaras dengan agenda politik dari zine, saling melengkapi. For fun sake only.

Dan bicara soal acara ini ada dua pilihan: menjadi khas acara yang menyasar big audience di kemudian hari lalu berujung boring atau khas acara yang small audience tapi tetap sexy, pilihan terakhir yang akan dipilih. Namun jika misalnya semakin banyak yang mau datang dan menonton acara ini, tapi kurasi band2nya tetap 'true', yah apa mau dikata. Tapi itu saya yakin tak akan terjadi. Yakin. Hahaha

Mendapati blog atau tulisan yang mengkritik, jelas hal yang sangat menyenangkan. Tiok masih mau menulis zine. Popcore sudah akan jalan 3 volume. Tahukah jika bahkan zine Popcore pertama mencela nama acara dan cover kaset hahahaha the most hilarious side of honesty. Dan itu menyenangkan.

Collapse - Grief

Band proyekan pribadi dari personil band HC A.L.I.C.E bernama Collapse merilis sebuah EP yang keren. Hal terbaik yang akhirnya muncul sejak Barefood merilis EP Sullen.



Pertama kali mendengar single dari EP Collapse, Given, saya mendapati perasaan seperti ketika Anoa Records merilis EP Sullen, yaitu fresh as fuck. Begitu kerennya karena Andika Surya si otak dari Collapse menghadirkan materi-materi yang mungkin belum ada di band-band lokal, indie rocker dengan nuansa rada dreamy. Dan materinya solid dan enak didengar.

Mungkin orang-orang akan menilai jika musiknya khas yang dibawakan band semacam Nothing, indie rocker yang meracik musik dengan reverb, tapi overall, album EP Grief ini tak mengecewakan. Dirilis oleh Royal Fawns dalam dua format, yaitu kaset dan cd. Konsep rilisan oke, meski menurut saya, lagunya masih terlalu sedikit, dan andai dibuat album, saya rela untuk menantinya lebih lama.

Saya setuju dengan pendapat Dede Wastedrockers soal jam terbang yang membuat Dika bisa mulus dengan Collapse. Dan itu kenapa saya berani bilang, Collapse adalah hal terbaik yang akhirnya muncul setelah Barefood, untuk musim semacam indie rock di tanah air.



Sunday, October 23, 2016

Seaside: Ending the Undone

Satu postingan semalam di Instagram milik Seaside menyatakan bahwa band indiepop dreampop asal Jakarta ini bubar. Mewariskan Undone, album yang beautfully gorgeous.





Ketika postingan itu muncul, saya berpikir, wow, band sebagus itu bubar. Band dreampop indiepop lokal yang menurut saya paling memikat dari semua band yang pernah ada. Jika kamu pernah membeli cd album pertama mereka Undone, mungkin saja bisa setuju pendapat saya. Album yang intimate and sensual at the same time.

Dan menyadari bahwa Seaside bubar, jadi berpikir mungkin saya tak akan menemukan lagi band seperti mereka. Album Undone adalah karya yang begitu bagus dari sisi lirik dan musik. Bagi saya Andi Hans dan Stacy (vokalis album Seaside yang juga membuat lirik dan musik) seperti Johnny Marr dan Morrissey, keduanya menghasilkan chemistry yang kuat dan terlihat dari lagu-lagu di album tersebut.

Bahkan ketika Stacy keburu memutuskan mundur menjelang dirilisnya album Undone, saya tetap menyukai band ini. Namun memang menghilangnya Stacy jelas mengurangi warna Seaside yang orisinil. Saya pikir bagi mereka yang pernah menonton Seaside saat masih bernama Carnaby atau Fawnes, tentu bisa memahami maksud saya.

Merilis dan memiliki roster macam Seaside adalah satu momen terbaik bagi kami di Anoa Records. Saya masih ingat bagaimana dahulu kami memilih Seaside sebagai rilisan kedua setelah Barefood. Dahulu sebenarnya kami hendak merilis Whistler Post, band Andi Hans dan istrinya saat itu. Namun karena keburu diambil label lain.

Kemudia Hans mengajak saya dan Andri ke studio Heyfolks dimana band lainnya bernama Seaside sedang rekaman. Ketika Hans memutarkan draft lagu kepada kami di luar studio, hanya cukup 10 detik saja mendengarkan materi, kami berdua langsung 'memaksa' Andi Hans untuk membiarkan kami saja yang merilis album Undone hahaha

Seaside formasi Undone
Dan ketika kami baru menyelesaikan produksi CD dan mulai distribusi di jaringan kami, sebulan kemudian muncul kabar Stacy mundur karena urusan keluarga dan pekerjaan di luar negeri. Terpaksa Tania membantu Seaside dan Cassandra, gitaris Seaside juga menjadi vokalis dadakan.

