Friday, January 30, 2009

The Gods - Genesis

Photobucket

Salah satu album band rock psikedelik pertama yang saya dapatkan dengan tanpa referensi atau info apapun. Dibeli murni berdasarkan naluri dan intuisi seorang pria beranjak dewasa yang sedang tergila-gila dengan prog rock serta baru saja mencicipi ruwetnya musik psikedelik.

Pada sebuah Sabtu sore beberapa tahun yang lalu, dengan kondisi 'sakaw musik', saya berangkat ke Aquarius Pondok Indah guna membeli beberapa cd baru untuk melengkapi ritual mendengarkan musik di hari Minggu pagi. Setelah mengobrak-abrik hampir seluruh jajaran rak cd di sana, dari abjad A sampai Z, tak dinyana saya menjadi kecewa. Album band yang saya cari ternyata tidak ada. Setelah sempat merenungi nasib sial selama kurang lebih lima menit, saya memutuskan untuk kembali menjelajahi rak-rak tersebut. Dalam sekelabat, perhatian saya terpusat pada sebuah cd dengan sampul berwarna biru muda bergambar empat orang berkostum perlente era '60-an. Latar belakangnya langit berawan berhiaskan empat patung kepala dewa Yunani. Segera saya ambil cd tersebut, the Gods nama bandnya. Sebelumnya saya sempat bingung karena tulisan di sampul depannya menempatkan judul album Genesis di sebelah kiri dan nama band the Gods di sebelah kanan, tidak lazim. Tetapi setelah memperhatikan sampul belakang cd, dan melihat gambar 'ayam jago' Repertoire Records (label asal negeri Jendral Erwin Rommell, spesialis reissue musik-musik aneh masa lalu), entah kenapa alam bawah sadar saya mengatakan bahwa band ini pasti keren. Mungkin karena dirilis tahun 1968. Ditambah asumsi saya yang sepertinya mengenal salah satu tampang personilnya. Petunjuk saya saat itu hanyalah judul-judul lagunya yang bernafaskan psych dan lagu bonus berjudul “Hey Bulldog” yang pasti ciptaan the Beatles. Dengan tuntunan naluri, akhirnya saya putuskan untuk membelinya, meski dengan banderol yang sempat membuat saya berpikir ulang. Lanjut cerita, karena pulang terlalu larut, saya memutuskan untuk merenggut keperawanan the Gods di esok hari.

Di Minggu pagi yang indah itu, saya langsung membuka kemasan cd the Gods. Hampir setiap album rilisan Repertoire menyediakan liner notes yang berisi informasi-informasi penting tentang artis tersebut. Saya pun langsung membacanya sembari mendengar rekaman purba tersebut melalui sepasang speaker tua pembelian dari sebuah toko elektronik bekas di kota Bogor. Alangkah terkejutnya saya, ternyata ini adalah bandnya Ken Hensley dan Lee Kerslake sebelum Uriah Heep (salah satu band classic rock kesukaan saya). Kecurigaan saya pun tuntas. Ternyata saya tidak sok kenal dengan salah satu raut muka personil yang ada di sampulnya. Maka semakin antusiaslah saya untuk mendengarkan track demi track di album ini. Yang langsung mengusik kuping saya tentu saja vokal khas Ken Hensley yang terdengar mengambang. Tak ketinggalan pula permainan organ Hammond-nya yang berat serta sound fuzz gitar Joe Konas.

Musik the Gods di album Genesis merupakan prototip prog rock yang rada nge-pop dengan dominasi suara khas Hammond, harmoni vokal menghanyutkan, dan timpalan keeklektikan psikedelia Britania khas tahun '60-an. Track-track favorit saya diantaranya adalah “Toward the Skies”, sebuah proto hard rock bernuansa prog, dan “Candles Getting Shorter”, sebuah lagu indah psikedelik yang sangat kental aroma pop-nya. Juga “You’re My Life”, lagu tipikal Nuggets ala the Pretty Things yang sudah terevolusi menjadi lebih baik. Lalu ada “Misleading Colours”, sebuah ramuan psych/prog berbau klasik dengan solo Hammond Ken Hensley yang layak mendapat acungan jempol. Catatan juga patut diberikan pada “Radio Show” yang penuh dinamika dari aneka genre. Dari awal sampai akhir lagu, unsur pop, soul, freakbeat dan hard rock bersahutan penuh kejutan. “Farthing Man” is another freakbeat pop gem with beautiful guitar riff combined with percussive sound. “Real Love Guaranteed” dan “Somewhere in the Street” adalah cikal bakal dari lagu-lagu Uriah Heep, sedangkan “I Never Know” mengkombinasikan riff-riff kasar dan solo gitar liar yang menyayat gendang telinga dari Konas berbalut raungan sound fuzz. Ada empat lagu bonus di cd ini termasuk di dalamnya lagu cover dari the Beatles, “Hey Bulldog”, dan “Baby’s Rich” yang terdengar seperti satu lagu the Beatles era Magical Mystery Tour dan Sgt Pepper's. After spending hours of intense listening dengan ditemani kepulan asap nikotin dan bergelas-gelas plain milk, keseluruhan materi Genesis sudah melebihi ekspektasi saya akan kualitas sebuah album yang bagus.

