Friday, December 25, 2009

The Porno - Subliminal

Photobucket
Setelah dua minggu nongkrong di rak CD saya akhirnya datang juga waktu yang tepat untuk bisa berkonsentrasi mendengarkan debut album milik The Porno ini. Terima kasih buat rekan saya yang dengan sukarela memberikan cd ini kepada saya untuk direview, berbalut standard jewel case cover album ini cukup bernuansa suram ditambah judul yang berdasarkan terjemahan dari kamus Inggris – Indonesia karangan S. Wojowasito berarti “bawah sadar”, heem rasanya kedua hal tersebut sudah cukup menggelitik rasa keingintahuan saya akan isi materi album ini.

Dirilis oleh Sinjitos Records dan diproduseri oleh salah satu orang yang mempunyai sentuhan Midas di dunia Indie tanah Batavia ini, pastinya para pendengar dan fans The Porno akan mengharapkan sesuatu yang melebihi ekspektasi dari materi album ini, apalagi demo dan lagu The Porno sebelum dihandle oleh Iyub terdengar biasa saja. Berbicara tentang The Porno tentu saja tidak bisa terlepas dari Joy Division dan Post Punk, setidaknya itulah persepsi orang-orang atau fans yang sudah mengenal dan mendengarkan musik mereka, entah apakah hal ini membuat The Porno sendiri sudah muak atau malah bangga dengan pengasosiasian ini, yang jelas itu sudah cukup menjelaskan secara gamblang status bermusik mereka.

Sebenarnya saya termasuk orang yang tidak suka untuk mengkotak-kotakan band berdasarkan genre musiknya, tapi akar musik The Porno memang jelas tertanam kuat pada tradisi DIY yang kaya dari post-punk Britania Raya dan Garage Rock Detroit. And of course with all their maximum efforts, The Porno telah berusaha keras dan cukup berhasil membuat semacam pendekatan yang jelas baik itu melalui cara dan gaya bernyanyi serta musikalitas mereka ke arah genre yang telah dieksplorasi dan dipelopori oleh beberapa band yang paling berpengaruh di masa dua puluh lima tahun lalu tepatnya akhir tahun 70an dan sudah melegenda tersebut (ie. Joy Division, Gang of Four, XTC & The Fall; to name a few). Tanpa sangsi, tentunya mereka juga telah berusaha keras untuk membuat Ian Curtis bangga sebagai Icon mereka, dengan tidak mengundang perbandingan yang negative akan hal tersebut.

Ok, cd The Porno telah terpasang di CD player saya lets hear the first track entitled “premature”, di lagu pertama yang berlirik bahasa Inggris ini they still sound a bit shy ataukah mereka memang berniat untuk membangun tempo terlebih dahulu, dengan kata lain tidak langsung hajar dengan lagu kencang, ah sangat disayangkan memang (Fyi: Saya sangat suka dengan hantaman keras di awal album ala Dinosaur Jr. He he he). Dengan amunisi sound fuzz gitar dan suara drum gagap berderap saya sudah terbayang akan seperti apa jadinya track-track berikut. Lagu kedua “To Get Through A Fence” yang berdurasi 1.17 menit ini kita langsung disodori dengan intro ketukan drum plus gigitan bass yang berakselerasi, nah disini saya mulai antusias. The Porno mulai bermain dengan gigih dan bersemangat, riff-rif gitar terdengar cukup variatif, dentuman bass terdengar membimbing dengan jelas kemana arah musik mereka.
Dari total delapan lagu di album berdurasi kurang lebih 30an menit ini hanya terdapat satu lagu yang berlirik bahasa Nasional, lainnya berbahasa Inggris semua. “So it Goes” dan “The Final” tampak terinspirasi dari album “Closer” nya Joy Division tetapi ditambah riff-riff fuzz variatif serta distorsi yang cukup berat dari effect Fender Blender dan EH Holy Stain. Lirik yang galau plus kekalutan langsung menimbulkan mood yang membenamkan kita ke dalam lumpur depresi plus effect Claustrophobia, sayang kreativitas dan pengucapan lirik masih harus sedikit lebih ditempa, dimana hal ini juga terdengar cukup jelas pada lagu “Control” padahal ini termasuk salah satu track favorite saya di album ini dari sisi musikalitasnya.
Lanjut di track kelima, akhirnya ketemu juga lagu berlirik berbahasa Nasional di album ini, “Hantam Ku Gerak Gerilya” bertempo cepat berontak penuh energy dengan teriakan lantang sang vokalis dan ending yang maut sangat cocok buat doping pelepasan adrenaline. Kemudian tiba pada track favorite saya yaitu “Introvert”, this song really surprises me, karena di lagu ini saya justru menemukan unsur shoegaze yang cukup kental, dan kalau kita berbicara identitas “Subliminal”, justru di lagu inilah saya menemukannya. Ada nuansa bawah sadar yang menarik jiwa kita ke alam euphoric melalui ketukan drum nan ramai, raungan vokal yang melodius, gigitan bass bak gerinda yang mengalir terharmoni serta reverb noise dari deruan gitar yang raw dan membius. Di lagu ini pula mood saya bisa sedikit cerah setelah 6 kali dihantam dengan nuansa kesuraman dan kegalauan yang cukup monoton dan hampir membuat saya mengecilkan volume amplifier saya. In Other words, The Porno is actually quite talented dalam menciptakan lagu-lagu bernuansa shoegaze.
The Last track sekaligus berdurasi paling panjang lebih dari enam menit called “Minor”, nah yang ini jelas-jelas inspired by The Stooges, kalau ada yang berani menyangkal silakan berdebat dengan saya. Eksplorasi maksimal dari gitaris The Porno tercurah habis-habisan di lagu ini, noise, reverb, distorsi dan fuzz campur aduk menjadi sesuatu disorder yang mengadiksi, detakan drum yang gagap dan konstan monoton courtesy The Stooges sukses menjadi jiwa di lagu ini. Saya sangat suka dengan struktur lagu ini, ada unsur psychedelic dan acid sebagai bensinnya, but again saya agak kurang nyaman dengan seksi vokal di lagu ini, but this is still my favorite track from the Album.

My final conclusion, Album ini bagus dan inovatif meskipun masih terdapat beberapa flaw yang cukup mengganggu terutama di bagian vocal dan lirik, akan tetapi riff-riff gitar yang tajam dan variatif, ketukan drum konstan repetitive yang menjadi salah satu ciri khas genre post punk serta sedikit unsur psychedelia yang kemudian disempurnakan dengan aransemen yang tight dan sesuai dengan apa maunya Band ini, menjadikan album ini sebuah debut segar dari salah satu pengusung post punk di Indonesia ini layak untuk didengar dan dibeli tentunya, bukan sebuah debut yang fantastic dari The Porno tetapi justru itu yang menjadi nilai plus dan mereka telah menetapkan dasar pondasi yang kuat dari identitas musik mereka dan
juga sebuah nostalgia instant atas spirit DIY dan bawah tanah dari 70s -80s post punk movement .
Saya juga yakin mereka masih akan dapat berkembang lebih baik di materi-materi mereka berikutnya, For their next releases, saya ingin lebih banyak mendengar The Porno lebih bereksperimen dengan musik mereka dan tanpa segan-segan mau mencomot pengaruh dari Band-Band Post Punk America dan Garage Rock lain seperti MC5, Husker Du, Sonic Youth, Gang of Four (UK), The Sound, Pere Ubu, Mission of Burma, The Birthday Party (UK) atau dari legenda Rock macam Velvet Underground, Pink Floyd maupun The Doors sekalipun.

Come on Guys Post Punk isn’t only about Ian Curtis and Joy Division... In The End, Congrats buat The Porno, you’ve made it keep rockin mates!!! The Drowner
Photobucket
star Pictures, Images and Photosstar Pictures, Images and Photosstar Pictures, Images and Photosstar Pictures, Images and Photos
Get this fascinating album at your favorite record stores, such as Aquarius, Aksara, or else!! 

