Saturday, February 5, 2011

Death Goes to The Record Store

Pendiri Creation Records, Alan McGee sudah meramalkan bahwa industri musik bakal kelimpungan menghadapi revolusi informasi dan teknologi di dunia bernama internet. Industri musik akan mengalami revolusi digital, siapapun bisa memperoleh informasi secara bebas dan masif, legal dan ilegal.

Salah satu keajaiban internet adalah file sharing musik di antara pemakai internet secara bebas. Beberapa penolakan terhadap terobosan ini terjadi pada kasus Metallica vs Napster, namun tetap tak bisa meredam  fenomena internet. Internet menyatukan dunia tanpa batas, akhirnya industri musik memilih mengeksploitasi internet sebagai peluang bisnis yang ternyata bernilai bisnis sangat tinggi.

Paling kentara dari imbas internet adalah produk fisik musik yang sebelumnya dikemas dalam cakram CD atau kaset, harus terpuruk oleh file-file musik berbentuk MP3 yang memiliki kualitas bagus dan ekonomis. Cukup bawa Ipod atau player digital lainnya, kita bisa mendengarkan ribuan lagu tanpa kerepotan berurusan dengan fisik CD dan sejenisnya. Mengunduhnya pun sangat mudah dengan cara nirkabel atau berbekal USB.

Siapa yang paling menderita? Tak lain peritel musik seperti toko-toko kaset dan CD. Dan Aquarius Musikindo di Pondok Indah (PI) memilih untuk tutup selamanya. Peritel terbesar di Indonesia ini sebenarnya sudah menutup beberapa gerainya di Bandung dan Surabaya, menyisakan cabang Mahakam, Blok M. Bahkan kini, di Mahakam, Aquarius tak hanya menjual CD, tetapi juga DVD film lokal dan asing dengan harga terjangkau.

Tutupnya Aquarius di PI, memang membuat saya sedikit gamang. Dimana lagi kita bisa membeli CD musik dari band-band dan artis asing. Saya tahu sekali cabang di PI memiliki koleksi yang terbilang lengkap dengan harga yang agak realistis ketimbang cabang Mahakam. Beberapa koleksi saya banyak yang berasal dari belanja di cabang ini.

suasana obral besar-besaran toko Aquarius PI di Jakarta menjelang tutup operasionalnya.


Toko musik Aksara di Kemang pun juga gulung tikar, berikut juga kantor labelnya, Aksara Records. Beberapa toko musik seperti Musik Plus atau Bulletin berusaha bertahan dengan tenaga masing-masing. Saya juga yakin kondisi ini juga dialami para peritel mikro rekaman musik di Pasar Taman Puring. Terakhir kali saya mampir di lantai dua pusat belanja ini, terlihat tampak mengenaskan. Jika dahulu di setiap sudut lantai atas diramaikan lapak-lapak pedagang kaset dan CD bekas, kini pelakunya tinggal hitungan jari saja dengan koleksi rekaman yang tak seramai dulu.

Bagi para kolektor musik, hanya tinggal mengelus dada saja. Perburuan pun harus merapat pada dunia maya, misalnya mengincar aneka CD musik di situs ebay.com. Atau mungkin berburu hingga ke pelosok daerah berharap masih ada CD-CD tersisa dari toko yang terkapar ditinggalkan pembelinya.

Tutup usianya toko-toko ini memang sudah takdirnya. Semoga saja revolusi digital ini tak turut membunuh esensi musik secara universal. Dan kecintaan pada bentuk fisik rekaman bisa terwarisi antar generasi dari masa ke masa ditengah gelombang digitalisasi dunia ini, termasuk penghuninya.