Pada awalnya terbentuk sebagai band blues pada tahun 1965 di kota Hatfield, southern part of England, oleh John Glascock, Brian Glascock dan Mick Taylor. Tercatat beberapa nama besar di belantara classic rock pernah mampir jadi anggota. Ken Hensley adalah pendiri Uriah Heep. Lee Kerslake dan Paul Newton kemudian ikut bergabung di sana. Mick Taylor, yang tak sempat ikut dalam rekaman the Gods, keluar dan ikut memperkuat John Mayall & the Bluesbreakers serta the Rolling Stones. Greg Lake juga pernah bermain gitar bas di band ini. Setelah gonta-ganti personil, formasi terakhir mereka pada saat merekam album Genesis adalah Ken Hensley (kibor, vokal), Joe Konas (gitar), John Glascock (gitar bas) dan Lee Kerslake (drum). Dirilis pertama kali oleh Columbia Records di tahun 1968, dengan pengerjaan sampul album yang digarap langsung oleh Storm Thorgerson dari biro desain legendaris Hipgnosis. Biro tersebut terkenal sebagai pencipta karya-karya seni visual tingkat tinggi berbau psikedelik. Hipgnosis juga bertanggung jawab atas terciptanya mahakarya-mahakarya seni sampul album legendaris dari Pink Floyd, Genesis, the Pretty Things, Led Zeppelin, dan banyak lainnya. Setelah tampil beberapa kali sebagai band pembuka Cream, the Gods sukses menjadi penerus band-band seperti the Rolling Stones dan the Who sebagai penampil reguler di the Marquee, kelab musik legendaris di Oxford Street, London.
In the end the Gods memberi wahyu pada saya untuk lebih mengeksplorasi ranah candu musik psikedelik hingga waktu yang tak dapat ditentukan. The Drowner

Photobucket

Source: Beli di Aquarius Pondok Indah (please read the full story on the first paragraph).

Hint :

Originally issued by Columbia Records in 1968. The album's ten tracks have now been joined by four bonus cuts that feature both sides of the bands ultra rare 45's "Baby's Rich" and "Hey Bulldog" and come in the original Hipgnosis designed sleeve!!!

buy it!

get the link!

Thursday, January 29, 2009

Morrissey - Beethoven Was Deaf

Photobucket

M-o-r-r-i-s-s-e-y, hmm... What else can I say? He's a living icon for everyone who knew his presence since the Smiths era. Lirik puitisnya telah menjadi wahana kontemplasi bagi setiap orang yang merasa terasingkan dalam cinta, hidup, pilihan dan sosial; seorang legenda hidup pop rock di Britania Raya yang begitu dipuja oleh para pencintanya yang militan hingga mengkultuskan secara fanatik. Dan saya termasuk orang yang memilih untuk memujanya pula meski secara waras tentu berusaha mengerem kegilaan dan rasa 'jatuh cinta' saya terhadapnya agar tidak kelewat batas atas aqidah saya sebagai seorang muslim yang beriman. But i could faint or cry if he willing to play in Indonesia one day, i build a tent at the venue or his hotel, or even ambush him at Cengkareng, hahaha...

Back to the issue, cd live Morrissey berjudul Beethoven was Deaf ini memiliki kesan tersendiri bagi saya. Perkenalan pertama saya dengan beliau awalnya justru dari sebuah kaset lokal Beethoven was Deaf milik teman saya. So, bisa dikatakan, jatuh cinta saya pada Morrissey justru ketika mendengarnya secara live, bukan dari katalog album studionya. Betapa energi dari live Morrissey di album live yang mengambil tempat di The Zenith, kota Paris pada tanggal 22 Desember 1992 di hadapan 6,500 orang, benar-benar membuat saya terpana, termangu, dan perasaan yang campur aduk. Anehnya, saya bahkan belum pernah melihat secara visual baik dari rekaman vcd atau video, tetapi justru rekaman audio dari sebuah kaset saja. Keriuhan penonton, interaksi Morrissey kepada mereka, sahutan memuja, serta energi dari lagu, musik dan performa live yang mengesankan di album live ini, seperti menyeret saya ke momen itu.