Wednesday, December 23, 2009

Mellon Yellow - Milk Calcium EP

Photobucket
Satu hal kenapa saya selalu bilang bahwa the real essence of shoegaze genre was the 90’s era, adalah karena only on that period lived dozens of bands with sophisticated sounds and music. Band-band seperti MBV, Ride, Moose, Catherine Wheel, Boo Radleys, Swervedriver, dan masih banyak lagi, mempersembahkan kejeniusan mereka dalam khasanah kultur musik alternatif 90’s. Lagu-lagu mereka seperti sebuah anomali pakem musik indie di Inggris pada era 90-an.
Anggapan yang kerap beredar saat ini ketika shoegaze diterjemahkan sebagai gudangnya band-band ethereal, berdelay ria ala Cocteau Twins atau Slowdive, bernuansa galau ala Sigur Ros, dan sebagainya. Well, shoegaze lebih dari sekadar hal-hal diatas.
Shoegaze adalah a passion, hasrat, seperti yang dialami para anak-anak muda di era 90’s yang terbenam dengan band-band seperti Nirvana, Sonic Youth atau Jesus and Mary Chain. Ia bukanlah musik kontemplatif seperti post rock. It’s totally an alternative music, man! It will drives you for a stagediving or just jumpin around when you’re on a show. Singing along and screamin for more.
Rasanya hal-hal ini akan segera ditawarkan oleh Mellon Yellow melalui rilisan EP pertama mereka berjudul Milk Calcium. Betul-betul sebuah EP yang sangat menarik sekali. It’s soooo 90’s, they capture it really bloody fukkin cool. I mean, hearing this EP, its like transport you for a time travel into days where Bilinda Buthcer fell in love with Kevin Shields! Yes guys, keempat lagu yang ada di EP ini memang berkiblat kepada warna shoegaze di era 90’s.
Terkadang ada band yang mirip seratus persen dengan sebuah band tertentu, tapi di EP Milk Calcium, saya tak bisa menemui sebuah kemiripan pada band tertentu. Jangan keburu berasumsi karena nama band ini dari sebuah lagu Slowdive lalu berpikir bakal serupa. Ngedengerin album mini ini bakal diajak bertamasya pada band-band spesial yang mempengaruhi mereka. Sebut saja, Catherine Wheel, Boo Radleys, Drop Nineteens, Ride, Moose, hingga MBV.
Keempat track di EP yakni The Longest Yard, Less Turtle in the Day, Milk Calcium, dan Kevin. Kesan pertama, hasil rekaman yang sangat tight dan rapi. Keempat materi lagu dari mereka pun atraktif dan bisa menjadi pengantar yang sempurna bagi yang ingin mencicipi seperti apa sensasi shoegaze era 90’s. Dari keempat lagu, ada dua materi yang bikin saya betul-betul kesengsem dengan EP ini, yakni the Longest Yard dan Milk Calcium.
Untuk the Longest Yard, mungkin bisa dilihat review saya di posting sebelumnya tentang satu lagu teaser EP mereka di blog ini. Khusus untuk Milk Calcium, (dimana saya saat menulis lagi mendengarkannya) betul-betul lagu yang bener-bener ajib! It got the 90’s spirit, begitu alternatif sekali dan pastinya bisa bikin para penonton berjingkrak, stagediving, dan tentunya headbanging just like in the ol’ time. Saya seperti diajak ngintip bagaimana Rob Dickinson dan gengnya di Catherine Wheel, aksi Sice masih berambut bersama Boo Radleys, Adam Franklin masih gimbal dengan Swervedriver hingga melihat Noel Gallagher bersama Oasis. Tentunya ini imajinasi saya saja ketika mendengarkan lagu ini.
Sementara itu, di dua lagu lainnya, Less Turtle in The Day, dan Kevin, juga kuat dari musik dan songwriting. Karakter shoegaze gelombang kedua yang digebrak melalui album Loveless-nya MBV bener-bener kentara dan kental sekali. Racikannya pun asyik dan penuh layers guitar driven dari ketiga gitaris Mellon Yellow tampaknya bisa berkomunikasi dengan baik melalui persenjataan efek mereka masing-masing.

Hanya saja, setelah rembugan dengan mr. The Drowner tentang album mereka, tentu ada hal-hal yang patut dikritisi. Khususnya pada wilayah perkusi alias drum dan bass yang terkesan kok terlalu main safe atau nurut banget. Lebih khusus kepada wilayah drum, entah apa karena kondisi take di studio atau apa, drumnya terlalu biasa saja. Padahal seharusnya bisa lebih eksploratif dan berwarna, jika mengambil contoh bagaimana liarnya Loz Colbert di album-album shoegaze Ride atau Colm O'coisog yang meski sederhana tetapi rusuh banget. Pada wilayah bass pun justru tak banyak dinamisasi yang bikin lagu-lagu di EP ini menjadi penuh tekstur dan berwarna. Harapan kami jika ini dianggap sebagai sebuah singel, maka untuk proses pengerjaan album penuh harus diperhatikan kedua hal ini. Istilahnya, shoegaze itu juga haruslah bermain penuh resiko dan tidak selalu harus bermain di wilayah aman saja.

Pastinya band ini bakal menjadi sebuah sampel pergerakan band-band shoegaze di Jakarta yang menampilkan alternatif yang spesial kepada ranah scene lokal. Lebih fuzzier dan colorful. The best thing happen from Jakarta bisa saja terjadi since Sugarstar! Trust me, dudes! Overall, this album really amazed me, in a fukkin good way! Marr


Photobucket

star Pictures, Images and Photosstar Pictures, Images and Photosstar Pictures, Images and Photosstar Pictures, Images and Photos
buy their cd's by contact Ridho Syahrir  at +62 (021) 93795370 , 085691996434 only for IDR15.000!!







Thursday, November 19, 2009

The Longest Yard - Mellon Yellow (their first single from the upcoming EP, Milk Calcium)

Photobucket

Ketika saya sedang menulis review ini, lagu berjudul The Longest Yard ini berputar terus-menerus di playlist komputer kantor dimana saya bekerja. Sejam lalu, saya dikirim link mp3 plus review dari dede-wastedrockers mengenai band bernama MellonYellow ini, dan i totally agree with dede's article.

Band asal Jakarta ini memainkan musik shoegaze yang sebenarnya shoegaze, bukan sekadar harus ber-delay, reverb, dan sebagainya, serba nunduk kepala tetapi minim pemahaman atas roots musik shoegaze. Dan Mellon Yellow tidak seperti itu, mereka justru tahu benar cara untuk merasakan esensi shoegaze adalah membenamkan diri pada playlist-playlist usang dari genre shoegaze dari era 1990-an, karena itulah shoegaze yang sebenarnya.

Saya sendiri lumayan kenal lama dengan band ini. Pernah bersama di Tribute to Shoegaze, dan saya bisa pastikan mereka punya nyali dan hasrat. Mereka nekat memainkan lagu-lagu Moose di acara tersebut dimana mungkin hanya segelintir orang yang tahu band generasi awal shoegaze di Britannia ini. Dan hasilnya, 400 lebih orang di acara tersebut harus dipaksa berkenalan kepada warisan Moose terhadap genre shoegaze.

Lagu terbaru mereka untuk EP Milk Calcium adalah sebuah titik awal dari bangkitnya band-band shoegaze di tanah air yang ingin menampilkan shoegaze yang sejati. Saya mungkin terlalu subyektif, namun itu benar adanya. Ditengah keabnormalan bahwa shoegaze yang dianggap musik bunuh diri, galau, hingga frustasi, serta kekacauan intepretasi genre, Mellon Yellow bakal membuka mata siapapun bahwa shoegaze lebih dari dramatisasi picisan, tetapi lebih kepada passion atau hasrat, seperti ketika Kevin Shields pernah meletakkan hasratnya kepada Bilinda Butcher.

The Longest Yard, betul-betul sebuah lagu yang sangat saya tunggu dari sebuah band shoegaze di tanah air setelah Sugarstar! Full of noise, reverb, dan juga swirllie guitar serta hentakan drum dan iringan kibor yang kompak. Vokal Bagus yang santai mendatar, memberikan ruang lebar bagi Bintang, Olenk, dan juga Bagus untuk menghantarkan tsunami fuzz dan noise dengan manis ke telinga siapapun. Penempatan lead di akhir lagu pun menjadi klimaks yang sempurna.

So, silahkan download link dari single mereka, The Longest Yard, dan mari berpetualang pada imajinasi masing-masing. Beauty indeed! Marr
star Pictures, Images and Photosstar Pictures, Images and Photosstar Pictures, Images and Photosstar Pictures, Images and Photosstar Pictures, Images and Photos
link!

Friday, July 24, 2009

Hit The Switch!

Photobucket

Satu hal yang paling dicari dari sebuah acara musik tentu suguhan band-band menarik, beragam, dan artistik. Lemah konsep acara bisa blunder, seperti even Whatever Sounds. List band yang cukup baik (with Monkey to Millionaire as the headliner), namun nama acara yang tak cerdik (whatever sounds?) lalu sepi pengunjung berujung molor waktu acara, meski bertiket IDR10.000 (u can’t find a gig with these kind ticket price); hasilnya acara tersebut malah tak mengigit.

Berkaca dari acara lalu, acara Hit the Switch! seharusnya menjadi pengobat kegagalan acara sebelumnya. Berbekal list band yang lebih tight, such as Denial, The Porno (namun batal karena kesibukan vokalis mereka), Derai Maksimal, Mellon Yellow, Jude, Whistler Post, hingga Damascus, membuat acara ini lebih colorful dan serius. Dan sekali lagi dengan harga tiket begitu bersahabat, IDR10.000, untuk sebuah acara alternative underground dengan band-band yang serius.

