Friday, December 25, 2009

The Porno - Subliminal

Photobucket
Setelah dua minggu nongkrong di rak CD saya akhirnya datang juga waktu yang tepat untuk bisa berkonsentrasi mendengarkan debut album milik The Porno ini. Terima kasih buat rekan saya yang dengan sukarela memberikan cd ini kepada saya untuk direview, berbalut standard jewel case cover album ini cukup bernuansa suram ditambah judul yang berdasarkan terjemahan dari kamus Inggris – Indonesia karangan S. Wojowasito berarti “bawah sadar”, heem rasanya kedua hal tersebut sudah cukup menggelitik rasa keingintahuan saya akan isi materi album ini.

Dirilis oleh Sinjitos Records dan diproduseri oleh salah satu orang yang mempunyai sentuhan Midas di dunia Indie tanah Batavia ini, pastinya para pendengar dan fans The Porno akan mengharapkan sesuatu yang melebihi ekspektasi dari materi album ini, apalagi demo dan lagu The Porno sebelum dihandle oleh Iyub terdengar biasa saja. Berbicara tentang The Porno tentu saja tidak bisa terlepas dari Joy Division dan Post Punk, setidaknya itulah persepsi orang-orang atau fans yang sudah mengenal dan mendengarkan musik mereka, entah apakah hal ini membuat The Porno sendiri sudah muak atau malah bangga dengan pengasosiasian ini, yang jelas itu sudah cukup menjelaskan secara gamblang status bermusik mereka.

Sebenarnya saya termasuk orang yang tidak suka untuk mengkotak-kotakan band berdasarkan genre musiknya, tapi akar musik The Porno memang jelas tertanam kuat pada tradisi DIY yang kaya dari post-punk Britania Raya dan Garage Rock Detroit. And of course with all their maximum efforts, The Porno telah berusaha keras dan cukup berhasil membuat semacam pendekatan yang jelas baik itu melalui cara dan gaya bernyanyi serta musikalitas mereka ke arah genre yang telah dieksplorasi dan dipelopori oleh beberapa band yang paling berpengaruh di masa dua puluh lima tahun lalu tepatnya akhir tahun 70an dan sudah melegenda tersebut (ie. Joy Division, Gang of Four, XTC & The Fall; to name a few). Tanpa sangsi, tentunya mereka juga telah berusaha keras untuk membuat Ian Curtis bangga sebagai Icon mereka, dengan tidak mengundang perbandingan yang negative akan hal tersebut.

Ok, cd The Porno telah terpasang di CD player saya lets hear the first track entitled “premature”, di lagu pertama yang berlirik bahasa Inggris ini they still sound a bit shy ataukah mereka memang berniat untuk membangun tempo terlebih dahulu, dengan kata lain tidak langsung hajar dengan lagu kencang, ah sangat disayangkan memang (Fyi: Saya sangat suka dengan hantaman keras di awal album ala Dinosaur Jr. He he he). Dengan amunisi sound fuzz gitar dan suara drum gagap berderap saya sudah terbayang akan seperti apa jadinya track-track berikut. Lagu kedua “To Get Through A Fence” yang berdurasi 1.17 menit ini kita langsung disodori dengan intro ketukan drum plus gigitan bass yang berakselerasi, nah disini saya mulai antusias. The Porno mulai bermain dengan gigih dan bersemangat, riff-rif gitar terdengar cukup variatif, dentuman bass terdengar membimbing dengan jelas kemana arah musik mereka.
Dari total delapan lagu di album berdurasi kurang lebih 30an menit ini hanya terdapat satu lagu yang berlirik bahasa Nasional, lainnya berbahasa Inggris semua. “So it Goes” dan “The Final” tampak terinspirasi dari album “Closer” nya Joy Division tetapi ditambah riff-riff fuzz variatif serta distorsi yang cukup berat dari effect Fender Blender dan EH Holy Stain. Lirik yang galau plus kekalutan langsung menimbulkan mood yang membenamkan kita ke dalam lumpur depresi plus effect Claustrophobia, sayang kreativitas dan pengucapan lirik masih harus sedikit lebih ditempa, dimana hal ini juga terdengar cukup jelas pada lagu “Control” padahal ini termasuk salah satu track favorite saya di album ini dari sisi musikalitasnya.
Lanjut di track kelima, akhirnya ketemu juga lagu berlirik berbahasa Nasional di album ini, “Hantam Ku Gerak Gerilya” bertempo cepat berontak penuh energy dengan teriakan lantang sang vokalis dan ending yang maut sangat cocok buat doping pelepasan adrenaline. Kemudian tiba pada track favorite saya yaitu “Introvert”, this song really surprises me, karena di lagu ini saya justru menemukan unsur shoegaze yang cukup kental, dan kalau kita berbicara identitas “Subliminal”, justru di lagu inilah saya menemukannya. Ada nuansa bawah sadar yang menarik jiwa kita ke alam euphoric melalui ketukan drum nan ramai, raungan vokal yang melodius, gigitan bass bak gerinda yang mengalir terharmoni serta reverb noise dari deruan gitar yang raw dan membius. Di lagu ini pula mood saya bisa sedikit cerah setelah 6 kali dihantam dengan nuansa kesuraman dan kegalauan yang cukup monoton dan hampir membuat saya mengecilkan volume amplifier saya. In Other words, The Porno is actually quite talented dalam menciptakan lagu-lagu bernuansa shoegaze.
The Last track sekaligus berdurasi paling panjang lebih dari enam menit called “Minor”, nah yang ini jelas-jelas inspired by The Stooges, kalau ada yang berani menyangkal silakan berdebat dengan saya. Eksplorasi maksimal dari gitaris The Porno tercurah habis-habisan di lagu ini, noise, reverb, distorsi dan fuzz campur aduk menjadi sesuatu disorder yang mengadiksi, detakan drum yang gagap dan konstan monoton courtesy The Stooges sukses menjadi jiwa di lagu ini. Saya sangat suka dengan struktur lagu ini, ada unsur psychedelic dan acid sebagai bensinnya, but again saya agak kurang nyaman dengan seksi vokal di lagu ini, but this is still my favorite track from the Album.