Perkenalan pertama saya ini akhirnya memang membuat saya menjadi one in a million of his huge fanbase di dunia fana ini. 16 lagu diusung Morrissey dan band pengiringnya dalam album live Beethoven was Deaf. Materi-materi klasik (mayoritas dari album Your Arsenal) seperti "You're the One for Me, Fatty", "Suedehead", "Certain People I Know", "Sister I'm a Poet", "We Hate It When Our Friends Become Successful" hingga "November Spawned a Monster", dibawakan dengan energi yang sedikit berbeda ketimbang versi album studionya, yah, sedikit berbeda, tentu karena merupakan versi live-nya ("Suedehead" di album ini bahkan menjadi nge-rock full distortion). Tetapi dukungan band pengiring Morrissey (Alain Whyte - gitar, Boz Boorer - gitar, Gary Day - gitar bas, Spencer Cobrin - drum) yang sangat pseudo-rockabilly, membuat lagu-lagu di album ini menjadi begitu bertenaga, solid, dan penuh warna. Pilihan saya adalah di lagu "Jack the Ripper", dimana kocokan gitar flanger dari Alain Whyte, lalu ritem gitar Boz Boorer, ditambah begitu rapihnya Cobrin memukul drum di semua lagu, membuat lagu ini menjadi salah satu lagu live dari Morrissey paling keren sepanjang karirnya. Jangan lewatkan, "National Front Disco", sebuah lagu nasionalistik yang kontroversial oleh Moz, menjadi sangat tight dan kuat, terutama di bagian ending lagu dimana Boz Boorer dan Alan Whyte melakukan eksplorasi keberisikan tingkat tinggi selama lebih dari tiga menit bak sebuah noise pop yang sangat maskulin sekali.

Beethoven was Deaf akhirnya banyak memberikan saya perspektif terhadap solo karir Morrissey. Salah satunya, setelah The Smiths dipensiunkan di mana Morrissey kehilangan seorang gitaris sekelas Johnny Marr dan pemain bas sebrilian Andy Rourke, akhirnya ia memperoleh seorang songwriter yang tidak kalah cerdasnya, seperti Alain Whyte; basis se-rockabilly dan ganteng seperti Gary Day dengan segala tato keren di sekujur tubuhnya; teman kerja setia seperti Boz Boorer, hingga seorang penabuh drum jago yang juga pintar membuat lagu (lagu b-side "Lost") seperti Spencer Cobrin (you should listen to his solo materials on his myspace.com site or album on Elva Snow, he's good!). Actually formasi band pengiring pada era tersebut merupakan formasi terkeren dan paling saya sukai dari seluruh formasi band pengiring Morrissey selama ini. They're not a replica of The Smiths, but they played more exciting and intense. Dan bagi saya, Beethoven was Deaf seperti sebuah monumen dari salah satu era terbaik dalam solo karir Morrissey yang tidak boleh dilewatkan oleh setiap diehard fans of Moz, seperti saya ini, termasuk anda tentunya, hehehe... Marr

Photobucket

Source: Di sebuah hari kerja selepas liputan di PBNU di bulan Januari 2009 di Jalan Surabaya, terpaksa melanggar sumpah Pramuka untuk berpuasa dulu membeli cd, hahaha!

buy it!

get the link!

Friday, January 16, 2009

The Pixies - Trompe le Monde

Photobucket

Trompe le Monde adalah album the Pixies pertama saya. Sebuah rekaman istimewa dengan proses pembelian yang istimewa pula. Saya sampai rela bolos sekolah untuk melakukan transaksi dengan seorang teman dari teman yang kurang menyukai cd ini. Saat itu saya membolos untuk pertama kalinya dalam hidup, perasaan pun cukup campur aduk. Tetapi rasa tidak enak hilang dalam sekejap ketika cd berpindah tangan. Sihir rock membuat saya lupa segalanya, termasuk kewajiban sebagai pelajar yang baik.

Saya mengenal the Pixies melalui artikel tentang sang gitaris, Joey Santiago, di majalah Guitar yang merupakan oleh-oleh pemberian ayah sepulang dari luar negeri. Joey memaparkan banyak tentang proses kreasi permainan dan sound gitarnya bersama band asal Boston itu. Artikel edisi tahun 1991 tersebut bahkan menampilkan denah guitar-rigs (ilustrasi skema efek-efek dan ampli gitar) Joey. Sebagai anak ingusan yang sedang getol-getolnya mengeksplorasi gitar, saya menjadi penasaran akan musik the Pixies. Apalagi setelah sering menemukan citra logo band tersebut di iklan penjual t-shirt rock pada majalah-majalah musik terbitan luar. Saat itu logo huruf ‘P’ bersayap dengan lingkaran luar aneka warna terlihat teramat keren, serasa terus memanggil sanubari saya untuk lebih mendekatkan diri pada santo Black Francis dan teman-temannya.