Namun, badly, sekali lagi sepi pengunjung, padahal Hit the Switch! menawarkan sebuah acara menarik kepada para pengunjung yang datang, termasuk rekan saya yang rela jauh-jauh mampir dari Yogyakarta, demi memastikan sensasi esensi band-band Jakarta yang cenderung noise fetisher. Sebuah acara keren menurut saya, namun minim pengunjung, entah kenapa, akhirnya saya berasumsi bahwa jauhnya letak Submarine yang berada di sekitar Jakarta Barat, Permata Hijau, menjadi kendala utama. Setau saya, sedikitnya rute bis melintas, meski ada jalur halte busway di depan Belleza.

Hit the Switch! dimulai dengan sehat, berikut band-band menarik lainnya, meski saya baru datang pada saat sebuah band blues rock bernama Jude beraksi. Great tunes, plus riff-riff blues menghangati suasana Submarine. Tak lama Whistler Post tampil, salah satu band yang saya nantikan, karena penasaran seperti apa live band yang digawangi Tania Clover dan Hans ini. Mellon Yellow pun menyusul pada line up berikutnya, salah satu band Shoegaze dari Jakarta yang berkiblat pada sentuhan era 90’s Shoegaze. ‘Kevin’, dan beberapa materi dibawakan, too bad, ‘May Day’, tak dibawakan, padahal itu fave saya.

Photobucket

a whistler post

Salah satu band yang paling membuat saya terkaget ria, adalah saat Derai Maksimal beraksi. Betul-betul superbly fascinating, magisnya nuansa psikedelik, nuggets, blues, garage, atau apalah itu sebutannya, menjelma di band ini. Bahkan tak menyangka jika vokalis mereka ternyata adalah gitaris Sharesprings. And I love their music, betul-betul tak tertebak dan unik.

Photobucket

beradu derai maksimal

Beberapa band berikutnya pun menyusul, namun saya terpaksa harus keluar masuk acara karena ihwal konyol, dan harus melewatkan beberapa band tersebut. Meski begitu penampilan band Damascus tak terlewatkan, membawakan 3 materi pribadi, plus sekitar 4 menit noise holocaust. Enggan ‘berbunga kata’ kepada Damascus, karena bakal terkesan subjektif dan narsis untuk saya ha ha ha.

Photobucket

at damascus

Penampil terakhir, tentu saja, Denial, mempersembahkan momen spesial kepada para pengunjung tersisa, betapa noise adalah sebuah hal yang sensual sekaligus artistik. Sekitar 5 atau 6 lagu dibawakan Tony dan Beben cs, dan telinga saya berdengung sesekali. From what I saw, Beben also brought ol’ vintage head cabinet Marshall JCM 900 (i guess), plus one violinist and a tambourine mistress. Entah kapan mereka bakal merilis materi mereka secara resmi, a spacerock/noisepop temptation at its well forms. Tak sabar menanti.

Photobucket

denials on tony

Akhir kata, Hit the Switch! adalah sebuah acara keren serta tiket bersahabat, namun sayang sekali dilewatkan oleh mereka yang tidak menghadirinya. Dan teman saya tadi sebutkan sempat mengirim sms sesaat ia sampai di kota gudeg, berujar tak ada band-band seperti acara ini di Yogyakarta, betul-betul fascinatingly cool as noise. Indeed. Marr.

Photobucket

our mistress of noise

Tuesday, May 26, 2009

The Sastro - Vol 1

Photobucket

Sebulan yang lalu, sebuah surat elektronik plus attached files berupa .rar mp3 album perdana dari sebuah band ekletik lawas dari IKJ terkirim di email pribadi saya. Lagu-lagu lawas seperti Lari Seratus, Kaktus, Plazamaya, hingga Sejati (total 8 lagu) terangkum di folder, dan band ini termasuk salah satu band indie tanah air yang orisinil dan artistik dalam musik mereka, dan saya suka itu. Seseorang yang tidak mau disebutkan namanya itu sengaja mengirimkan email ini kepada saya agar disandingkan di blog ini, dan why not?

Kenapa? I've got tons of reason, tho most of them was more than my subjective views bcoz i like their music hahaha tapi sejujurnya album perdana mereka berjudul Vol. 1 ini memang turut menjadi salah satu titik balik bangkitnya scene indie di Jakarta. Entah apa saya saja yang menyadarinya, tapi sempat terjadi kekosongan enigma indie paska era Poster di 97-an hingga awal 2000-an, selepas Rumahsakit. Ketika saya pertama kali melihat The Sastro muncul di kampus mereka, salah seorang teman saya menyebut bahwa mereka sebenarnya menyelamatkan jejak ekletik yang dimulai oleh Rumahsakit, dimana sebelumnya sempat tak terlihat lagi dari band-band IKJ saat itu, mungkin sampai saat ini setelah kehadiran The Sastro.

Photobucket

agung the sastro

Berbekal kecerdasan mereka menampilkan aransemen dan lick-lick rumit, The Sastro tak kesulitan menjamah telinga-telinga scenester di Jakarta dan Bandung. Album perdana mereka ini, kalau tak berlebihan, bisa disebut sebagai the best indie album of the year hahaha seriusan, pernahkah membayangkan The Police, Rush, dan The Smiths dalam satu kemasan yang benar-benar serius? di album ini tak bakal ada lick-lick gitar sederhana atau aransemen musik ekletik dengan riff-riff standar. Hasilnya adalah sebuah album ekletik (format kaset) yang smooth, dinamis, dan tidak berlebihan; tak terlihat sok ekletik, namun mereka benar-benar really serious ecletic-ers.

Digawangi Agung (vokalis, gitaris), Ritchie (gitaris), Ari Buy (basis), dan Rege (drum), kuartet satu almamater ini meracik Vol. 1 dalam dimensi yang penuh warna. Suara berat Agung yang tampak sekali diracuni oleh sang idolanya, Morrissey, lick-lick ekletik dari gitar Ritchie, tampak bergumul mesra dengan para personil lainnya di seksi bass dan drum. Tak hanya itu, sampel midi turut menjadi pemanis di beberapa lagu di album perdana mereka. Komposisi lagu yang ciamik dan rapihnya penempatan track-track, serta dari segi mixing yang cukup memuaskan. Beberapa track lawas menjadi anthem seperti Sejati dan Lari Seratus, siap memudahkan nalar untuk mencerna beberapa lagu semi progresif seperti Hantu TV atau Telefiksi.

Photobucket

leave them all behind

Yang mengherankan dari The Sastro adalah ketika mereka sukses merilis album ini, lalu sempat wara-wiri di era kejayaan Pensi di ibukota maupun Bandung, band ini malah seperti menghilang. Dan selama beberapa tahun, selepas era Parc, momen vakum tampaknya menggelayuti band ini secara perlahan-lahan. Tak ada lagu baru, album terbaru, ataupun kabar sekalipun. Terakhir, Ritchie mengabarkan kepada saya bahwa ia sudah mengundurkan diri sejak setahun lalu, dan beralih menjadi additional player band ini di beberapa acara terakhir di IKJ dan Moestopo, dua minggu lalu. Dan penampilan di Moestopo kemarin dipastikan sebagai penampilan terakhirnya bersama The Sastro, well, he told me hahaha :D

Uniknya, Ale' (gitaris White Shoes and the Couple Company) resmi mengisi posisi gitaris yang ditinggalkan Ritchie dan di sebuah acara di Tebet sempat akan tampil perdana bersama The Sastro dalam line up terbaru mereka. Namun konyolnya, mereka harus gagal tampil karena satu dan lain hal dari acara tersebut. Entah apa yang akan terlihat dari band ini, apabila Ale' memutuskan siap full di The Sastro, memberikan kejutan sebuah warna baru ala Ale' dengan album baru ataukah tinggal sebuah band nostalgia semata. Hardly can't wait.

Photobucket

goodbye, the sastro

get the link!

Another Bonus Link!!!

http://www.mediafire.com/file/koagumjxjjz/The Sastro - Lari 100 Ep.zip

http://www.mediafire.com/file/ylzfzjnzydw/THE SASTRO RARE COLLECTION.zip

Photobucket

Saturday, May 9, 2009

The Songs That Inspired Our Life - a Morrissey and The Smiths Night (Short Review from Us!)

Photobucket

Frankly, last friday, betul-betul a confusing day for me. first, paman saya wafat dan saya harus mengawal bersama keluarga untuk prosesi pemakaman almarhum di TPU Joglo. ini belum termasuk letihnya mempersiapkan rumah keluarga besar buat tamu-tamu, dari jam stgh 5 pagi ampe jam 3 sore, termasuk jadi patwal dadakan mobil jenazah. second, di acara ini, The Songs That Inspired Our Life - a Morrissey and The Smiths Night bertempat di Submarine, Permata Hijau, sebelumnya di the Rock Cafe namun batal, saya harus bermain di dua band. third, demi meliput acara ini, saya harus berjuang dengan kondisi badan yang capek, mual letih, hingga beranjak mau masuk angin. 

tapi dengan penuh semangat, saya memastikan diri hadir di lokasi acara. acara pun sempat molor hingga setengah 8, namun tak apalah, saya tidak melewatkan band-band acara berjumlah 9 band. setelah beramah tamah, akhirnya band post rock/blisspop bernama Sarin muncul pertama kali. berbekal keterampilan personilnya dalam ber-effect laden ria, mereka menggubah materi-materi lagu Moz menjadi lagu-lagu yang sangat spacey dan noise. they're getting more good as a noisy band, entah mungkin ketika mereka justru tampil begitu enjoy dan bebas ketika bereksperimentasi dengan Moz?

band berikutnya adalah Planet Bumi, dan saya dengan perut mulai tidak nyaman, tak begitu memperhatikan mereka secara seksama. membawakan lagu-lagu terbaru Moz dari Years of Refusal dan track The Smiths, PB beraksi seperti biasanya, nothing new exactly from them, kecuali tampaknya sang gitaris terdahulu kembali mengisi posisi yang dulu ditinggalkannya. sedikit bertanya-tanya kenapa mereka bermain di urutan kedua, ternyata mereka harus bermain juga di reuni Poster di Prost.