Beberapa lama kemudian Seaside mulai memasukkan darah baru yang berbakat seperti Trisca dan kemudian Woro. Beberapa materi sudah direkam yang cukup melelahkan untuk album kedua. Beberapa kali manggung, lagu-lagu baru dimainkan dan jujur saja, materi yang bagus dan enak didengar, berbeda dengan warna album Undone, pilihan yang bijak sebenarnya.

Saya tahu cukup banyak yang menantikan album kedua mereka. Termasuk album pertama mereka yang jujur saja sudah tak ada di gudang dan banyak returan CD dan hasil titip jual yang tak lancar dari beberapa tempat.

Tapi pada akhirnya tak semudah yang dibayangkan. Saya pikir motor Seaside tetap pada Andi Hans meski ditinggal Stacy. Dan meski Hans pernah bilang kepada saya kalau dirinya beberapa waktu lalu menjadi personil adisional Seaside (entah becanda atau nggak), saya pikir ketika kehilangan partner bermusik yang sudah satu chemistry seperti Stacy, tentu akan berbeda passionnya.

Entah apa alasan sesungguhnya, tapi bagi saya Seaside jika sudah bubar, ya bubar saja. Bahkan justru lebih baik bubar, karena band yang keren adalah band yang tahu diri jika saatnya berhenti. Sepertinya halnya The Smiths, ketika Johnny Marr yang memulai dan mengakhirinya sendiri dengan cabut dan band itu bubar. Gitu aja.


Thursday, October 6, 2016

Popcore Vol.1

Akan sangat aneh jika saya membahas acara yang kebetulan saya juga terlibat didalamnya. Yang bisa saya kasih tahu adalah acara Popcore adalah acara musik reguler per bulan di setiap hari Sabtu di akhir bulan. Edisi pertama berlangsung pada Sabtu, 24 September lalu di Borneo Beerhouse.



Tiga band menjadi line up di setiap volume-nya, di edisi pertama Sharesprings, The Silent Love dan Fernie Sue menjadi pengisi acara tersebut. Tak lupa paket Popcore yang berisikan kaset kompilasi dari line up acara, lalu ada juga zine Popcore karya Toi, yang don't give a damn if you despise and loathe with his writings.

Mungkin ada satu hal yang mengganggu, Kumaha the hell, band sekeren Fernie Sue cuma sekali dalam setahun manggung, dan baru kali ini mereka manggung untuk kedua kalinya di acara Popcore? Mereka butuh gig, pastinya. Damn it.

Berikut pepotoan dan sebagainya dari Popcore.



















Popcore Vol.2 akan berlangsung pada hari sabtu 29 Oktober, kemungkinan di tempat yang sama dengan pengisi Hellens, Zzuf, dan the Sweetest Touch.

Thursday, July 7, 2016

Tentang Poptastic! dan Kenangannya (from letskissasecret's blog)

Blog bernama Letskissasecret mewawancari orang yang bertanggungjawab atas keberadaan sebuah acara bernama Poptastic! yang legendaris. Obrolan yang menyegarkan dan informatif tentang acara indiepop pertama.



Nama acara Poptastic! sudah saya dengar dahulu di 2000-an. Acara musik indiepop di Bandung yang menjadi omongan, dan band-band yang tampil pun keren. Termasuk kasetnya, Delicatessen, kompilasi band yang pernah saya beli lalu hilang. Saya belum pernah mampir ke acara ini, jadi cuma denger dari kisah teman saja.

Sosok pendirinya pun baru saya kenal dua tahunan ini di facebook. Namanya Sutuq. Ketemuan pun juga beberapa minggu lalu di sebuah acara Heyfolks di Monka. Orangnya baik dan ramah. Jadi obrolan intens soal musik yang kami suka, dan sebagainya pun belum pernah terjadi.

Sampai tadi pagi saya melihat link blog teman, berisi wawancara bersama Sutuq tentang Poptastic! dan pengalaman pribadinya. Akhirnya ada sebuah interview tentang acara ini, dan betapa pentingnya orang ini karena dia turut berjasa menghadirkan acara dan musik tersebut dalam passion yang tepat.