Album ini adalah kumpulan rekaman studio terakhir the Pixies. Dibuat ketika ego Black Francis sedang menuju titik kulminasi. Ia tidak menginginkan adanya kontribusi lagu dari anggota lain, seperti Kim Deal, yang biasanya hadir di album-album sebelumnya. Banyak yang menganggap Trompe le Monde secara tidak langsung adalah album solo pertama Francis. Pembubaran band pun tinggal menunggu waktu saja. Tetapi itu semua tidak membuat album ini menjadi lemah dan basi. Dengan pendekatan musik yang cenderung lebih keras dan lirik-lirik surreal nyeleneh berbau fiksi ilmiah khas Francis, Trompe le Monde menjadi sebuah paket perpisahan yang dahsyat. Dari mulai lagu pembuka, “Trompe le Monde” yang singkat, lugas dan padat (berdurasi 1:46 menit) lalu “Planet of Sound” hingga sinisme terhadap hipster indie-rock/college-rock berwujud “Subbacultcha” dan “U-Mass” (Francis dan Santiago merupakan bekas mahasiswa University of Massachusetts). Saat pertama kali mendengarkan “U-Mass” saya sudah merasakan adanya sinisme di lagu tersebut. Dengan lirik seperti “Oh, kiss me cunt… Oh, kiss me cock… It’s educationaaaaal!” dan riff chorus yang seperti “Smells Like Teen Spirit” (entah duluan siapa, Nirvana atau the Pixies, yang pasti lebih dulu "More Than a Feeling"-nya Boston, hehe...).

Salah satu momen favorit saya dalam album adalah ketika mereka mengkover lagu the Jesus and Mary Chain dari album Automatic, “Head On”. Mereka membuat lagu yang ‘lurus’ dan ‘dingin’ tipikal Mary Chain menjadi agresif. Lagu tersebut bersama “The Sad Punk” cukup berandil membuat kasur kamar tidur saya hancur akibat slam dance tak bertanggung jawab. Saya juga ingat masa di mana lagu-lagu seperti “Letter to Memphis”, “Bird Dream of the Olympus Mons”, dan “Motorway to Roswell” mengisi kerinduan saya akan kisah kasih yang tak sampai ketika SMA. Saya jadi senyum-senyum sendiri sekarang. Aneh memang. Masak lagu berlirik fiksi ilmiah tentang alien jadi sarana romantisme percintaan? Ahaha! Musiknya, kawan… Biarkan ia berbicara…

Cd yang tampil di foto bertanggung jawab terhadap Sabtu indah di tahun 1992. Juga terhadap koleksi the Pixies dan album-album indie-rock Amerika lain yang saya beli setelahnya. Penuh sihir. Clockender

Q (10/91) - 4 Stars - Excellent - "...an unqualified triumph...Several of the songs here manage to combine furious garage riffing with sudden flashes of pop melody..."

Photobucket
Source: Seperti yang sudah dijelaskan di atas, saya membeli cd ini dari seorang teman yang bernama Dan Amal Beck. Ayahnya bule, sering ke luar negeri. Cd ini pun dihadiahkan oleh sang ayah dari sana. Tetapi Dan kurang suka dengan musiknya, ia lebih senang hardcore punk. Saya tidak pernah mendengar lagi kabar dari anak itu selain selentingan berita dari teman-teman per-skateboard-an kalau ia sempat menjadi seorang skater profesional di negeri asal ayahnya.

Thursday, January 15, 2009

Drop Nineteens - Delaware

Photobucket


I have to tell you guys the truth, no showing off, band ini merupakan salah satu rekam terpenting dari jejak perjalanan spiritual saya yang begitu personal dan pribadi dalam mencari kebenaran hakiki dari genre musik yang telah saya gandrungi sekian lama, yakni ‘menatap sepatu’ atau shoegaze. Yepp! Ketika itu saya pernah mengalami kegelisahan luar biasa (this is no bullshittin’ dude), well, i knew shoegaze quite well, but i felt my knowledge became vividly lame, only listening to albums by MBV, Swervedriver and Ride constantly through my combo tape, the three holy bands for a fan like me. I knew the facts that those three bands has been a pioneer for shoegaze genre, terutama MBV, tetapi saya seperti merasa bahwa shoegaze itu sejatinya tidak seluas daun kelor saja, pasti ada sebuah belantara rimba sounds and noises yang belum terjamah with my humble ears.

Maka kegelisahan spiritual itu saya tumpahkan kepada salah satu rekan saya, The Drowner, pasti ada sesuatu yang asing di luar akal sehat saya yang tampak mudah terukur. Sebelumnya, ia sudah berjasa memperkenalkan Swervedriver kepada saya, sebuah band shoegaze '90-an yang justru tampak asing (atau malas disukai?) oleh penggemar shoegaze disini yang lebih kesengsem band-band shoegaze asalkan menu sajiannya penuh delay plus reverb. Saya kemudian teringat pada nasehatnya untuk melihat allmusic.com, di mana pasti ada ulasan tentang genre shoegaze secara ringkas, padat, dan informatif. Klik tagline shoegaze di salah satu baris genre di situs tersebut, terpampanglah sebarisan band-band shoegaze yang dianggap allmusic.com sebagai representatif genre tersebut, dan semuanya adalah band-band dari era '90-an, seperti Moose, The Telescopes, Swirlies, Lilys, Curve, dan lainnya, termasuk band bernama Drop Nineteens. Saya langsung mengunduh setiap singel dari masing-masing band yang dianjurkan allmusic.com untuk didengarkan kepada para pemula seperti saya dari limewire. And... Bamm! It’s like having a revelation or somewhat you want to call it, laksana sebuah pencerahan spiritual menghunjam hati secara dramatis! Semua lagu tersebut begitu membekas di hati, dan yang paling membuat perasaan saya terguncang adalah sebuah lagu berjudul Delaware dari album berjudul sama dari Drop Nineteens.