Moz is the Reason hadir di panggung. Obsesi sekelompok anak HC yang mengidolai Moz dan berandai suatu hari bisa manggung dengan membawakan lagu-lagu Moz akhirnya tercapai juga di acara ini, terutama bagi sang vokalis, Aca dari band HC senior di tanah air, Straight Answer. Pria bertato wajah Moz di lengan kirinya ini, bersama para personil lainnya ini berhasil membakar semangat penonton untuk singing along dengan lagu-lagu Moz terkenal seperti Suedehead, You are the One for Me Fatty, hingga Now My Heart is Full. aksi Aca yang komunikatif, dengan sedikit berorasi, serta menjulurkan tangan ala d'Masip, menyegarkan suasana.

band berikutnya pun muncul, tak lain band screamo ibukota Sweet as Revenge. mereka sukses mengagetkan para hadirin yang mulia dengan menyulap lagu-lagu manis Moz seperti Let Me Kiss You hingga the More you Ignore Me menjadi begitu gahar dengan cita rasa masa kini! well done atas surprisenya :D

The Grasmeres muncul di urutan berikutnya, dan mereka tampaknya gemar sekali membawakan lagu-lagu Moz yang unfamilliar, underrated, hingga paling asing di telinga penikmat lagu-lagu Moz kebanyakan. that's how secuil penonton saja yang noddin their heads alias ngerti dengan lagu-lagu yang dibawakan the Grasmeres. sebut saja, misalnya Southpaw dari album Southpaw Grammar, berani bertaruh jarang sekali yang mengenal lagu gaib bikinan Alan Whyte ini dan mendengarnya secara konstan di mp3 playlistnya. sampai-sampai terdengar gumaman, "kok malah jadi shoegaze sih?" :P well dear, lagu ini memang gaib sekali tekstur lagunya. 

kondisi badan semakin tak menentu, saya mencoba bertahan menantikan band berikutnya. Candyfloss hadir di panggung. yeah haha vokalisnya sangat nge-Moz sekali mulai dari pronounciation, body gesture, kecuekannya, baju kerah terbuka hingga jambulnya :P Satan Rejected My Soul hingga Boxers sukses dibawakan mereka dan membuat para hadirin bergoyang dan bersinging along ria. 

Photobucket

the deans on the action!

dan badan saya pun semakin tak keruan dan mulai masuk angin. aksi Candyfloss sebenarnya membuat saya mencoba untuk bertahan, namun badan ini mengalahkan suara hati. padahal band the Deans siap beraksi, sementara saya mengidolai sekali vokalis antik mereka, Dennysey :P tapi apa boleh buat. penampilan Implement Yeah! dengan the First of the Gang to Die, menghantarkan saya untuk beranjak ke lantai basement, membawa keluar motor kantor dari Belleza, dan segera ke tempat tidur. really fucked up, di sebuah malam yang menyenangkan...darn. (flu berat lah saya saat menulis review ini)

ps: big thanks for EC and Futurica, sukses guys!

Thursday, March 5, 2009

TRIBUTE TO 90's SHOEGAZE (a Short Review from Us)

Photobucket

Saatnya mengenang kembali era sejati dari genre Shoegaze, a time when cool band t-shirts, sneakers, stagediving, headbanging, moshin, singing along and dancing aloud became a holy rites and romanticsm in the old days. 

...dan semuanya itu terjadi secara magis dalam satu malam, penuh cobaan dan drama, dalam sebuah acara sold out (betul-betul di luar dugaan). Delapan band shoegaze lokal dari Jakarta dan Bandung, mempersembahkan sebuah penghormatan luar biasa terhadap delapan band 90's shoegaze lawas, dengan sebuah kegairahan yang tampaknya bakal sulit ditemui di berbagai acara sejenis ditempat lain.

Ribuan kata mungkin tak cukup untuk diilustrasikan di blog ini, pastinya hampir lebih dari 450 orang (bisa lebih) nekat berdesak-desakan di Prost Beer House, menikmati hantaman fuzz dan reverb, serta bernostalgia lewat aksi band-band, mulai dari Sharespring, Damascus, Avenue, Mellon Yellow, Jellybelly, Blossom Diary, Negative Lovers, dan Themilo. Ditemani dj set track-track shoegaze oleh DJ Davkills, DJ Aat dan DJ The Drowners, dan semuanya yang hadir sangat menikmati malam itu. 

Well, it was so Cool as Fuck for us! Our blog supported the event, and kami menjadi salah satu saksi betapa Shoegaze hadir dengan atmosfir sejatinya, just like in the 90's dude, seperti tagline di atas, no pretentious, just a fucking real spirit there! So, kami ingin berbagi link live video acara tersebut dari sebagian band di Tribute to 90's Shoegaze, yakni, Themilo, Avenue, dan Damascus. Selain itu kami juga memperoleh ijin dari Ajie Gergajie untuk memberikan akses bagi siapapun untuk mengunduh mp3 Themilo - When You Sleep (an MBV Cover at Tribute to 90's Shoegaze).

So, nikmatilah bagaimana magisnya acara tersebut di video live tersebut...for real.

mp3 Themilo - When You Sleep (an MBV Cover at Tribute to 90's Shoegaze)

Themilo as MBV - When You Sleep

Damascus as Swervedriver - Duel

Avenue as Chapterhouse - Breather

the drowner, marr, and clockender

Friday, January 30, 2009

The Gods - Genesis

Photobucket

Salah satu album band rock psikedelik pertama yang saya dapatkan dengan tanpa referensi atau info apapun. Dibeli murni berdasarkan naluri dan intuisi seorang pria beranjak dewasa yang sedang tergila-gila dengan prog rock serta baru saja mencicipi ruwetnya musik psikedelik.

Pada sebuah Sabtu sore beberapa tahun yang lalu, dengan kondisi 'sakaw musik', saya berangkat ke Aquarius Pondok Indah guna membeli beberapa cd baru untuk melengkapi ritual mendengarkan musik di hari Minggu pagi. Setelah mengobrak-abrik hampir seluruh jajaran rak cd di sana, dari abjad A sampai Z, tak dinyana saya menjadi kecewa. Album band yang saya cari ternyata tidak ada. Setelah sempat merenungi nasib sial selama kurang lebih lima menit, saya memutuskan untuk kembali menjelajahi rak-rak tersebut. Dalam sekelabat, perhatian saya terpusat pada sebuah cd dengan sampul berwarna biru muda bergambar empat orang berkostum perlente era '60-an. Latar belakangnya langit berawan berhiaskan empat patung kepala dewa Yunani. Segera saya ambil cd tersebut, the Gods nama bandnya. Sebelumnya saya sempat bingung karena tulisan di sampul depannya menempatkan judul album Genesis di sebelah kiri dan nama band the Gods di sebelah kanan, tidak lazim. Tetapi setelah memperhatikan sampul belakang cd, dan melihat gambar 'ayam jago' Repertoire Records (label asal negeri Jendral Erwin Rommell, spesialis reissue musik-musik aneh masa lalu), entah kenapa alam bawah sadar saya mengatakan bahwa band ini pasti keren. Mungkin karena dirilis tahun 1968. Ditambah asumsi saya yang sepertinya mengenal salah satu tampang personilnya. Petunjuk saya saat itu hanyalah judul-judul lagunya yang bernafaskan psych dan lagu bonus berjudul “Hey Bulldog” yang pasti ciptaan the Beatles. Dengan tuntunan naluri, akhirnya saya putuskan untuk membelinya, meski dengan banderol yang sempat membuat saya berpikir ulang. Lanjut cerita, karena pulang terlalu larut, saya memutuskan untuk merenggut keperawanan the Gods di esok hari.