Bicara passion, saya rasa ini penting, karena kita bisa memahami cara kita untuk meletakkan apa yang kita suka pada cara yang benar dan tak melulu mencari uang. Semua orang butuh makan/uang, tetapi saya berpikir back to and back for the kids, rasanya itu tak boleh hilang. Namun saya tak khawatir sih, masih banyak teman-teman dan acara2 kecil non profit yang tak seperti itu :)

Mari kita simak!

poptastic!

saya hanya tahu poptastic! seperti one-man run indiepop club dan adalah sutuq. tapi dia menghilang saat baru sekali saya melakukan kontak.
sekarang sutuq kembali, saya seperti tidak bisa untuk tidak melakukan interview yang beberapa kali dia jawab dengan mengatasnamakan 'kami'. tapi siapa yang lain, saya tidak pernah berniat tahu. lagipula ini bukan riset sejarah.

saya selalu tahu poptastic! adalah indiepop club di bandung. sebelum akhirnya kamu memposting rilisan lama di bawah nama yang sama. bagaimana semuanya dimulai?

betul sekali. kala itu sederhana aja sih, saya ingin membuka telinga teman teman bahwa selain britpop ada juga yang lain. karena kebetulan saya sempat berdomisili di hamburg, jerman, terpikirlah untuk bikin kompilasi obscure pop bands yang berasal dari jerman. jadilah rilisan pertama poptastic! yang berjudul tonista supadupa freshpop german pop compilation. saya lupa, entah berapa rilisan kaset pada saat itu.
sebetulnya kami juga sempat merilis kompilasi bootleg yang bermuatan bands seperti, spearmint, blueboy, chapterhouse, red sleeping beauty, belle and sebastian yang kala itu (tahun 2000) masih hanya bisa terakses oleh segelintir orang saja.
seiring berjalan nya waktu, ditandai munculnya bands lokal yang mulai out of the box (box=britpop) seperti blossom diary, the sweaters dan lain sebagainya, timbul pula keinginan untuk lebih memperkenalkan band-band lokal tersebut. kami pun merilis untuk yang kedua kali kompilasi band lokal yang bertajuk delicatessen. fisiknya kaset dan hanya sekitar 150 pcs yang kami jual karena keterbatasan kemampuan.
kurang lebih begitulah semuanya bermula. terlalu naif kalau seandainya saya bilang, saya tidak mempunyai rasa riya ketika melakukan itu semua. hahahah.

ah ya. saya menyadari postingan kamu tentang jerman. apakah indiepop club nya juga mulai di hamburg? apa saat itu label firestation sudah ada? apa hamburg dan berlin kota yang berdekatan? berlin punya arti yang lumayan dalam untuk saya dan adi! 

yang saya mulai sebetulnya di indonesia, bandung januari 2000. yang punya gagasan soulmate saya, nhanha a.k.a nishkra. kala itu kita berkoordinasi via mIRC, haha, #dreampop tepatnya. saya di hamburg, nhanha di melbourne. sampai sekarang kami berteman baik, dan hal seperti ini lah yang saya harapkan ketika musik jadi jembatan atau sebab timbulnya hubungan baik buat para pelakunya.
setelah poptastic! yang pertama saya pun kembali ke hamburg dengan sejuta good nostalgia dari bandung dan jakarta. melalui PPI (Pesatuan Pelajar Indonesia) hamburg, saya pun meng-arrange poptastic! indiepop club versi hamburg. ketika itu christian sugiono yang mengusahakan kita bisa memakai bar yang ada di asrama tempat dia tinggal. berlangsunglah poptastic! versi hamburg dengan cukup seru karena kebanyakan yang memenuhi dancefloor adalah bule jerman. ah sudah lah ini hanya ingin share aja pengalaman baik saya di hamburg. bahkan akhirnya saya ditawari jadi song selecter reguler di sebuah bar di distrik st. pauli hamburg oleh seseorang yang hadir di acara poptastic! versi hamburg. kala ini lah saya sekali-kalinya bisa menghasilkan uang dari hobby saya meski gak seberapa.
firestation saat itu sudah ada, cuma release-an nya masih bisa dihitung dengan jari. jujur saya langsung jatuh cinta dengan release-an label uwe weigmann ini. saya lebih banyak berinteraksi dengan marsh-marigold yang memang label hamburg, dan jörg winzer dengan mind the gap mailordernya sebagai pemasok release-an indiepop dari seluruh dunia.
sebetulnya saya punya hubungan yang baik dengan firestation. beberapa gig yang mereka bikin sempet saya hadiri, bahkan menginap di tempat mereka. entah kenapa meskipun hanya didasari menyukai musik yang kurang lebih sama, orang tuh secara tiba tiba bisa sangat baik sekali secara hubungan sosial.
hamburg - berlin paling hanya 3 jam perjalanan naik kereta. dan berlin sangat multi rasial, scene musik yang berkembangnya pun sangat berbeda-beda. jujur bagi saya jerman tuh sangat minoritas sekali indiepop scenenya. makanya mungkin ketika seseorang bertemu sesama penyuka indiepop, senang banget kali yah. hahaha.