Saya berusaha mencari jejak cd dari album Delaware di beberapa teman yang juga kolektor cd, namun tidak ada yang mengenali band ini. Terus giat mencari remah-remah lagu mp3 mereka di limewire dan myspace.com, akhirnya terkumpul beberapa lagu dari album Delaware untuk didengarkan seksama di komputer kantor, kemudian saya juga berhasil memperoleh dua footage videoklip Drop Nineteens di youtube.com, dan semakin terkesimalah saya. Yang saya lihat di videoklip berjudul "Winona" dan "Aquarium" adalah sebuah band yang terdiri dari lima teenager Amerika Serikat di kota Boston yang bermain musik shoegaze, tetapi dengan semangat atau spirit yang menurut saya tampak sedikit berbeda ketimbang band-band shoegaze di Inggris yang cenderung tampak sedikit kelam. Drop Nineteens tetap berkiblat pada band-band shoegaze di Inggris, tetapi gaya mereka justru lebih lepas, santai, lebih cool, dan apa yah, pokoknya passion anak muda dan remaja AS di era alternative '90-an lah (sorry, rada sulit ngejelasinnya, you should see it by yourself, then you’ll understand).

So, finally I got the album, and the result fantastically amazing.
Sangat berkesan dan album ini menjadi salah satu album favorit saya setelah Loveless dan Mezcal Head, bahkan menggusur Ride menjadi urutan keempat di my holy shoegaze bands, ha ha! Album Delaware juga menjadi jejak bersejarah atas respon band-band AS terhadap wabah shoegaze di Inggris yang didalangi MBV, menjadikan album ini bak sebuah rekaman periode historis ketika anak muda AS mulai diracuni oleh shoegaze. Drop Nineteens sendiri memang didirikan pada era tersebut, di tahun 1991 oleh Greg Ackell (vokal, gitar), Chris Roof (drum), Paula Kelley (vokal, gitar), Steve Zimmerman (bass), dan Motohiro Yasue (gitar). Ditarik label Caroline Records, Drop Nineteens mengecap atensi yang cukup baik di radio-radio kampus melalui debut album mereka, Delaware.

For me, materi album ini sangat-sangat menarik sekali. Di album Delaware, you’ll get the typical of US shoegaze signature sounds. Pengaruh MBV tak bisa dielakkan lagi, (thanks to hebohnya dua album MBV, Isn’t Anything dan Loveless), namun pengaruh noise pop ala Sonic Youth dan indie rock di Amrik, menjadi warna yang kental di album Delaware. Fuzz, tremolo, reverb (I’m so glad tidak ada delay huhu :P), dan sentuhan gitar indie rock dengan sedikit ala Kevin Shields memoles setiap materi lagu album ini. Kerjasama Ackell dan Kelley dalam bernyanyi juga tampak mengasyikkan di telinga saya. Belum lagi formasi tiga gitar turut memberikan nuansa guitar driven khas shoegaze yang menjadi lebih lebar dan sangat kuat, namun tertata apik.

“Delaware” menjadi materi favorit saya di album ini, lagu yang sangat keren dan ingin sekali saya bawakan jika manggung. Karakter fuzz di awal lagu ini, disertai duet vokal Ackell dan Kelley yang pas, bak duet Bilinda dan Shields, really haunting me up until now! Tak terkecuali “Kick the Tragedy", materi lagu dengan alur musik yang sangat gazy, saya sangat menikmati riff ritem lagu berdurasi tujuh menitan ini yang begitu keren sekali, bak soundtrack terkeren yang pernah saya dengar! di bagian tengah lagu, Kelley bernarasi tentang perasaannya tentang hal-hal yang menggelisahkan in her teenage days, diiringi akustik gitar Ackell selama kurang dua menitan, kemudian berhenti dan disambut kembali dengan riff menghanyutkan hingga usai, dan rasanya seperti sebuah perjalanan yang luar biasa!

Lagu lainnya, "Winona," menjadi singel utama Delaware, mungkin menjadi salah satu lagu indie alternatif yang sudah tak terhitung lagi mengangkat sosok Winona Ryder, memiliki energi dan hooks yang seru. Sebuah kover lagu terkenal milik Madonna, berjudul "Angel", tampak mengasyikkan, terutama dengan lick gitarnya yang keren. Sebuah materi lain berjudul "Reberrymemberer," bak sebuah pendekatan paling berisik Drop Nineteens di album ini, penuh kekacauan dengan rasa yang jauh lebih enak.