Di Minggu pagi yang indah itu, saya langsung membuka kemasan cd the Gods. Hampir setiap album rilisan Repertoire menyediakan liner notes yang berisi informasi-informasi penting tentang artis tersebut. Saya pun langsung membacanya sembari mendengar rekaman purba tersebut melalui sepasang speaker tua pembelian dari sebuah toko elektronik bekas di kota Bogor. Alangkah terkejutnya saya, ternyata ini adalah bandnya Ken Hensley dan Lee Kerslake sebelum Uriah Heep (salah satu band classic rock kesukaan saya). Kecurigaan saya pun tuntas. Ternyata saya tidak sok kenal dengan salah satu raut muka personil yang ada di sampulnya. Maka semakin antusiaslah saya untuk mendengarkan track demi track di album ini. Yang langsung mengusik kuping saya tentu saja vokal khas Ken Hensley yang terdengar mengambang. Tak ketinggalan pula permainan organ Hammond-nya yang berat serta sound fuzz gitar Joe Konas.

Musik the Gods di album Genesis merupakan prototip prog rock yang rada nge-pop dengan dominasi suara khas Hammond, harmoni vokal menghanyutkan, dan timpalan keeklektikan psikedelia Britania khas tahun '60-an. Track-track favorit saya diantaranya adalah “Toward the Skies”, sebuah proto hard rock bernuansa prog, dan “Candles Getting Shorter”, sebuah lagu indah psikedelik yang sangat kental aroma pop-nya. Juga “You’re My Life”, lagu tipikal Nuggets ala the Pretty Things yang sudah terevolusi menjadi lebih baik. Lalu ada “Misleading Colours”, sebuah ramuan psych/prog berbau klasik dengan solo Hammond Ken Hensley yang layak mendapat acungan jempol. Catatan juga patut diberikan pada “Radio Show” yang penuh dinamika dari aneka genre. Dari awal sampai akhir lagu, unsur pop, soul, freakbeat dan hard rock bersahutan penuh kejutan. “Farthing Man” is another freakbeat pop gem with beautiful guitar riff combined with percussive sound. “Real Love Guaranteed” dan “Somewhere in the Street” adalah cikal bakal dari lagu-lagu Uriah Heep, sedangkan “I Never Know” mengkombinasikan riff-riff kasar dan solo gitar liar yang menyayat gendang telinga dari Konas berbalut raungan sound fuzz. Ada empat lagu bonus di cd ini termasuk di dalamnya lagu cover dari the Beatles, “Hey Bulldog”, dan “Baby’s Rich” yang terdengar seperti satu lagu the Beatles era Magical Mystery Tour dan Sgt Pepper's. After spending hours of intense listening dengan ditemani kepulan asap nikotin dan bergelas-gelas plain milk, keseluruhan materi Genesis sudah melebihi ekspektasi saya akan kualitas sebuah album yang bagus.

Pada awalnya terbentuk sebagai band blues pada tahun 1965 di kota Hatfield, southern part of England, oleh John Glascock, Brian Glascock dan Mick Taylor. Tercatat beberapa nama besar di belantara classic rock pernah mampir jadi anggota. Ken Hensley adalah pendiri Uriah Heep. Lee Kerslake dan Paul Newton kemudian ikut bergabung di sana. Mick Taylor, yang tak sempat ikut dalam rekaman the Gods, keluar dan ikut memperkuat John Mayall & the Bluesbreakers serta the Rolling Stones. Greg Lake juga pernah bermain gitar bas di band ini. Setelah gonta-ganti personil, formasi terakhir mereka pada saat merekam album Genesis adalah Ken Hensley (kibor, vokal), Joe Konas (gitar), John Glascock (gitar bas) dan Lee Kerslake (drum). Dirilis pertama kali oleh Columbia Records di tahun 1968, dengan pengerjaan sampul album yang digarap langsung oleh Storm Thorgerson dari biro desain legendaris Hipgnosis. Biro tersebut terkenal sebagai pencipta karya-karya seni visual tingkat tinggi berbau psikedelik. Hipgnosis juga bertanggung jawab atas terciptanya mahakarya-mahakarya seni sampul album legendaris dari Pink Floyd, Genesis, the Pretty Things, Led Zeppelin, dan banyak lainnya. Setelah tampil beberapa kali sebagai band pembuka Cream, the Gods sukses menjadi penerus band-band seperti the Rolling Stones dan the Who sebagai penampil reguler di the Marquee, kelab musik legendaris di Oxford Street, London.
In the end the Gods memberi wahyu pada saya untuk lebih mengeksplorasi ranah candu musik psikedelik hingga waktu yang tak dapat ditentukan. The Drowner

Photobucket

Source: Beli di Aquarius Pondok Indah (please read the full story on the first paragraph).

Hint :

Originally issued by Columbia Records in 1968. The album's ten tracks have now been joined by four bonus cuts that feature both sides of the bands ultra rare 45's "Baby's Rich" and "Hey Bulldog" and come in the original Hipgnosis designed sleeve!!!

buy it!

get the link!

Thursday, January 29, 2009

Morrissey - Beethoven Was Deaf

Photobucket

M-o-r-r-i-s-s-e-y, hmm... What else can I say? He's a living icon for everyone who knew his presence since the Smiths era. Lirik puitisnya telah menjadi wahana kontemplasi bagi setiap orang yang merasa terasingkan dalam cinta, hidup, pilihan dan sosial; seorang legenda hidup pop rock di Britania Raya yang begitu dipuja oleh para pencintanya yang militan hingga mengkultuskan secara fanatik. Dan saya termasuk orang yang memilih untuk memujanya pula meski secara waras tentu berusaha mengerem kegilaan dan rasa 'jatuh cinta' saya terhadapnya agar tidak kelewat batas atas aqidah saya sebagai seorang muslim yang beriman. But i could faint or cry if he willing to play in Indonesia one day, i build a tent at the venue or his hotel, or even ambush him at Cengkareng, hahaha...

Back to the issue, cd live Morrissey berjudul Beethoven was Deaf ini memiliki kesan tersendiri bagi saya. Perkenalan pertama saya dengan beliau awalnya justru dari sebuah kaset lokal Beethoven was Deaf milik teman saya. So, bisa dikatakan, jatuh cinta saya pada Morrissey justru ketika mendengarnya secara live, bukan dari katalog album studionya. Betapa energi dari live Morrissey di album live yang mengambil tempat di The Zenith, kota Paris pada tanggal 22 Desember 1992 di hadapan 6,500 orang, benar-benar membuat saya terpana, termangu, dan perasaan yang campur aduk. Anehnya, saya bahkan belum pernah melihat secara visual baik dari rekaman vcd atau video, tetapi justru rekaman audio dari sebuah kaset saja. Keriuhan penonton, interaksi Morrissey kepada mereka, sahutan memuja, serta energi dari lagu, musik dan performa live yang mengesankan di album live ini, seperti menyeret saya ke momen itu.

Perkenalan pertama saya ini akhirnya memang membuat saya menjadi one in a million of his huge fanbase di dunia fana ini. 16 lagu diusung Morrissey dan band pengiringnya dalam album live Beethoven was Deaf. Materi-materi klasik (mayoritas dari album Your Arsenal) seperti "You're the One for Me, Fatty", "Suedehead", "Certain People I Know", "Sister I'm a Poet", "We Hate It When Our Friends Become Successful" hingga "November Spawned a Monster", dibawakan dengan energi yang sedikit berbeda ketimbang versi album studionya, yah, sedikit berbeda, tentu karena merupakan versi live-nya ("Suedehead" di album ini bahkan menjadi nge-rock full distortion). Tetapi dukungan band pengiring Morrissey (Alain Whyte - gitar, Boz Boorer - gitar, Gary Day - gitar bas, Spencer Cobrin - drum) yang sangat pseudo-rockabilly, membuat lagu-lagu di album ini menjadi begitu bertenaga, solid, dan penuh warna. Pilihan saya adalah di lagu "Jack the Ripper", dimana kocokan gitar flanger dari Alain Whyte, lalu ritem gitar Boz Boorer, ditambah begitu rapihnya Cobrin memukul drum di semua lagu, membuat lagu ini menjadi salah satu lagu live dari Morrissey paling keren sepanjang karirnya. Jangan lewatkan, "National Front Disco", sebuah lagu nasionalistik yang kontroversial oleh Moz, menjadi sangat tight dan kuat, terutama di bagian ending lagu dimana Boz Boorer dan Alan Whyte melakukan eksplorasi keberisikan tingkat tinggi selama lebih dari tiga menit bak sebuah noise pop yang sangat maskulin sekali.

Beethoven was Deaf akhirnya banyak memberikan saya perspektif terhadap solo karir Morrissey. Salah satunya, setelah The Smiths dipensiunkan di mana Morrissey kehilangan seorang gitaris sekelas Johnny Marr dan pemain bas sebrilian Andy Rourke, akhirnya ia memperoleh seorang songwriter yang tidak kalah cerdasnya, seperti Alain Whyte; basis se-rockabilly dan ganteng seperti Gary Day dengan segala tato keren di sekujur tubuhnya; teman kerja setia seperti Boz Boorer, hingga seorang penabuh drum jago yang juga pintar membuat lagu (lagu b-side "Lost") seperti Spencer Cobrin (you should listen to his solo materials on his myspace.com site or album on Elva Snow, he's good!). Actually formasi band pengiring pada era tersebut merupakan formasi terkeren dan paling saya sukai dari seluruh formasi band pengiring Morrissey selama ini. They're not a replica of The Smiths, but they played more exciting and intense. Dan bagi saya, Beethoven was Deaf seperti sebuah monumen dari salah satu era terbaik dalam solo karir Morrissey yang tidak boleh dilewatkan oleh setiap diehard fans of Moz, seperti saya ini, termasuk anda tentunya, hehehe... Marr

Photobucket

Source: Di sebuah hari kerja selepas liputan di PBNU di bulan Januari 2009 di Jalan Surabaya, terpaksa melanggar sumpah Pramuka untuk berpuasa dulu membeli cd, hahaha!

buy it!

get the link!

