Tuesday, April 26, 2016

Ada Apa Dengan Record Store Day (AADRSD)

RSD 2016 telah usai. Tak seramai biasanya, dan sedikit menjemukan. Menyisakan pertanyaan pribadi yang tentu nggak penting juga dipertimbangkan khayalak ramai, apakah masih relevan menyelenggarakan RSD di tahun kedepan?



Tumben lah saya bikin artikel panjang. Kali ini soal pesta RSD. Pesta dimana semua orang merayakan passion hobi menikmati rilisan fisik. Sudah tiga kali, termasuk tahun ini saya ikut berpartisipasi di RSD 2016, bersama label Anoa Records yang biasa-biasa saja. Tahun pertama, di tahun 2014, kalau gak salah, di samping Aksara, lalu 2015 di sebuah tempat futsal di Blok M. Dan terakhir di Pasar Santa.

Seru banget bisa ngerasain feelnya RSD dimana pedagang, label, band dan konsumen numplek jadi satu. Saya bisa merasakan peluh dan adrenalin ngurusin jual beli, antrian, dan heboh produksi rilisan fisik demi RSD. Nothing can beats that.

Bagi kami, label baru, bisa hadir di RSD, ketika itu kayak momen kopdar ketemu sama konsumen kami yang biasanya ketemuan di dunia maya. Lalu bisa jualan, ngerasain rasanya UKM kami ternyata bisa juga yah menghasilkan dan menghibur. Band-band kami bisa manggung, dan menonton band-band label teman yang ciamik.

Perayaan yang menyenangkan. Namun, hanya di dua edisi RSD di 2014 dan 2015 saja, saya ngerasain betapa perayaan yang dirayakan sedunia ini bener-bener memuaskan secara personal. Interaksi dengan siapapun bener-bener kerasa.

Di RSD 2016 di pasar santa, saya seperti tak merasakan sensasi seperti dua tahun sebelumnya. Apa ada sesuatu yang hilang, atau mulai menurun. Entahlah, jujur saya kehilangan momen tersebut. Saya tak bicara omset yah, karena rejeki Allah SWT yang atur, tapi demikian adanya.



Sampai akhirnya saya membeli sebuah buku berjudul 'RSD 15: Seberapa besar 500rb dapat bicara di record store day?" yang dijual di lokasi acara. Karya dr Marto yang saya tahu siapa penulisnya hahahha si anying, nama saya kesebut juga di buku itu. Tapi saya bukan mau cerita soal nama saya kesebut di buku itu, tetapi kenapa buku itu nongol di RSD 2016.

Lalu saya dapat WA dari teman yang berdagang di Blok M Square dan juga ikut RSD 2016, bagaimana ia kecewa dengan orang-orang yang nyinyir dengan mereka yang komplen di status facebook saya, soal harga yang mahal oleh para pedagang. Saya paham perasaannya.

Dan kedua hal ini yang bikin saya ingin menulis soal RSD 2016, mungkin ada yang salah kali yah dengan cara kita merayakan RSD di Indonesia. Baik dari sisi pedagang maupun juga konsumen. tapi bukan saling menyalahkan sebenarnya, tapi membedah saja. Karena apa yang ada di buku, lalu juga reaksi temen di WA ya memperlihatkan ada yang salah.

Saya menulis sebagai orang yang sudah tiga kali ikut RSD, jadi saya pedagang, tapi juga konsumen karena saya juga belanja di ketiga RSD tersebut. soal obyektifitas dan subyektifitas, sudahlah yah, saya mau mencoba jernih saja sih. Toh tulisan ini di blog pribadi.

Buku yang ditulis dr Marto, memang sebuah buku yang satir soal RSD yang selama ini berlangsung, dan tentunya juga bagaimana perputaran ekonomi dari jual beli rilisan fisik di Indonesia (pastinya yg informal yah, bukan macam music plus atau aquarius haha) tampak menggelikan bagi penulisnya. Dia cuma mencoba jujur saja, dan menceritakan bagaimana dia bersiasat agar uang 500rb yang dia punya dari gaji tak sebesar gaji di Freeport bisa maksimal dibelanjakan.