Konklusi, album Delaware dari Drop Nineteens benar-benar menjadi memori paling berkesan dalam penjelajah spiritual saya di genre shoegaze, bahwa musik shoegaze sejati itu sebenarnya hanya ada di era '90-an, setelah itu selesai, finis. Dan tampaknya saya harus mengiyakan kutipan teman saya, bahwa shoegaze itu sebenarnya sudah mati, dan yang hadir saat ini hanyalah segerombolan peniru semata, tanpa ada sesuatu yang baru, miskin esensi. Pahit memang, no offense yah, huhuhu... ;P Marr

Photobucket


Source: Termasuk banyak diincar para eBayer. Saya harus bertarung untuk memperoleh cd ini melalui bidding di eBay.com. Kalap gak papa dah, rela ngabisin 20 dollaran cuma biar menangin nih cd, hehehe... :P

get the link!

buy it!

Friday, January 9, 2009

Grand Funk Railroad - Grand Funk

Photobucket

Grand Funk Railroad, one of the loudest rock group in the seventies and the pride of America! Satu lagi band berdaya gempur dahsyat dari kawasan Michigan. Grand Funk Railroad adalah sebuah power trio yang memainkan musik rock hasil implementasi dari spirit working class yang penuh energi serta dibalut dengan kesahajaan semangat blues. Terbentuk di pertengahan tahun ‘60-an di Flint, Michigan oleh Mark Farner (gitaris sekaligus vokalis) dan Don Brewer (drummer), di mana keduanya adalah bekas personil band garage rock Amerika dari pertengahan ‘60-an, Terry Knight & the Pack. Terinspirasi oleh Cream dan Jimi Hendrix Experience, mereka akhirnya merekrut mantan pemain bas band Question Mark & the Mysterians, Mel Schacher, untuk melengkapi formasi band. Mengambil nama band mereka dari sebuah landmark di negara bagian Michigan, Grand Funk Railroad mulai giat menulis materi dan bermain musik dari pangung ke panggung sampai akhirnya mereka dikontrak oleh Capitol Records setelah melihat penampilan memukau nan atraktif mereka di Atlanta Pop Festival pada tahun 1969 (di sana mereka rela bermain tanpa bayaran!).

Album self titled ini, atau biasa disebut oleh para penggemar mereka sebagai 'Red Album', sesuai dengan warna cover album ini, adalah rilisan kedua mereka setelah album debut yang berjudul On Time. Dirilis Capitol pada tahun 1970, materi di album didominasi oleh sound mentah hard rock awal tahun ‘70-an yang powerful dan alami, dengan kandungan inti berupa fuzz tone, riff-riff hibrida blues rock yang mematikan, lick-lick menyayat telinga, dan lirik gamblang dengan tingkat keberisikan maksimal. Direkam hanya dalam waktu tiga hari saja, hampir seluruh materi lagu di album ini ditulis oleh Mark Farner ditambah satu lagu cover milik Eric Burdon & the Animals.

Sewaktu pertama kali mendengarkan album ini, saya merasa seperti disengat aluran listrik ratusan volt, it blew my mind off and I was like being slammed from the roof to the floor over and over. Dibuka dengan “Got This Thing on the Move” yang akan langsung menghunjam telinga anda, kemudian dilanjutkan dengan “Please Don't Worry” yang sangat heavy, kencang dan dinamis. Harmoni vokal terdengar sangat kuat di hampir keseluruhan materi lagu album ini, sekaligus menjadi salah satu kekuatan serta ciri khas Grand Funk Railroad. Simak contohnya pada lagu “Mr Limousine Driver”. Sedangkan "High Falootin' Woman", “Inside Looking Out”, dan "Paranoid" akan membawa kita kepada musikalitas Grand Funk Railroad yang lengkap dan variatif mulai dari blues, rock dan sedikit prog. Dentuman suara ter-overdrive gitar bas Mel Schacher yang bertubi-tubi terdengar tidak pernah kendur di keseluruhan lagu. Pukulan drum Don Brewer sarat dengan rovel-rovel liar nan enerjik. Lick melodi serta ritem liar dari suara gitar Mark Farner berhasil mengekstensikan aura sonic dari musik mereka yang sedikit nge-jam pada lagu "In Need". Mendengarkan Grand Funk Railroad akan membuat bulir-bulir keringat anda tidak akan henti-hentinya keluar membasahi tubuh.

For me, album ini merupakan sebuah masterpiece dari khasanah musik classic rock '70-an, Grand Funk Railroad at their best! Album ini juga menjadi sebuah pencerahan bagi saya, tidak perlu pemikiran njlimet untuk dapat mencernanya. Even for a diehard Britpop fan like me! Rela untuk murtad demi merasakan sensasi musik bersemangat penuh tenaga dari Grand Funk Railroad. Very-very footstomping to me!!! Saya sendiri termasuk terlambat mengenal mereka (seorang kawan setongkrongan di Lapangan Jenderal Urip Jatinegara yang umurnya satu dasawarsa lebih tua dari saya, pertama kali mengenalkan Grand Funk Railroad melalui sebuah kaset rekaman bootleg rilisan lokal) dan berhasil merubah persepsi saya kalau classic rock itu memang keren.