Friday, January 16, 2009

The Pixies - Trompe le Monde

Photobucket

Trompe le Monde adalah album the Pixies pertama saya. Sebuah rekaman istimewa dengan proses pembelian yang istimewa pula. Saya sampai rela bolos sekolah untuk melakukan transaksi dengan seorang teman dari teman yang kurang menyukai cd ini. Saat itu saya membolos untuk pertama kalinya dalam hidup, perasaan pun cukup campur aduk. Tetapi rasa tidak enak hilang dalam sekejap ketika cd berpindah tangan. Sihir rock membuat saya lupa segalanya, termasuk kewajiban sebagai pelajar yang baik.

Saya mengenal the Pixies melalui artikel tentang sang gitaris, Joey Santiago, di majalah Guitar yang merupakan oleh-oleh pemberian ayah sepulang dari luar negeri. Joey memaparkan banyak tentang proses kreasi permainan dan sound gitarnya bersama band asal Boston itu. Artikel edisi tahun 1991 tersebut bahkan menampilkan denah guitar-rigs (ilustrasi skema efek-efek dan ampli gitar) Joey. Sebagai anak ingusan yang sedang getol-getolnya mengeksplorasi gitar, saya menjadi penasaran akan musik the Pixies. Apalagi setelah sering menemukan citra logo band tersebut di iklan penjual t-shirt rock pada majalah-majalah musik terbitan luar. Saat itu logo huruf ‘P’ bersayap dengan lingkaran luar aneka warna terlihat teramat keren, serasa terus memanggil sanubari saya untuk lebih mendekatkan diri pada santo Black Francis dan teman-temannya.

Album ini adalah kumpulan rekaman studio terakhir the Pixies. Dibuat ketika ego Black Francis sedang menuju titik kulminasi. Ia tidak menginginkan adanya kontribusi lagu dari anggota lain, seperti Kim Deal, yang biasanya hadir di album-album sebelumnya. Banyak yang menganggap Trompe le Monde secara tidak langsung adalah album solo pertama Francis. Pembubaran band pun tinggal menunggu waktu saja. Tetapi itu semua tidak membuat album ini menjadi lemah dan basi. Dengan pendekatan musik yang cenderung lebih keras dan lirik-lirik surreal nyeleneh berbau fiksi ilmiah khas Francis, Trompe le Monde menjadi sebuah paket perpisahan yang dahsyat. Dari mulai lagu pembuka, “Trompe le Monde” yang singkat, lugas dan padat (berdurasi 1:46 menit) lalu “Planet of Sound” hingga sinisme terhadap hipster indie-rock/college-rock berwujud “Subbacultcha” dan “U-Mass” (Francis dan Santiago merupakan bekas mahasiswa University of Massachusetts). Saat pertama kali mendengarkan “U-Mass” saya sudah merasakan adanya sinisme di lagu tersebut. Dengan lirik seperti “Oh, kiss me cunt… Oh, kiss me cock… It’s educationaaaaal!” dan riff chorus yang seperti “Smells Like Teen Spirit” (entah duluan siapa, Nirvana atau the Pixies, yang pasti lebih dulu "More Than a Feeling"-nya Boston, hehe...).

Salah satu momen favorit saya dalam album adalah ketika mereka mengkover lagu the Jesus and Mary Chain dari album Automatic, “Head On”. Mereka membuat lagu yang ‘lurus’ dan ‘dingin’ tipikal Mary Chain menjadi agresif. Lagu tersebut bersama “The Sad Punk” cukup berandil membuat kasur kamar tidur saya hancur akibat slam dance tak bertanggung jawab. Saya juga ingat masa di mana lagu-lagu seperti “Letter to Memphis”, “Bird Dream of the Olympus Mons”, dan “Motorway to Roswell” mengisi kerinduan saya akan kisah kasih yang tak sampai ketika SMA. Saya jadi senyum-senyum sendiri sekarang. Aneh memang. Masak lagu berlirik fiksi ilmiah tentang alien jadi sarana romantisme percintaan? Ahaha! Musiknya, kawan… Biarkan ia berbicara…

Cd yang tampil di foto bertanggung jawab terhadap Sabtu indah di tahun 1992. Juga terhadap koleksi the Pixies dan album-album indie-rock Amerika lain yang saya beli setelahnya. Penuh sihir. Clockender

Q (10/91) - 4 Stars - Excellent - "...an unqualified triumph...Several of the songs here manage to combine furious garage riffing with sudden flashes of pop melody..."

Photobucket
Source: Seperti yang sudah dijelaskan di atas, saya membeli cd ini dari seorang teman yang bernama Dan Amal Beck. Ayahnya bule, sering ke luar negeri. Cd ini pun dihadiahkan oleh sang ayah dari sana. Tetapi Dan kurang suka dengan musiknya, ia lebih senang hardcore punk. Saya tidak pernah mendengar lagi kabar dari anak itu selain selentingan berita dari teman-teman per-skateboard-an kalau ia sempat menjadi seorang skater profesional di negeri asal ayahnya.

Thursday, January 15, 2009

Drop Nineteens - Delaware

Photobucket


I have to tell you guys the truth, no showing off, band ini merupakan salah satu rekam terpenting dari jejak perjalanan spiritual saya yang begitu personal dan pribadi dalam mencari kebenaran hakiki dari genre musik yang telah saya gandrungi sekian lama, yakni ‘menatap sepatu’ atau shoegaze. Yepp! Ketika itu saya pernah mengalami kegelisahan luar biasa (this is no bullshittin’ dude), well, i knew shoegaze quite well, but i felt my knowledge became vividly lame, only listening to albums by MBV, Swervedriver and Ride constantly through my combo tape, the three holy bands for a fan like me. I knew the facts that those three bands has been a pioneer for shoegaze genre, terutama MBV, tetapi saya seperti merasa bahwa shoegaze itu sejatinya tidak seluas daun kelor saja, pasti ada sebuah belantara rimba sounds and noises yang belum terjamah with my humble ears.

Maka kegelisahan spiritual itu saya tumpahkan kepada salah satu rekan saya, The Drowner, pasti ada sesuatu yang asing di luar akal sehat saya yang tampak mudah terukur. Sebelumnya, ia sudah berjasa memperkenalkan Swervedriver kepada saya, sebuah band shoegaze '90-an yang justru tampak asing (atau malas disukai?) oleh penggemar shoegaze disini yang lebih kesengsem band-band shoegaze asalkan menu sajiannya penuh delay plus reverb. Saya kemudian teringat pada nasehatnya untuk melihat allmusic.com, di mana pasti ada ulasan tentang genre shoegaze secara ringkas, padat, dan informatif. Klik tagline shoegaze di salah satu baris genre di situs tersebut, terpampanglah sebarisan band-band shoegaze yang dianggap allmusic.com sebagai representatif genre tersebut, dan semuanya adalah band-band dari era '90-an, seperti Moose, The Telescopes, Swirlies, Lilys, Curve, dan lainnya, termasuk band bernama Drop Nineteens. Saya langsung mengunduh setiap singel dari masing-masing band yang dianjurkan allmusic.com untuk didengarkan kepada para pemula seperti saya dari limewire. And... Bamm! It’s like having a revelation or somewhat you want to call it, laksana sebuah pencerahan spiritual menghunjam hati secara dramatis! Semua lagu tersebut begitu membekas di hati, dan yang paling membuat perasaan saya terguncang adalah sebuah lagu berjudul Delaware dari album berjudul sama dari Drop Nineteens.

Saya berusaha mencari jejak cd dari album Delaware di beberapa teman yang juga kolektor cd, namun tidak ada yang mengenali band ini. Terus giat mencari remah-remah lagu mp3 mereka di limewire dan myspace.com, akhirnya terkumpul beberapa lagu dari album Delaware untuk didengarkan seksama di komputer kantor, kemudian saya juga berhasil memperoleh dua footage videoklip Drop Nineteens di youtube.com, dan semakin terkesimalah saya. Yang saya lihat di videoklip berjudul "Winona" dan "Aquarium" adalah sebuah band yang terdiri dari lima teenager Amerika Serikat di kota Boston yang bermain musik shoegaze, tetapi dengan semangat atau spirit yang menurut saya tampak sedikit berbeda ketimbang band-band shoegaze di Inggris yang cenderung tampak sedikit kelam. Drop Nineteens tetap berkiblat pada band-band shoegaze di Inggris, tetapi gaya mereka justru lebih lepas, santai, lebih cool, dan apa yah, pokoknya passion anak muda dan remaja AS di era alternative '90-an lah (sorry, rada sulit ngejelasinnya, you should see it by yourself, then you’ll understand).