ih saya benci mengatakannya, tapi kamu living legend! saat poptastic! kedua musik blossom diary sudah didengar di jerman?

no no no. saya mungkin kebetulan berumur lebih tua dan kebetulan lagi berada deket dengan source.
sayangnya belum, karena album mereka belum kelar saat itu. namun yang saya dengar, keberadaan poptastic! yang pertama dengan lanjutan kisahnya lah yang mengilhami lahirnya blossom diary, satu band yang benar benar out of the box kala itu. at least menurut saya.

di 2009-2010 kamu mulai menghilang. saya ingat kita sempat chat soal single beach weds. tapi setelah itu kamu benar-benar menghilang. kenapa?

kalau gak lupa, saya sempet keluar sekali di tahun 2010, acara poptastic! di paris van java yang di-arranged sama marine dkk, yang akhirnya kami sadari bahwa itu sebuah kesalahan. hahahahhah. dan iya, saya ingat ada yang tag single beach weds di facebook saya.
di masa itu masalah sedang banyak banyaknya. urusan keluarga. saya harus prioritaskan keluarga. malah sempat berusaha untuk beradaptasi dengan lingkungan di mana saat itu saya harus selalu berada. sampai akhir tahun 2015, timbul kerinduan akan hal-hal yang sempat saya pikir untuk saya lupakan, tapi honestly, gak bisa.
waktu saya betul-betul menghilang, saya mencoba mengalihkan hobby saya ke dunia yang juga ternyata bukan saya banget. bersosialisasi dan mencoba melebur diri dengan komunitas motor trail di daerah saya tinggal, soreang. dan ternyata akhirnya timbul perdebatan batin antara kepedulian saya dengan lingkungan sama ego saya yang saat itu senang main motor di hutan.
hal baik yang saya dapat alhamdulillah banyak, sebelum akhirnya saya mulai sangat mengurangi kegiatan bermotor merusak alamnya. saya mendapat banyak sudut pandang hidup dari mereka yang tinggal di pegununungan, yang alhamdulillah saya juga bisa dengan sangat baik berinteraksi dengan mereka, bahkan merasa seperti mempunyai keluarga baru.

apa yang waktu itu kamu dengarkan saat motor trail di hutan? 

gak ada. suara alam dan landscape cukup refreshing saat itu. hanya saja dari teman sejawat yang putar lagu-lagu dangdut koplo, pop sunda dan the rolling stone terkadang demi kebersamaan saya dengar juga.

hahah. kenapa kamu berpikir poptastic! 2010 adalah kesalahan? 

hmm.. ternyata hanya jadi batu loncatan buat segelintir orang oportunis yang sialnya berpendapat bahwa poptastic! adalah sebuah produk yang layak jual. tapi ini pernyataan buruk sangka saya aja sih. hahahah.

oportunis #goahead?

muaranya ke situ. meskipun saya seorang perokok, kurang bijaksana rasanya kalau tetap jadi bagian dari propaganda rokok. tapi ketika yang dipakai alasan adalah perut, ya go ahead lah, gadaikan tuh semua atribut nya, indiepop, indie, arus pinggir apapun lah itu namanya. halal kok jadinya kalau dipakai buat nafkah hidup. hahahah.

yang masalah adalah ketika kamu menjual indiepop dengan menaruh bands di bill tapi tidak membayar mereka sesuai budget/keuntungan yang kamu terima. 

itu masalah selanjutnya kalau pendapat saya. first, ketika orang bawa nama indiepop or indie or apapun namanya disandingkan dengan corporate, rokok apalagi, itu sudah masalah menurut saya. intinya, sebesar apa pun uang yang dikasih mereka untuk support, tetap gak sebanding dengan dampak jangka panjang dari propaganda mereka tentang rokok.
sekali-sekali kita boleh dong sok smart. even FormulaGP dan motoGP sudah gak pakai sponsor rokok, itu artinya dampak buruknya tidak sebanding dengan support mereka. hahahah sok tahu ya saya.
dilanjut dengan apa yang kamu bilang di atas bahwa bill nya dibayar tidak sesuai dengan uang yang 'mereka' dapat, apakah masih kurang cukup alasan untuk menolak?

balik ke poptastic! sebagai indiepop club. berapa kali acaranya pernah dibuat?