Asli, ini buku lucu dan menyenangkan. Dengan bercerita dari si penulis melewati dua hari RSD di tahun 2015, lalu bertemu orang-orang, teman, pedagang, dan saya bisa merasakah emosi si yang nulis ketika dia berhadapan dengan harga mahal (sesuai harga dan nilai), dimahalin, sampai sistem barter yang dilakukan agar bisa mendapatkan apa yang diinginkannya.

Tapi dia menyentil, RSD menjadi terlalu dikapitalisasikan dimana pedagang seperti memerah konsumen agar keluar duit banyak untuk membeli rillisan fisik. saya tahu dr marto bukan konsumen baru, dia sudah lama dari jaman kalau beli rilisan fisik masih bisa didapat murah, dan dia akan belanja secara berkala karena harga yang tak mencekik. Mungkin sekarang dia sudah jarang. Mungkin.

Saya nggak tahu yah, mungkin saja sih, meski patut diperdebatkan jika melihat dari sisi pedagang, namun kondisi ini memang terjadi. Ketika demand tinggi, lalu value sebuah rilisan telah semakin telanjang diketahui oleh siapapun, dan memang adalah hak siapapun berhak tahu soal itu. Dan konsumen pun semakin mencari-cari, yang jajan rock nggak cuma orang-orang itu saja. Dan ketika harga tinggi muncul, tentu itu sebuah realita dari pasar. Nggak ada yang bisa kontrol, emangnya sembako hahaha



Tapi, tentu nggak sesimpel itu kita harus melihat sebuah RSD, lalu ambil kesimpulan, dan tutup perkara. Ramainya koleksi rilisan fisik pun juga ramai di Indonesia bukan karena pasarnya tumbuh secara alamiah, tapi murni hype aja, imho. Heboh plat hitam, di luar negeri ramai pisan dan tumbuh pesat, di negeri ini, ikut heboh dan melahirkan kemeriahan yuk kita punya rilisan fisik. Dan itu bagus. Semua senang, pedagang senang, konsumen senang.

Buku dr marto, mencoba mencubit pinggang kita kalau ada kondisi seperti ini loh. Pada peka gak sih, merhatiin gak sih? Siapapun yang baca. Tentu bagi yang kontra dan nggak setuju sama isi buku ini akan ambil sikap tidak peduli, atau mungkin bersikap keras. Saya sih berharap nggak seperti itu yah. Tapi buku ini membuka ruang diskusi soal RSD di negeri ini.

Urusannya memang, soal harga. Yang mana kayaknya juga nggak bisa hitam putih ngelihatnya. Kalau ditilik dari sisi pedagang, tentu ada hal-hal yang mungkin nggak atau belum disadari aja sih, dari soal distribusi, modal, sewa lapak, dan semacamnya. Ya ya, kalau dibahas saya juga yakin kagak akan ada habis-habisnya. Tapi memang demikian adanya yang dihadapi mereka.

Ada satu teman, dia  bilang malas datang ke RSD karena mahal-mahal pastinya, setelah dia bilang tahun 2015 aja kaset Themilo bisa mencekik isi dompetnya yang pas-pasan. Ini yang ngomong bukan orang-orang yang mungkin sering ramai di blog atau sosmed. Yang ngomong ke saya, penikmat musik biasa yang sama sekali nggak ikut riuh2an d scene. Asli konsumen.

Mungkin kalau dijadiin sampel juga nggak masuk hitungan apa komen dia menjawab persoalan RSD atau tidak. Atau mungkin dia dan saya saja yang berbeda, mungkin RSD biasa-biasa aja kok. Fine-fine aja. Masih ramai. Masih banyak pembeli. Masih banyak yang antusias. Masih kok.