Setelah mendapatkan cd-nya pada sebuah toko musik di kawasan Jakarta Pusat, album ini akhirnya sukses masuk ke dalam playlist ritual mendengarkan musik di setiap hari Minggu pagi di rumah saya. Jadi kalau anda ingin mendengar sebuah jejak sejarah musik rock Amerika yang pengaruhnya sangat kuat merasuki band-band rock sekarang, lekaslah download di sini atau beli kaset, cd, piringan hitamnya or anything you can steal, yang penting bisa didengarlah. Please don’t worry... The Drowner

Source: Undisclosed!

Photobucket

get the link!

buy it!

The Veldt - Afrodisiac

Photobucket

Have you ever seen a black guy playing a Fender Jaguar? With lots of atmospheric delays and stuffs? Well, I believe not in a million :D. So, semua bermula ketika seorang teman saya menyuruh untuk mengecek di youtube.com, sebuah videoklip dari band bernama The Veldt, judulnya "Soul in a Jar". Terkagum pada aksi gitaris band ini, berlanjutlah dengan perkenalan pada sebuah kaset tua The Veldt rilisan lokal, berjudul album Afrodisiac. Lalu berlanjut dengan sesegera mungkin memesan cd album ini yang terserak di eBay.com. Hasilnya, darn! this band really amazed me in many ways!

Why? Well, this is a band consists of three black guys, plus a caucasian; lalu mereka memainkan musik shoegaze dengan sentuhan dream pop khas Cocteau Twins yang berhiaskan buaian delay dan reverb, namun dengan energi atau passion yang begitu berbeda sekali dengan band lain sejenisnya. Ibaratnya, it’s like hearing a black music, but in a different texture or form, totally intriguing and tantalizing! Like a black shoegaze, i guess, full of soul and beats.

Apalagi yang lebih alami dan memang pada kodratnya ketika orang kulit hitam memainkan sebuah musik rock n roll? Memadukan sentuhan musik khas A.R. Kane dan Cocteau Twins dengan permainan gitar khas Robin Guthrie, namun bisa sedikit agresif, simaklah band bernama The Veldt ini. Turut dipengaruhi oleh band-band seperti Echo & the Bunnymen, Jimi Hendrix dan Prince, band asal North Carolina ini menyajikan lantunan lirik yang tampak begitu ekspresif, jelas dan bersemangat. Tak seperti band-band sejenisnya yang ketika itu justru lebih memilih menenggelamkan vokal mereka di bawah dominasi eksplorasi gitar.

Didirikan pada tahun 1986 oleh sang vokalis Daniel Chavis dan adiknya, Danny Chavis (gitaris). Dua tahun berikutnya, kakak beradik ini mencari personil tambahan, masuklah Martin Levi (drum), dan Dave Burris (gitar bas). Setelah sebelumnya meluncurkan EP Marigolds, pada tahun 1992 di label Stardog/Mammoth, The Veldt berhasil masuk dapur rekaman di label Mercury, merilis Afrodisiac, sebuah album alternative yang bagi saya tampak begitu apik, sempurna dan meyakinkan.

Afrodisiac dimulai dengan sebuah intro manis kurang dari dua menit, “Intro (I’ll Say Anything)” begitu soulful dan berbau Motown, di mana Daniel bersama seorang wanita Afro saling bertukar kata cinta. Selanjutnya beberapa lagu menarik seperti "Soul in a Jar," "Until You're Forever," dan "Wanna Be Where You Are" patut disimak dengan penuh seksama, dan ternyata shoegaze tak harus galau, tapi bisa penuh passion dan gairah. Belum lagi terpananya saya pada "Revolutionary Sister", sebuah materi yang sangat luar biasa liriknya, penuh dengan semangat politisasi gender, dinyanyikan dengan lantang, diiringi sahutan manis gadis Afro yang progresif. Tak hanya itu, Robin Guthrie mengkontribusikan permainan gitarnya pada akhir album Afrodisiac, “Outro (Shaved)”. The Jesus and Mary Chain juga membantu dengan me-remix "Soul in a Jar", meski tidak terlalu istimewa hasilnya. But overall, this album really pleased me, really dreamy and gazy, it’s like having a gorgeous brown sugar chick on your bed... Yeah! You got soul! Marr

PS: Frankly, guys, donlotan album Afrodisiac dari The Veldt ini bisa disebut satu-satunya yang ada di internet, bahkan di blog shoegazeralive pun belum pernah ada yang upload! So, lucky you!

Source: Cd ini adalah pembelian perdana saya melalui sindikasi perdagangan maya via eBay.com dengan pembayaran melalui paypal.com. Hohoho, senangnya!


