Wednesday, December 28, 2011

Biff Bang Pow! - Debasement Tapes



Biff Bang Pow!, tempat dimana Alan McGee mencoba peruntungan musikalitasnya. Pendiri label Creation Records ini mungkin tak sesukses band-band yang hidup di labelnya, namun jejak bermusik produser musik asal Skotlandia ini patut dicermati dan menarik.

Alan McGee sendiri sudah ngeband sejak tahun 1981 di sebuah band bernama The Laughing Apple di Glasgow, Skotlandia. Setelah pindah ke London, Alan mendirikan sebuah band baru bernama Biff Bang Pow!, diambil dari salah satu lagu dari band nuggets idolanya di tahun 1960-an, The Creation.

Biff Bang Pow! terdiri atas Alan McGee (vokal, gitar), Dick Green (gitar), Joe Foster (bass), dan Ken Popple (drum). Album yang tertampil di blog ini adalah sebuah kompilasi b-sides dan outtakes, dinamai Debasement Tapes. Dirilis pada tahun 1992, dibawah label binaannya Creation Records, album ini seperti sebuah kompilasi atas tendensi Alan terhadap band-band jenius yang berhasil ia temukan berkat nalurinya selama menjadi produser musik di era 80-90an. Mulai dari jangly, postpunk, noisepop, folk, hingga indie pop hadir di Debasement Tapes.
Lagu pembuka, Long Live Neil Young and All Who Sail With Him, kentara sekali dari judulnya, sebuah apresiasi terhadap sang legenda Neil Young, yang ia hormati melalui sebuah materi folk rock. Satu lagu lagi sejenis, In Bed with Paul Weller, sebuah materi untuk Paul Weller, dengan iringan organ dan kocokan gitar berdistorsi tipis dan ketukan drum yang santai.

Inside the Mushroom, sebuah lagu zat adiktif yang kental elemen noisepop disana-sini.  The Death of England, menampilkan indie pop era 86, dengan sayatan biola pada gitar yang menjadi ciri khas gitaris band idola Alan, Eddie Phillips dari The Creations. Lagu dengan tensi cepat, It Makes You Scared, menjadi salah satu lagu favorit saya, terasa jangly dan indie rock.

Keseluruhan lagu-lagu di album ini, sajian gitar dikemas dengan dominasi reverb, termasuk akustiknya. Noise reverb berlebih kebetulan ciri khas dari band-band dari label Alan pada saat itu, umumnya bergenre noisepop dan shoegaze. Marr

OST Amateur - Soundtrack



Banyak album soundtrack film di era 90-an yang dikenang hingga kini. Sebut saja High Fidelity, Reality Bites, dan masih banyak lagi. Namun bagi saya, hanya ada satu album soundtrack yang benar-benar mengesankan, serta mewakili sebuah generasi musik pada saat itu, musik latarnya 'Generasi X'. Album soundtrack itu adalah Amateur, dari produksi film berjudul sama pada tahun 1994 yang disutradarai oleh Hal Hartley.

Film Amateur sendiri mengangkat plot seorang tokoh yang amnesia, berusaha bangkit dan menemukan jati dirinya. Album soundtracknya sendiri berbeda dengan album soundtrack film sejenis yang menampilkan para hit-makers atau pencetak jutaan kopi. Hal Hartley menggandeng label Matador Records merilis daftar band dan musisi alternatif yang mewakili 'Generasi X'. Sebut saja, mulai dari My Bloody Valentine, Yo La Tengo, PJ Harvey, Bertie Servert, hingga Pavement. Total ada 9 lagu dari 9 band atau musisi di album kompilasi ini.

Daya pikat album soundtrack ini semakin menjadi-jadi dengan disuguhkan enam komposisi gubahan score film yang begitu indah, khas komposisi ambient dari Brian Eno. Komposisi ini sendiri dibuat oleh Hal Hartley dan Jeffrey Taylor. Dijamin, bagi yang suka kegalauan, bakal terpesona oleh keenam komposisi tersebut.

Overall, album soundtrack ini adalah mengesankan sekali. Bahkan dari sebuah kaset dari Amateur pula (saya pernah punya versi kasetnya dari seorang teman), saya akhirnya mengenal musik shoegaze dan indie rock secara bijak dan sahih. Marr


It's Hartley's most ethereal sound, featuring keyboards, strings, and vocals, and while it's less pop-oriented than his other work, it's no less arresting. --Randy Silver

Get The Link!

Sunday, November 20, 2011

Noises By Gap - Sonic Sun

Umurnya hanya 18 tahun. Namun ajal terlalu cepat menjemputnya sebelum skena lokal mengenal lusinan lagu-lagu eklektik folk shoegaze memikat dan imajinatif yang tersimpan di laptopnya. Ia bernama Gendra Aldyasa Pasaman (1992-2010).

Sungguh, saya tak menyangka kalau penggubah album Sonic Sun, ternyata satu orang yaitu Gendra Aldyasa Pasaman, dengan memakai nama Noises By Gap. Ketika album itu muncul di etalase Aksara, saya sudah penasaran seperti apa sosok band ini ketika berada di atas panggung. Sampai sebuah artikel dari Rolling Stones yang berjudul Haru Biru di Peluncuran Album Sonic Sun Milik Noises by Gap, mengejutkan saya dengan kematian Gendra sebelum album ini dirilis!

Dirilisnya album Sonic Sun, pun tak lepas dari peran dua personil Agrikulture, Anton dan Hogi Wirjono. Ketika diwawancarai RSI, mereka menemukan materi-materi Gendra ketika sedang melihat isi laptopnya. Sekumpulan musik bernuansa shoegaze langsung memikat mereka. Anton dan Hogi segera menyambangi Iyub, produser dan otak Santamonica, untuk melakukan proses mixing dan mastering ulang.