Tapi bagi saya ini penting untuk dipahami. Konsumen ternyata ada yang berasumsi seperti itu. Dan siapapun orangnya, mau yang nulis buku itu atau yang komentar ke saya, kita mendapati situasi seperti ini, dan tentu saja harus kita cermati, dan tidak ikutan nyinyir juga. Meminta mereka untuk mending cari saja di lapak jualan online macam Ebay atau Discogs kalau mau murah, saya rasa kita kudu berpikir kalem. Toh, yang kritik kanan kiri, adalah konsumen, dan buruk secara bisnis kalau kita bereaksi negatif ke mereka.

Kondisinya, RSD memang sudah mulai berkurang gregetnya. Entah di daerah lain yah, tapi di Jakarta, mungkin terlihat demikian. Ini pribadi saya yah, kalau nggak setuju, ya gapapa. Bahkan sebelum RSD di Jakarta dibuat, saya sudah dengar beberapa kabar soal perbedaan pendapat soal dimana lokasi akan didirikan. Tapi saya juga cuma dengar kabar burung saja.

Mungkin kalau nggak mau RSD semakin berkurang gregetnya, perlu ada terobosan, yang nggak selalu ngeributin soal kepentingan siapa yang bikin dan dimana lokasinya. Belum ada yang bisa memulai bagaimana untuk me marketing kan acara ini dengan tepat, tak cuma sekadar cari sponsor, tetapi juga untuk me maintain konsumen.

Apa mungkin kita mem package RSD sedemikian rupa yang tak sekadar mencari omset, tetapi juga menjaga agar konsumen tetap ada. Kita belum berpikir gimmick-gimmick yang menarik perhatian konsumen, tak hanya saat RSD, tetapi juga setelah RSD. Entah apa itu happy hour discount, atau doorprize, atau lainnya, yang memberikan kesempatan buat konsumen untuk memperoleh harga yang menyenangkan.

Ada satu hal lucu, ketika booth kami bikin sesi jual murah cd dan kaset, yang pastinya koleksian, 100rb dapat 4 cd, dan betapa orang2 yang datang tampak bingung, dan bilang serius ini? Bahkan ada yg bilang, "mas, ini cd bajakan gitu?" well, lo bisa dapat cd stone roses atau stereolab dengan harga segitu kami bisa paham sih reaksinya hahaha Termasuk ketika kami menjual single vinyl2 macam pale saints dengan harga 150rb, saya rasa mungkin hanya ada kisah itu 3 atau 4 tahun lalu,

Tapi ya memang, harga yang terlalu mahal atau lainnya, memang jadi masalah. Kita nggak bisa menafikan keadaaan ini. Kalau saja ada yang bisa bikin riset harga vinyl atau cd seken yang dijual ketika 5 tahun lalu (atau bahkan 8 tahun lalu) dengan sekarang, misalnya, mungkin udah mirip kayak grafik kenaikan BBM selama 1 dasawarsa. Itu realita sih yg dihadapi konsumen. Saya masih ingat, dulu saya pernah beli CD Ryan Adams - Demolition seken di seorang pedagang dapat 50rb, 3 tahun lalu. Tahu berapa saya temukan harga cd Ryan Adams and the Cardinals, seken? di pedagang yang sama hahaha 130rb :))

Soal ini butuh pikiran jernih. Mengemas sebuah event memang harus kerja bareng, dan bisa kompromistis. Iya, saya tahu, soal margin, biaya produksi, ribet, dan lainnya, namun tak ada salahnya untuk mencoba sih. Harus ada kecermatan, utk bermain di range harga. Entah lah kalau modal beli dagangan emang udah naik atau semacamnya, tapi bisa gak kalo kita bisa sedikit lebih luwes dikit? Bukan kayak balikin harga kayak jaman dulu, tapi yah harus ada gimmick2 lah seperti gue sebutin diatas agar konsumen nggak dibikin kaget  duluan ama harga.

Yah mungkin nih tulisan kagak penting amat sih hahaha Hanya berharap jangan sampai soal rilisan fisik bisa bernasib sama seperti batu akik. Kalau itu terjadi ya gapapa, hahaha makin banyak orang ngelepas barang buat dibeli murah hahaha tapi ya jangan kesampean. Amin. Bye.