persisnya saya juga gak ingat. yang cukup besarnya indie weekender tahun 2000, do you remember the first time 2002, yang ketiga tahun 2004. kami juga sempat bikin gig rada gelap bertajuk loveless di tahun 2002.
indiepop club yang reguler hampir setiap bulan berapa kali persisnya saya lupa. yang jelas di tahun 2002 sampai akhir 2003 akhir, tempatnya di amsterdam cafe, jalan braga bandung, dan sempat juga di buqiet cafe bandung.
oh ya, kami juga pernah bikin sekali di jakarta, saya lupa tempatnya yang jelas di pusat. parkit kalau gak salah.
tema indiepop club nya juga selalu berubah ubah, berusaha untuk lebih detail, bahkan kami pun sempet berkolaborasi dengan komunitas punk bandung saat itu.
apapun namanya dan apapun yang telah kami lakukan hanya dengan dasar kesukaan, yang secara finasial jauh dari untung. saat itu yang kepikiran hanya fun dan bikin sesuatu yang menyenangkan buat kami.
kecuali poptastic! yang pertama, kami selalu berusaha nyisipin band yang punya materi lagu sendiri untuk main. mocca, the milo, blossom diary, the sweaters, rumah sakit, cmon lennon, bahkan teenage deathstar pernah main di acara kami.
selanjutnya, poptastic! yang pernah ada setelah yang saya sebut di atas, bukan kami yang bikin.

bukan kalian yang buat? maksudnya dikasih ke orang lain acaranya? 

iya. tapi sudahlah.

sekarang kamu kembali. apakah indiepop still at heart? apa kamu sadar band-band yang ada sekarang semua punya sound yang sama? 

still at heart gak yah? hahahah. nilai yang saya berusaha terapkan dalam hati saya dari istilah indiepop adalah kejujuran nya aja sih. jenuh saya dengan kata indiepop dan polemiknya.
saya bukan seorang kritisi musik. apa yang saya dengar enak di telinga dan menghibur buat saya, saya dengarkan. seandainya terdengar sound nya sama, saya juga gak begitu peduli sih. apalagi di indonesia, sebuah negeri di mana sejak dini manusia dilatih untuk 'berseragam'. seandainya pun ingin beda, ya semua 'seragam' ingin beda.
terlalu sulit juga buat keluar dari pattern yang pernah ada. dan dasar ketertarikan saya juga sudah ada patokan.

dasar ketertarikan kamu sudah ada patokan? referensi maksudnya?

iya, gak jauh dari indiepop -as genre, twee, shoegaze, dreampop blablabla, khusus ketika saya sebagai subject yang memutar untuk saya nikmati.

kamu harus memulai indiepop club nya lagi.

sepertinya sudah gak perlu lagi bikin indiepop club lagi. source sudah mudah didapat, siapapun could be a song selecter, kecuali kalau harus vinyl. mungkin indiepop jadi milik beberapa gelintir orang saja koleksi vinyls. seandainya dianggap perlu diadain lagi, hanya untuk tujuan silaturahmi.
dulu diadainnya poptastic! indiepop club selain hedonism dan riya, ada niat baik untuk share ke yang mungkin punya selera kuping yang sama dan mempererat silaturahmi sih.
buat saya pribadi, apapun yang pernah saya bikin in the name of indiepop, alhamdulillah banyak hikmahnya. apalagi awalnya banyak sekali teman baru, namun sejalan waktu dan seleksi alam lambat laun mulai keliatan siapa yang true friends dan siapa yang hanya sekedar menganggap saya batu loncatan dan katakanlah butuh informasi dari saya. anggaplah saya dalam hal ini belagu. betul kata the whistling possum, indie kids are getting worse. :p

.
Skint & Demoralised - You Probably Don't even Realise When You Do The Things I Love the Most

Tuesday, April 26, 2016

Ada Apa Dengan Record Store Day (AADRSD)

RSD 2016 telah usai. Tak seramai biasanya, dan sedikit menjemukan. Menyisakan pertanyaan pribadi yang tentu nggak penting juga dipertimbangkan khayalak ramai, apakah masih relevan menyelenggarakan RSD di tahun kedepan?



Tumben lah saya bikin artikel panjang. Kali ini soal pesta RSD. Pesta dimana semua orang merayakan passion hobi menikmati rilisan fisik. Sudah tiga kali, termasuk tahun ini saya ikut berpartisipasi di RSD 2016, bersama label Anoa Records yang biasa-biasa saja. Tahun pertama, di tahun 2014, kalau gak salah, di samping Aksara, lalu 2015 di sebuah tempat futsal di Blok M. Dan terakhir di Pasar Santa.