So, finally I got the album, and the result fantastically amazing.
Sangat berkesan dan album ini menjadi salah satu album favorit saya setelah Loveless dan Mezcal Head, bahkan menggusur Ride menjadi urutan keempat di my holy shoegaze bands, ha ha! Album Delaware juga menjadi jejak bersejarah atas respon band-band AS terhadap wabah shoegaze di Inggris yang didalangi MBV, menjadikan album ini bak sebuah rekaman periode historis ketika anak muda AS mulai diracuni oleh shoegaze. Drop Nineteens sendiri memang didirikan pada era tersebut, di tahun 1991 oleh Greg Ackell (vokal, gitar), Chris Roof (drum), Paula Kelley (vokal, gitar), Steve Zimmerman (bass), dan Motohiro Yasue (gitar). Ditarik label Caroline Records, Drop Nineteens mengecap atensi yang cukup baik di radio-radio kampus melalui debut album mereka, Delaware.

For me, materi album ini sangat-sangat menarik sekali. Di album Delaware, you’ll get the typical of US shoegaze signature sounds. Pengaruh MBV tak bisa dielakkan lagi, (thanks to hebohnya dua album MBV, Isn’t Anything dan Loveless), namun pengaruh noise pop ala Sonic Youth dan indie rock di Amrik, menjadi warna yang kental di album Delaware. Fuzz, tremolo, reverb (I’m so glad tidak ada delay huhu :P), dan sentuhan gitar indie rock dengan sedikit ala Kevin Shields memoles setiap materi lagu album ini. Kerjasama Ackell dan Kelley dalam bernyanyi juga tampak mengasyikkan di telinga saya. Belum lagi formasi tiga gitar turut memberikan nuansa guitar driven khas shoegaze yang menjadi lebih lebar dan sangat kuat, namun tertata apik.

“Delaware” menjadi materi favorit saya di album ini, lagu yang sangat keren dan ingin sekali saya bawakan jika manggung. Karakter fuzz di awal lagu ini, disertai duet vokal Ackell dan Kelley yang pas, bak duet Bilinda dan Shields, really haunting me up until now! Tak terkecuali “Kick the Tragedy", materi lagu dengan alur musik yang sangat gazy, saya sangat menikmati riff ritem lagu berdurasi tujuh menitan ini yang begitu keren sekali, bak soundtrack terkeren yang pernah saya dengar! di bagian tengah lagu, Kelley bernarasi tentang perasaannya tentang hal-hal yang menggelisahkan in her teenage days, diiringi akustik gitar Ackell selama kurang dua menitan, kemudian berhenti dan disambut kembali dengan riff menghanyutkan hingga usai, dan rasanya seperti sebuah perjalanan yang luar biasa!

Lagu lainnya, "Winona," menjadi singel utama Delaware, mungkin menjadi salah satu lagu indie alternatif yang sudah tak terhitung lagi mengangkat sosok Winona Ryder, memiliki energi dan hooks yang seru. Sebuah kover lagu terkenal milik Madonna, berjudul "Angel", tampak mengasyikkan, terutama dengan lick gitarnya yang keren. Sebuah materi lain berjudul "Reberrymemberer," bak sebuah pendekatan paling berisik Drop Nineteens di album ini, penuh kekacauan dengan rasa yang jauh lebih enak.

Konklusi, album Delaware dari Drop Nineteens benar-benar menjadi memori paling berkesan dalam penjelajah spiritual saya di genre shoegaze, bahwa musik shoegaze sejati itu sebenarnya hanya ada di era '90-an, setelah itu selesai, finis. Dan tampaknya saya harus mengiyakan kutipan teman saya, bahwa shoegaze itu sebenarnya sudah mati, dan yang hadir saat ini hanyalah segerombolan peniru semata, tanpa ada sesuatu yang baru, miskin esensi. Pahit memang, no offense yah, huhuhu... ;P Marr

Photobucket


Source: Termasuk banyak diincar para eBayer. Saya harus bertarung untuk memperoleh cd ini melalui bidding di eBay.com. Kalap gak papa dah, rela ngabisin 20 dollaran cuma biar menangin nih cd, hehehe... :P

get the link!

buy it!

Friday, January 9, 2009

Grand Funk Railroad - Grand Funk

Photobucket

Grand Funk Railroad, one of the loudest rock group in the seventies and the pride of America! Satu lagi band berdaya gempur dahsyat dari kawasan Michigan. Grand Funk Railroad adalah sebuah power trio yang memainkan musik rock hasil implementasi dari spirit working class yang penuh energi serta dibalut dengan kesahajaan semangat blues. Terbentuk di pertengahan tahun ‘60-an di Flint, Michigan oleh Mark Farner (gitaris sekaligus vokalis) dan Don Brewer (drummer), di mana keduanya adalah bekas personil band garage rock Amerika dari pertengahan ‘60-an, Terry Knight & the Pack. Terinspirasi oleh Cream dan Jimi Hendrix Experience, mereka akhirnya merekrut mantan pemain bas band Question Mark & the Mysterians, Mel Schacher, untuk melengkapi formasi band. Mengambil nama band mereka dari sebuah landmark di negara bagian Michigan, Grand Funk Railroad mulai giat menulis materi dan bermain musik dari pangung ke panggung sampai akhirnya mereka dikontrak oleh Capitol Records setelah melihat penampilan memukau nan atraktif mereka di Atlanta Pop Festival pada tahun 1969 (di sana mereka rela bermain tanpa bayaran!).

Album self titled ini, atau biasa disebut oleh para penggemar mereka sebagai 'Red Album', sesuai dengan warna cover album ini, adalah rilisan kedua mereka setelah album debut yang berjudul On Time. Dirilis Capitol pada tahun 1970, materi di album didominasi oleh sound mentah hard rock awal tahun ‘70-an yang powerful dan alami, dengan kandungan inti berupa fuzz tone, riff-riff hibrida blues rock yang mematikan, lick-lick menyayat telinga, dan lirik gamblang dengan tingkat keberisikan maksimal. Direkam hanya dalam waktu tiga hari saja, hampir seluruh materi lagu di album ini ditulis oleh Mark Farner ditambah satu lagu cover milik Eric Burdon & the Animals.

Sewaktu pertama kali mendengarkan album ini, saya merasa seperti disengat aluran listrik ratusan volt, it blew my mind off and I was like being slammed from the roof to the floor over and over. Dibuka dengan “Got This Thing on the Move” yang akan langsung menghunjam telinga anda, kemudian dilanjutkan dengan “Please Don't Worry” yang sangat heavy, kencang dan dinamis. Harmoni vokal terdengar sangat kuat di hampir keseluruhan materi lagu album ini, sekaligus menjadi salah satu kekuatan serta ciri khas Grand Funk Railroad. Simak contohnya pada lagu “Mr Limousine Driver”. Sedangkan "High Falootin' Woman", “Inside Looking Out”, dan "Paranoid" akan membawa kita kepada musikalitas Grand Funk Railroad yang lengkap dan variatif mulai dari blues, rock dan sedikit prog. Dentuman suara ter-overdrive gitar bas Mel Schacher yang bertubi-tubi terdengar tidak pernah kendur di keseluruhan lagu. Pukulan drum Don Brewer sarat dengan rovel-rovel liar nan enerjik. Lick melodi serta ritem liar dari suara gitar Mark Farner berhasil mengekstensikan aura sonic dari musik mereka yang sedikit nge-jam pada lagu "In Need". Mendengarkan Grand Funk Railroad akan membuat bulir-bulir keringat anda tidak akan henti-hentinya keluar membasahi tubuh.

For me, album ini merupakan sebuah masterpiece dari khasanah musik classic rock '70-an, Grand Funk Railroad at their best! Album ini juga menjadi sebuah pencerahan bagi saya, tidak perlu pemikiran njlimet untuk dapat mencernanya. Even for a diehard Britpop fan like me! Rela untuk murtad demi merasakan sensasi musik bersemangat penuh tenaga dari Grand Funk Railroad. Very-very footstomping to me!!! Saya sendiri termasuk terlambat mengenal mereka (seorang kawan setongkrongan di Lapangan Jenderal Urip Jatinegara yang umurnya satu dasawarsa lebih tua dari saya, pertama kali mengenalkan Grand Funk Railroad melalui sebuah kaset rekaman bootleg rilisan lokal) dan berhasil merubah persepsi saya kalau classic rock itu memang keren.

Setelah mendapatkan cd-nya pada sebuah toko musik di kawasan Jakarta Pusat, album ini akhirnya sukses masuk ke dalam playlist ritual mendengarkan musik di setiap hari Minggu pagi di rumah saya. Jadi kalau anda ingin mendengar sebuah jejak sejarah musik rock Amerika yang pengaruhnya sangat kuat merasuki band-band rock sekarang, lekaslah download di sini atau beli kaset, cd, piringan hitamnya or anything you can steal, yang penting bisa didengarlah. Please don’t worry... The Drowner

Source: Undisclosed!