Photobucket

get the link!

buy it!

Friday, January 2, 2009

Teenage Fanclub - Bandwagonesque

Photobucket

Sebuah sore di awal tahun 2009, Mr. The Drowner membawa sebuah cd album yang sempat membuat kedua mata saya sedikit berkaca-kaca. Sampulnya tumpul, picisan dan menyilaukan (bak perpaduan Andy Warhol dan Gober Bebek) namun memiliki tempat cukup spesial di hati saya. Seketika ingatan pun kembali ke masa SMP. Memutar kembali perasaan seorang anak kelas 3 yang amat menggilai musik ‘60-an di awal tahun ’90-an. Nyaris tak memiliki teman tuk berbagi hasrat musikal, karena saat itu hampir semua dari mereka menggilai thrash metal atau setidaknya punk rock. Saat itu Nirvana baru saja berlabuh di pantai, belum turun ke pusat kota.

Di tahun 1990/91, TVRI Programa 2 pernah menyiarkan sebuah acara musik Barat (di mana saya lupa namanya) yang cukup maju pada setiap hari Minggu sore. Tiap tiga minggu sekali, acara tersebut menampilkan segmen indie-chart, di mana kita bisa menyaksikan banyak cuplikan klip dari aksi-aksi grup musik seperti Happy Mondays, Bridewell Taxis, Ride, Inspiral Carpets, Swervedriver, Pulp dan Butthole Surfers. Dari acara inilah saya mengenal band bernama Teenage Fanclub. Saya amat menggilai sebuah lagu mereka di tangga lagu segmen tersebut, “God Knows It’s True”, single legendaris yang nyaris mustahil didapatkan di toko-toko rekaman di Jakarta. Teenage Fanclub, serta band-band lain yang tampil di segmen itu rata-rata menawarkan pendekatan musikal bernafaskan ’60-an. Sebuah alasan mutlak bagi saya untuk menyukai mereka. Sebuah penerbangan baru yang akhirnya dapat saya nikmati perjalanannya. Tidak seperti grindcore ataupun death metal, yang digilai oleh teman-teman setongkrongan saya.

Album Bandwagonesque ini adalah rekaman Teenage Fanclub pertama saya, sekaligus debut rilis Teenage Fanclub yang beredar di Indonesia. Saya membelinya di sebuah toko kaset di Jakarta Selatan pada awal tahun 1992, ketika masih di kelas 3 SMP, sedang menyukai Nirvana. Ketika itu pun saya sudah merasa yakin album ini bisa beredar di Indonesia sebagai imbas meledaknya album Nevermind beserta trend grunge-nya. Bahkan seorang Kurt Cobain menggemari sajian perpaduan musik power pop Beatlesque, permen karet, dan agresi punk rock yang ditawarkan Teenage Fanclub. Ia sampai mendeklarasikan grup asal Skotlandia itu sebagai band terbaik di dunia. Majalah Spin pun menjadikan Bandwagonesque sebagai album of the year untuk tahun 1991, menyingkirkan Nevermind!!

Bandwagonesque sebuah album klasik power pop ’90-an. Bongkahan emas pop berjejalan dalam wujud “What You Do to Me”, “Metal Baby”, ataupun “December”. Neil Young, harmoni the Byrds/Beach Boys, alkohol, serta lirik yang mereferensikan Status Quo, menjadi jejak-jejak inti yang hadir pada aneka kidung legendaris seperti “Alcoholiday”, “The Concept” maupun “Star Sign”.

Album yang dirilis tahun 1991 ini cukup memberikan pencerahan penuh arti, menuntun saya pada Big Star, pahlawan sejak SMA. Setelah the Beatles, album inilah yang menjelaskan kepada saya bahwa musik pop yang baik ternyata tidak harus susah. Bayangkan, hampir semua lagu di album ini memiliki progresi akor yang sama, dibolak-balik agar terdengar berbeda. Sound-nya pun telanjang, tidak pretentious, gamblang, seperti sampul albumnya. Sampai-sampai banyak teman saya, yang merupakan penggemar punk rock yang turut kepincut oleh Nirvana, akhirnya bisa menjadikan lagu-lagu di Bandwagonesque sebagai musik pengiring kala bermain papan luncur ekstrem! Clockender

Spin (12/91) - Highly Recommended - "..this music makes your spine shiverGod's gift to college radio...Equal parts Neil Young, Big Star, Rolling Stones, Lindsey Buckingham, and Eddie Money..." - Ranked #1 in Spin's list of the 20 Albums Of The Year (1991) - "...this record would be hard to equal in any year. Rock music doesn't get much better than this."

Photobucket

Source: (foto LP Bandwagonesque) Beli di eBay tahun 2001, US$18, lumayan, hehe… Untuk foto rilisan cd berasal dari koleksi the Drowner. They're all Creation originals...

get the link!

buy it!