Seru banget bisa ngerasain feelnya RSD dimana pedagang, label, band dan konsumen numplek jadi satu. Saya bisa merasakan peluh dan adrenalin ngurusin jual beli, antrian, dan heboh produksi rilisan fisik demi RSD. Nothing can beats that.

Bagi kami, label baru, bisa hadir di RSD, ketika itu kayak momen kopdar ketemu sama konsumen kami yang biasanya ketemuan di dunia maya. Lalu bisa jualan, ngerasain rasanya UKM kami ternyata bisa juga yah menghasilkan dan menghibur. Band-band kami bisa manggung, dan menonton band-band label teman yang ciamik.

Perayaan yang menyenangkan. Namun, hanya di dua edisi RSD di 2014 dan 2015 saja, saya ngerasain betapa perayaan yang dirayakan sedunia ini bener-bener memuaskan secara personal. Interaksi dengan siapapun bener-bener kerasa.

Di RSD 2016 di pasar santa, saya seperti tak merasakan sensasi seperti dua tahun sebelumnya. Apa ada sesuatu yang hilang, atau mulai menurun. Entahlah, jujur saya kehilangan momen tersebut. Saya tak bicara omset yah, karena rejeki Allah SWT yang atur, tapi demikian adanya.



Sampai akhirnya saya membeli sebuah buku berjudul 'RSD 15: Seberapa besar 500rb dapat bicara di record store day?" yang dijual di lokasi acara. Karya dr Marto yang saya tahu siapa penulisnya hahahha si anying, nama saya kesebut juga di buku itu. Tapi saya bukan mau cerita soal nama saya kesebut di buku itu, tetapi kenapa buku itu nongol di RSD 2016.

Lalu saya dapat WA dari teman yang berdagang di Blok M Square dan juga ikut RSD 2016, bagaimana ia kecewa dengan orang-orang yang nyinyir dengan mereka yang komplen di status facebook saya, soal harga yang mahal oleh para pedagang. Saya paham perasaannya.

Dan kedua hal ini yang bikin saya ingin menulis soal RSD 2016, mungkin ada yang salah kali yah dengan cara kita merayakan RSD di Indonesia. Baik dari sisi pedagang maupun juga konsumen. tapi bukan saling menyalahkan sebenarnya, tapi membedah saja. Karena apa yang ada di buku, lalu juga reaksi temen di WA ya memperlihatkan ada yang salah.

Saya menulis sebagai orang yang sudah tiga kali ikut RSD, jadi saya pedagang, tapi juga konsumen karena saya juga belanja di ketiga RSD tersebut. soal obyektifitas dan subyektifitas, sudahlah yah, saya mau mencoba jernih saja sih. Toh tulisan ini di blog pribadi.

Buku yang ditulis dr Marto, memang sebuah buku yang satir soal RSD yang selama ini berlangsung, dan tentunya juga bagaimana perputaran ekonomi dari jual beli rilisan fisik di Indonesia (pastinya yg informal yah, bukan macam music plus atau aquarius haha) tampak menggelikan bagi penulisnya. Dia cuma mencoba jujur saja, dan menceritakan bagaimana dia bersiasat agar uang 500rb yang dia punya dari gaji tak sebesar gaji di Freeport bisa maksimal dibelanjakan.

Asli, ini buku lucu dan menyenangkan. Dengan bercerita dari si penulis melewati dua hari RSD di tahun 2015, lalu bertemu orang-orang, teman, pedagang, dan saya bisa merasakah emosi si yang nulis ketika dia berhadapan dengan harga mahal (sesuai harga dan nilai), dimahalin, sampai sistem barter yang dilakukan agar bisa mendapatkan apa yang diinginkannya.

Tapi dia menyentil, RSD menjadi terlalu dikapitalisasikan dimana pedagang seperti memerah konsumen agar keluar duit banyak untuk membeli rillisan fisik. saya tahu dr marto bukan konsumen baru, dia sudah lama dari jaman kalau beli rilisan fisik masih bisa didapat murah, dan dia akan belanja secara berkala karena harga yang tak mencekik. Mungkin sekarang dia sudah jarang. Mungkin.

Saya nggak tahu yah, mungkin saja sih, meski patut diperdebatkan jika melihat dari sisi pedagang, namun kondisi ini memang terjadi. Ketika demand tinggi, lalu value sebuah rilisan telah semakin telanjang diketahui oleh siapapun, dan memang adalah hak siapapun berhak tahu soal itu. Dan konsumen pun semakin mencari-cari, yang jajan rock nggak cuma orang-orang itu saja. Dan ketika harga tinggi muncul, tentu itu sebuah realita dari pasar. Nggak ada yang bisa kontrol, emangnya sembako hahaha



Tapi, tentu nggak sesimpel itu kita harus melihat sebuah RSD, lalu ambil kesimpulan, dan tutup perkara. Ramainya koleksi rilisan fisik pun juga ramai di Indonesia bukan karena pasarnya tumbuh secara alamiah, tapi murni hype aja, imho. Heboh plat hitam, di luar negeri ramai pisan dan tumbuh pesat, di negeri ini, ikut heboh dan melahirkan kemeriahan yuk kita punya rilisan fisik. Dan itu bagus. Semua senang, pedagang senang, konsumen senang.