Photobucket

get the link!

buy it!

The Veldt - Afrodisiac

Photobucket

Have you ever seen a black guy playing a Fender Jaguar? With lots of atmospheric delays and stuffs? Well, I believe not in a million :D. So, semua bermula ketika seorang teman saya menyuruh untuk mengecek di youtube.com, sebuah videoklip dari band bernama The Veldt, judulnya "Soul in a Jar". Terkagum pada aksi gitaris band ini, berlanjutlah dengan perkenalan pada sebuah kaset tua The Veldt rilisan lokal, berjudul album Afrodisiac. Lalu berlanjut dengan sesegera mungkin memesan cd album ini yang terserak di eBay.com. Hasilnya, darn! this band really amazed me in many ways!

Why? Well, this is a band consists of three black guys, plus a caucasian; lalu mereka memainkan musik shoegaze dengan sentuhan dream pop khas Cocteau Twins yang berhiaskan buaian delay dan reverb, namun dengan energi atau passion yang begitu berbeda sekali dengan band lain sejenisnya. Ibaratnya, it’s like hearing a black music, but in a different texture or form, totally intriguing and tantalizing! Like a black shoegaze, i guess, full of soul and beats.

Apalagi yang lebih alami dan memang pada kodratnya ketika orang kulit hitam memainkan sebuah musik rock n roll? Memadukan sentuhan musik khas A.R. Kane dan Cocteau Twins dengan permainan gitar khas Robin Guthrie, namun bisa sedikit agresif, simaklah band bernama The Veldt ini. Turut dipengaruhi oleh band-band seperti Echo & the Bunnymen, Jimi Hendrix dan Prince, band asal North Carolina ini menyajikan lantunan lirik yang tampak begitu ekspresif, jelas dan bersemangat. Tak seperti band-band sejenisnya yang ketika itu justru lebih memilih menenggelamkan vokal mereka di bawah dominasi eksplorasi gitar.

Didirikan pada tahun 1986 oleh sang vokalis Daniel Chavis dan adiknya, Danny Chavis (gitaris). Dua tahun berikutnya, kakak beradik ini mencari personil tambahan, masuklah Martin Levi (drum), dan Dave Burris (gitar bas). Setelah sebelumnya meluncurkan EP Marigolds, pada tahun 1992 di label Stardog/Mammoth, The Veldt berhasil masuk dapur rekaman di label Mercury, merilis Afrodisiac, sebuah album alternative yang bagi saya tampak begitu apik, sempurna dan meyakinkan.

Afrodisiac dimulai dengan sebuah intro manis kurang dari dua menit, “Intro (I’ll Say Anything)” begitu soulful dan berbau Motown, di mana Daniel bersama seorang wanita Afro saling bertukar kata cinta. Selanjutnya beberapa lagu menarik seperti "Soul in a Jar," "Until You're Forever," dan "Wanna Be Where You Are" patut disimak dengan penuh seksama, dan ternyata shoegaze tak harus galau, tapi bisa penuh passion dan gairah. Belum lagi terpananya saya pada "Revolutionary Sister", sebuah materi yang sangat luar biasa liriknya, penuh dengan semangat politisasi gender, dinyanyikan dengan lantang, diiringi sahutan manis gadis Afro yang progresif. Tak hanya itu, Robin Guthrie mengkontribusikan permainan gitarnya pada akhir album Afrodisiac, “Outro (Shaved)”. The Jesus and Mary Chain juga membantu dengan me-remix "Soul in a Jar", meski tidak terlalu istimewa hasilnya. But overall, this album really pleased me, really dreamy and gazy, it’s like having a gorgeous brown sugar chick on your bed... Yeah! You got soul! Marr

PS: Frankly, guys, donlotan album Afrodisiac dari The Veldt ini bisa disebut satu-satunya yang ada di internet, bahkan di blog shoegazeralive pun belum pernah ada yang upload! So, lucky you!

Source: Cd ini adalah pembelian perdana saya melalui sindikasi perdagangan maya via eBay.com dengan pembayaran melalui paypal.com. Hohoho, senangnya!


Photobucket

get the link!

buy it!

Friday, January 2, 2009

Teenage Fanclub - Bandwagonesque

Photobucket

Sebuah sore di awal tahun 2009, Mr. The Drowner membawa sebuah cd album yang sempat membuat kedua mata saya sedikit berkaca-kaca. Sampulnya tumpul, picisan dan menyilaukan (bak perpaduan Andy Warhol dan Gober Bebek) namun memiliki tempat cukup spesial di hati saya. Seketika ingatan pun kembali ke masa SMP. Memutar kembali perasaan seorang anak kelas 3 yang amat menggilai musik ‘60-an di awal tahun ’90-an. Nyaris tak memiliki teman tuk berbagi hasrat musikal, karena saat itu hampir semua dari mereka menggilai thrash metal atau setidaknya punk rock. Saat itu Nirvana baru saja berlabuh di pantai, belum turun ke pusat kota.

Di tahun 1990/91, TVRI Programa 2 pernah menyiarkan sebuah acara musik Barat (di mana saya lupa namanya) yang cukup maju pada setiap hari Minggu sore. Tiap tiga minggu sekali, acara tersebut menampilkan segmen indie-chart, di mana kita bisa menyaksikan banyak cuplikan klip dari aksi-aksi grup musik seperti Happy Mondays, Bridewell Taxis, Ride, Inspiral Carpets, Swervedriver, Pulp dan Butthole Surfers. Dari acara inilah saya mengenal band bernama Teenage Fanclub. Saya amat menggilai sebuah lagu mereka di tangga lagu segmen tersebut, “God Knows It’s True”, single legendaris yang nyaris mustahil didapatkan di toko-toko rekaman di Jakarta. Teenage Fanclub, serta band-band lain yang tampil di segmen itu rata-rata menawarkan pendekatan musikal bernafaskan ’60-an. Sebuah alasan mutlak bagi saya untuk menyukai mereka. Sebuah penerbangan baru yang akhirnya dapat saya nikmati perjalanannya. Tidak seperti grindcore ataupun death metal, yang digilai oleh teman-teman setongkrongan saya.

Album Bandwagonesque ini adalah rekaman Teenage Fanclub pertama saya, sekaligus debut rilis Teenage Fanclub yang beredar di Indonesia. Saya membelinya di sebuah toko kaset di Jakarta Selatan pada awal tahun 1992, ketika masih di kelas 3 SMP, sedang menyukai Nirvana. Ketika itu pun saya sudah merasa yakin album ini bisa beredar di Indonesia sebagai imbas meledaknya album Nevermind beserta trend grunge-nya. Bahkan seorang Kurt Cobain menggemari sajian perpaduan musik power pop Beatlesque, permen karet, dan agresi punk rock yang ditawarkan Teenage Fanclub. Ia sampai mendeklarasikan grup asal Skotlandia itu sebagai band terbaik di dunia. Majalah Spin pun menjadikan Bandwagonesque sebagai album of the year untuk tahun 1991, menyingkirkan Nevermind!!

Bandwagonesque sebuah album klasik power pop ’90-an. Bongkahan emas pop berjejalan dalam wujud “What You Do to Me”, “Metal Baby”, ataupun “December”. Neil Young, harmoni the Byrds/Beach Boys, alkohol, serta lirik yang mereferensikan Status Quo, menjadi jejak-jejak inti yang hadir pada aneka kidung legendaris seperti “Alcoholiday”, “The Concept” maupun “Star Sign”.

Album yang dirilis tahun 1991 ini cukup memberikan pencerahan penuh arti, menuntun saya pada Big Star, pahlawan sejak SMA. Setelah the Beatles, album inilah yang menjelaskan kepada saya bahwa musik pop yang baik ternyata tidak harus susah. Bayangkan, hampir semua lagu di album ini memiliki progresi akor yang sama, dibolak-balik agar terdengar berbeda. Sound-nya pun telanjang, tidak pretentious, gamblang, seperti sampul albumnya. Sampai-sampai banyak teman saya, yang merupakan penggemar punk rock yang turut kepincut oleh Nirvana, akhirnya bisa menjadikan lagu-lagu di Bandwagonesque sebagai musik pengiring kala bermain papan luncur ekstrem! Clockender

Spin (12/91) - Highly Recommended - "..this music makes your spine shiverGod's gift to college radio...Equal parts Neil Young, Big Star, Rolling Stones, Lindsey Buckingham, and Eddie Money..." - Ranked #1 in Spin's list of the 20 Albums Of The Year (1991) - "...this record would be hard to equal in any year. Rock music doesn't get much better than this."

Photobucket

Source: (foto LP Bandwagonesque) Beli di eBay tahun 2001, US$18, lumayan, hehe… Untuk foto rilisan cd berasal dari koleksi the Drowner. They're all Creation originals...

get the link!

buy it!