My final conclusion, Album ini bagus dan inovatif meskipun masih terdapat beberapa flaw yang cukup mengganggu terutama di bagian vocal dan lirik, akan tetapi riff-riff gitar yang tajam dan variatif, ketukan drum konstan repetitive yang menjadi salah satu ciri khas genre post punk serta sedikit unsur psychedelia yang kemudian disempurnakan dengan aransemen yang tight dan sesuai dengan apa maunya Band ini, menjadikan album ini sebuah debut segar dari salah satu pengusung post punk di Indonesia ini layak untuk didengar dan dibeli tentunya, bukan sebuah debut yang fantastic dari The Porno tetapi justru itu yang menjadi nilai plus dan mereka telah menetapkan dasar pondasi yang kuat dari identitas musik mereka dan
juga sebuah nostalgia instant atas spirit DIY dan bawah tanah dari 70s -80s post punk movement .
Saya juga yakin mereka masih akan dapat berkembang lebih baik di materi-materi mereka berikutnya, For their next releases, saya ingin lebih banyak mendengar The Porno lebih bereksperimen dengan musik mereka dan tanpa segan-segan mau mencomot pengaruh dari Band-Band Post Punk America dan Garage Rock lain seperti MC5, Husker Du, Sonic Youth, Gang of Four (UK), The Sound, Pere Ubu, Mission of Burma, The Birthday Party (UK) atau dari legenda Rock macam Velvet Underground, Pink Floyd maupun The Doors sekalipun.

Come on Guys Post Punk isn’t only about Ian Curtis and Joy Division... In The End, Congrats buat The Porno, you’ve made it keep rockin mates!!! The Drowner
Photobucket
star Pictures, Images and Photosstar Pictures, Images and Photosstar Pictures, Images and Photosstar Pictures, Images and Photos
Get this fascinating album at your favorite record stores, such as Aquarius, Aksara, or else!! 