Buku dr marto, mencoba mencubit pinggang kita kalau ada kondisi seperti ini loh. Pada peka gak sih, merhatiin gak sih? Siapapun yang baca. Tentu bagi yang kontra dan nggak setuju sama isi buku ini akan ambil sikap tidak peduli, atau mungkin bersikap keras. Saya sih berharap nggak seperti itu yah. Tapi buku ini membuka ruang diskusi soal RSD di negeri ini.

Urusannya memang, soal harga. Yang mana kayaknya juga nggak bisa hitam putih ngelihatnya. Kalau ditilik dari sisi pedagang, tentu ada hal-hal yang mungkin nggak atau belum disadari aja sih, dari soal distribusi, modal, sewa lapak, dan semacamnya. Ya ya, kalau dibahas saya juga yakin kagak akan ada habis-habisnya. Tapi memang demikian adanya yang dihadapi mereka.

Ada satu teman, dia  bilang malas datang ke RSD karena mahal-mahal pastinya, setelah dia bilang tahun 2015 aja kaset Themilo bisa mencekik isi dompetnya yang pas-pasan. Ini yang ngomong bukan orang-orang yang mungkin sering ramai di blog atau sosmed. Yang ngomong ke saya, penikmat musik biasa yang sama sekali nggak ikut riuh2an d scene. Asli konsumen.

Mungkin kalau dijadiin sampel juga nggak masuk hitungan apa komen dia menjawab persoalan RSD atau tidak. Atau mungkin dia dan saya saja yang berbeda, mungkin RSD biasa-biasa aja kok. Fine-fine aja. Masih ramai. Masih banyak pembeli. Masih banyak yang antusias. Masih kok.

Tapi bagi saya ini penting untuk dipahami. Konsumen ternyata ada yang berasumsi seperti itu. Dan siapapun orangnya, mau yang nulis buku itu atau yang komentar ke saya, kita mendapati situasi seperti ini, dan tentu saja harus kita cermati, dan tidak ikutan nyinyir juga. Meminta mereka untuk mending cari saja di lapak jualan online macam Ebay atau Discogs kalau mau murah, saya rasa kita kudu berpikir kalem. Toh, yang kritik kanan kiri, adalah konsumen, dan buruk secara bisnis kalau kita bereaksi negatif ke mereka.

Kondisinya, RSD memang sudah mulai berkurang gregetnya. Entah di daerah lain yah, tapi di Jakarta, mungkin terlihat demikian. Ini pribadi saya yah, kalau nggak setuju, ya gapapa. Bahkan sebelum RSD di Jakarta dibuat, saya sudah dengar beberapa kabar soal perbedaan pendapat soal dimana lokasi akan didirikan. Tapi saya juga cuma dengar kabar burung saja.

Mungkin kalau nggak mau RSD semakin berkurang gregetnya, perlu ada terobosan, yang nggak selalu ngeributin soal kepentingan siapa yang bikin dan dimana lokasinya. Belum ada yang bisa memulai bagaimana untuk me marketing kan acara ini dengan tepat, tak cuma sekadar cari sponsor, tetapi juga untuk me maintain konsumen.

Apa mungkin kita mem package RSD sedemikian rupa yang tak sekadar mencari omset, tetapi juga menjaga agar konsumen tetap ada. Kita belum berpikir gimmick-gimmick yang menarik perhatian konsumen, tak hanya saat RSD, tetapi juga setelah RSD. Entah apa itu happy hour discount, atau doorprize, atau lainnya, yang memberikan kesempatan buat konsumen untuk memperoleh harga yang menyenangkan.

Ada satu hal lucu, ketika booth kami bikin sesi jual murah cd dan kaset, yang pastinya koleksian, 100rb dapat 4 cd, dan betapa orang2 yang datang tampak bingung, dan bilang serius ini? Bahkan ada yg bilang, "mas, ini cd bajakan gitu?" well, lo bisa dapat cd stone roses atau stereolab dengan harga segitu kami bisa paham sih reaksinya hahaha Termasuk ketika kami menjual single vinyl2 macam pale saints dengan harga 150rb, saya rasa mungkin hanya ada kisah itu 3 atau 4 tahun lalu,

Tapi ya memang, harga yang terlalu mahal atau lainnya, memang jadi masalah. Kita nggak bisa menafikan keadaaan ini. Kalau saja ada yang bisa bikin riset harga vinyl atau cd seken yang dijual ketika 5 tahun lalu (atau bahkan 8 tahun lalu) dengan sekarang, misalnya, mungkin udah mirip kayak grafik kenaikan BBM selama 1 dasawarsa. Itu realita sih yg dihadapi konsumen. Saya masih ingat, dulu saya pernah beli CD Ryan Adams - Demolition seken di seorang pedagang dapat 50rb, 3 tahun lalu. Tahu berapa saya temukan harga cd Ryan Adams and the Cardinals, seken? di pedagang yang sama hahaha 130rb :))

Soal ini butuh pikiran jernih. Mengemas sebuah event memang harus kerja bareng, dan bisa kompromistis. Iya, saya tahu, soal margin, biaya produksi, ribet, dan lainnya, namun tak ada salahnya untuk mencoba sih. Harus ada kecermatan, utk bermain di range harga. Entah lah kalau modal beli dagangan emang udah naik atau semacamnya, tapi bisa gak kalo kita bisa sedikit lebih luwes dikit? Bukan kayak balikin harga kayak jaman dulu, tapi yah harus ada gimmick2 lah seperti gue sebutin diatas agar konsumen nggak dibikin kaget  duluan ama harga.

Yah mungkin nih tulisan kagak penting amat sih hahaha Hanya berharap jangan sampai soal rilisan fisik bisa bernasib sama seperti batu akik. Kalau itu terjadi ya gapapa, hahaha makin banyak orang ngelepas barang buat dibeli murah hahaha tapi ya jangan kesampean. Amin. Bye.

Thursday, February 4, 2016

Mutombo - Dreadfully Yours EP

Band indie rock baru dari Jakarta. Musiknya slacker, awut-awutan seperti tertulis di bio mereka. Mutombo, namanya, menarik materinya.

Dreadfully Yours cover art

Jadi saya sempat dikirim email dan juga dimention oleh satu band bernama Mutombo. Penasaran juga karena nama bandnya dari nama pemain basket NBA di tahun 90an, Dikembe Mutombo. Wah, boleh juga ide mengambil namanya. Jika nggak mudeng sama NBA, saya rasa bakal 'terganggu' juga dengan nama ini.

Saya unduh lah materinya di bandcamp mereka, dan ada 6 lagu yang boleh juga. Kiblatnya macam Pavement dan Yo La Tengo. Singlenya oke, seperti Derby Days, atau New Orleans. Carousel macam bliss indie rocker durasi pendek yang membius. Yang nendang sih Sal's Holiday haha coba deh denger di bagian akhir setelah noise gitar awut-awutan. Bee Gees?! Fuck me hahaha

Personilnya ada tiga orang, Joko Wiryawan (Guitar), Anto F. Rachman (Vocal, Bass), Budi Triyadi (Drum). Sepertinya mereka out of nowhere yah. Kalau tertarik dengan musik indie rock macam mereka, bisa tuh diunduh EP-nya di

https://mutombo.bandcamp.com/releases

Free Download!


Friday, January 22, 2016

Much - Closest I Can Relate To

Satu lagi band bagus dari Malang setelah Intenna. Much namanya, musiknya indie rock emo yang nyaman di kuping.



Malang bisa dibilang mulai menjadi titik baru lahirnya band bagus di timur pulau Jawa. Scene di kota ini juga hidup dan aktif. Kini saya menemukan band bagus namanya Much.

Saya tak kesulitan ketika mendengar single mereka di kompilasi Leeds Records. Asyik juga. Semacam indie rock amrik macam Velocity Girl atau Madder Rose di lagu Singled Out.

Dan pas nemu CD mereka, Closest Things I Can Relate To, mulai paham akar musik mereka. Semacam Get Up Kids dan the Rocking Horse Winner. Baru kali ini saya nemukan band indie rock emo lokal yang sebagus ini.

Vokal cowok cewek di Much simple dan itu jadi kekuatan musik mereka. Hooks2 nya khas kedua band diatas. Dihuni oleh dua musisi Dandy Gilang dan Aulia Anggia.

Album Much ada 6 track. Dirilis oleh Haum Records dan rekomendasi banget untuk dicari CD dan kasetnya.

Berharap bisa nonton mereka manggung live di Jakarta. Layak didengar dan disimak band satu ini. Thumbs up!