Wednesday, December 23, 2009

Mellon Yellow - Milk Calcium EP

Photobucket
Satu hal kenapa saya selalu bilang bahwa the real essence of shoegaze genre was the 90’s era, adalah karena only on that period lived dozens of bands with sophisticated sounds and music. Band-band seperti MBV, Ride, Moose, Catherine Wheel, Boo Radleys, Swervedriver, dan masih banyak lagi, mempersembahkan kejeniusan mereka dalam khasanah kultur musik alternatif 90’s. Lagu-lagu mereka seperti sebuah anomali pakem musik indie di Inggris pada era 90-an.
Anggapan yang kerap beredar saat ini ketika shoegaze diterjemahkan sebagai gudangnya band-band ethereal, berdelay ria ala Cocteau Twins atau Slowdive, bernuansa galau ala Sigur Ros, dan sebagainya. Well, shoegaze lebih dari sekadar hal-hal diatas.
Shoegaze adalah a passion, hasrat, seperti yang dialami para anak-anak muda di era 90’s yang terbenam dengan band-band seperti Nirvana, Sonic Youth atau Jesus and Mary Chain. Ia bukanlah musik kontemplatif seperti post rock. It’s totally an alternative music, man! It will drives you for a stagediving or just jumpin around when you’re on a show. Singing along and screamin for more.
Rasanya hal-hal ini akan segera ditawarkan oleh Mellon Yellow melalui rilisan EP pertama mereka berjudul Milk Calcium. Betul-betul sebuah EP yang sangat menarik sekali. It’s soooo 90’s, they capture it really bloody fukkin cool. I mean, hearing this EP, its like transport you for a time travel into days where Bilinda Buthcer fell in love with Kevin Shields! Yes guys, keempat lagu yang ada di EP ini memang berkiblat kepada warna shoegaze di era 90’s.
Terkadang ada band yang mirip seratus persen dengan sebuah band tertentu, tapi di EP Milk Calcium, saya tak bisa menemui sebuah kemiripan pada band tertentu. Jangan keburu berasumsi karena nama band ini dari sebuah lagu Slowdive lalu berpikir bakal serupa. Ngedengerin album mini ini bakal diajak bertamasya pada band-band spesial yang mempengaruhi mereka. Sebut saja, Catherine Wheel, Boo Radleys, Drop Nineteens, Ride, Moose, hingga MBV.
Keempat track di EP yakni The Longest Yard, Less Turtle in the Day, Milk Calcium, dan Kevin. Kesan pertama, hasil rekaman yang sangat tight dan rapi. Keempat materi lagu dari mereka pun atraktif dan bisa menjadi pengantar yang sempurna bagi yang ingin mencicipi seperti apa sensasi shoegaze era 90’s. Dari keempat lagu, ada dua materi yang bikin saya betul-betul kesengsem dengan EP ini, yakni the Longest Yard dan Milk Calcium.
Untuk the Longest Yard, mungkin bisa dilihat review saya di posting sebelumnya tentang satu lagu teaser EP mereka di blog ini. Khusus untuk Milk Calcium, (dimana saya saat menulis lagi mendengarkannya) betul-betul lagu yang bener-bener ajib! It got the 90’s spirit, begitu alternatif sekali dan pastinya bisa bikin para penonton berjingkrak, stagediving, dan tentunya headbanging just like in the ol’ time. Saya seperti diajak ngintip bagaimana Rob Dickinson dan gengnya di Catherine Wheel, aksi Sice masih berambut bersama Boo Radleys, Adam Franklin masih gimbal dengan Swervedriver hingga melihat Noel Gallagher bersama Oasis. Tentunya ini imajinasi saya saja ketika mendengarkan lagu ini.
Sementara itu, di dua lagu lainnya, Less Turtle in The Day, dan Kevin, juga kuat dari musik dan songwriting. Karakter shoegaze gelombang kedua yang digebrak melalui album Loveless-nya MBV bener-bener kentara dan kental sekali. Racikannya pun asyik dan penuh layers guitar driven dari ketiga gitaris Mellon Yellow tampaknya bisa berkomunikasi dengan baik melalui persenjataan efek mereka masing-masing.

Hanya saja, setelah rembugan dengan mr. The Drowner tentang album mereka, tentu ada hal-hal yang patut dikritisi. Khususnya pada wilayah perkusi alias drum dan bass yang terkesan kok terlalu main safe atau nurut banget. Lebih khusus kepada wilayah drum, entah apa karena kondisi take di studio atau apa, drumnya terlalu biasa saja. Padahal seharusnya bisa lebih eksploratif dan berwarna, jika mengambil contoh bagaimana liarnya Loz Colbert di album-album shoegaze Ride atau Colm O'coisog yang meski sederhana tetapi rusuh banget. Pada wilayah bass pun justru tak banyak dinamisasi yang bikin lagu-lagu di EP ini menjadi penuh tekstur dan berwarna. Harapan kami jika ini dianggap sebagai sebuah singel, maka untuk proses pengerjaan album penuh harus diperhatikan kedua hal ini. Istilahnya, shoegaze itu juga haruslah bermain penuh resiko dan tidak selalu harus bermain di wilayah aman saja.

Pastinya band ini bakal menjadi sebuah sampel pergerakan band-band shoegaze di Jakarta yang menampilkan alternatif yang spesial kepada ranah scene lokal. Lebih fuzzier dan colorful. The best thing happen from Jakarta bisa saja terjadi since Sugarstar! Trust me, dudes! Overall, this album really amazed me, in a fukkin good way! Marr


Photobucket

star Pictures, Images and Photosstar Pictures, Images and Photosstar Pictures, Images and Photosstar Pictures, Images and Photos
buy their cd's by contact Ridho Syahrir  at +62 (021) 93795370 , 085691996434 only for IDR15.000!!