Noises by Gap - Sonic Sun

Materi-materi mentah hasil polesan Iyub pun tersaji di album ini. Gendra meracik kesan akustik folk, eklektik, electronic, dan shoegazing terkini dengan apik. Terasa sekali pengaruh band-band shoegazing era 90-an seperti The Verve (album Storm in Heaven), Spoonfed Hybrid, Pale Saints, ataupun My Bloody Valentine. Dan Gendra melakukan semua isian dari seluruh materi seorang diri dengan sistem home recording hanya menggunakan gitar dan sebuah software musik.

On My Way, menjadi salam pembuka instrumental album Sonic Sun yang kentara sekali kesan space rock, dreampop, dan shoegazing. Lagu berikutnya, Sonic Gaze secara perlahan menerpa dengan gelombang gitar akustik, berselimutkan fuzz dan reverb penuh adiksi. Superstar menjadi lagu ketiga yang sejuk. Kabarnya telah dibuatkan videoklipnya, Gendra meracik gitar akustik lagu ini disandingkan dengan nuansa tremolo fuzz, menambah pekat atsmosfir lagu.

Alm. Gendra Aldyasa Pasaman
Beberapa lagu lainnya di album ini yang juga patut diperhatikan, sebut saja  zzz, sebuah materi yang dimana Gendra bermain-main dengan loop dan synthesizer. Folk akustik yang begitu pekat, tampak juga di lagu One More, mengingatkan keteduhan slowcore a la Red House Painters. Lalu, The Moon is Your Friend, membuai sebagai penutup jendela imajinasi Gendra yang begitu liar. Album Sonic Sun oleh Noises by Gap, bisa saya sebut sebagai album shoegaze lokal yang detail, unik, dan artistik.

Terjatuh dari lantai 15 sebuah apartemen di daerah Jakarta Selatan, tak pelak akhir tragis dari remaja ini. Mungkin segetir kisah para musisi muda cerdas yang keburu tewas sebelum albumnya dipuji orang banyak, seperti Andrew Wood dari Mother Love Bone. Namun album Sonic Sun yang dikerjakan selama 6 bulan semasa hidupnya, bisa menjadi awal yang bagus untuk bercengkerama dengan keliaran imajinasi dan musikalitas Gendra yang harus berhenti selamanya. (Marr)

star Pictures, Images and Photosstar Pictures, Images and Photosstar Pictures, Images and Photosstar Pictures, Images and Photos

Album Sonic Sun, bisa dibeli di toko musik khusus seperti Aksara dan sejenisnya. IDR45.000. 

Check his songs, online streaming at http://noisesbygap.bandcamp.com/album/sonic-sun

Thursday, September 15, 2011

Freedy Johnston - This Perfect World



"Known for the craftsmanship of his songs, he has been described as a "songwriter's songwriter (wikipedia)"

Ketika saya masih SMA di tahun 1996, ada satu lagu di radio yang sempat menghantui telinga dan pikiran saya hingga 3 tahun silam. Musiknya seperti country folk, dan liriknya simpel namun mengena di hati. Lupa judulnya, namun masih ingat dengan potongan liriknya, '...i know i've got a bad reputation..'. Kenangan itu juga muncul gara-gara saya, pak Drowner, dan mas Clockender begadang di kantor saya, iseng membuat playlist seratusan lagu one hit wonder alternative yang pernah kami dengar selama ini di komputer saya, sampai subuh.

Dunia maya pun menjadi sang penolong dengan mesin pencari google, saya mendapati jati diri sang penyanyi beserta liriknya, plus video di youtube. Sang penyanyi itu adalah Freedy Johnston, dan lagunya berjudul Bad Reputation. Muncul di era 90-an, Freedy memperoleh apresiasi sebagai salah satu pencipta lagu yang bertalenta. Gubahan musiknya berangkat dari musik Americana dan Country dimana masa mudanya dihabiskan bersama rekaman-rekaman Neil Young hingga XTC. Liriknya berkesan witty dan personal, apa adanya.

Album This Perfect World adalah satu dari dua album Freedy yang mampir di toko kaset kita. Kover albumnya menampilkan foto klasik dua pasangan manula duduk di depan Taj Mahal, bikin hati temaram seperti ketika mendengar semua lagu yang ada di album ini. Diproduseri Butch Vig, produser legendaris yang meracik album-album Nirvana, Smashing Pumpkins, dan Sonic Youth, album ini memang memperlihatkan tangan dingin Butch dalam mengemas materi-materi Freedy yang jelas berbeda jauh dengan band-band tadi.

Pria asal Kansas ini menggubah 12 lagu yang patut didengarkan dengan seksama. This Perfect World langsung dibuka dengan lagu utama, Bad Reputation yang melankolis. Lagu-lagu lainnya yang patut dinikmati seperti Dolores yang terinspirasi dari novel legendaris Lolita, Two Lovers Stop yang mengisahkan sepasang kekasih yang memilih untuk bunuh diri ketimbang menghancurkan hati pasangannya, atau lagu syahdu berjudul This Perfect World yang menjadi soundtrack film komedi Kingpin yang dibintangi Woody Harrelson.

Saya menganjurkan, siapapun untuk mengenal Freedy lewat album ini. Apapun genre musik yang kita sukai, Freedy akan mendewasakan khasanah musik kita dengan cara yang sederhana tanpa berkesan menggurui lewat lirik dan musiknya. Marr

"his music marries perfectly realized power pop sensibility to skilled, literary writing chops - CDUniverse.com"

Get The Link!

Friday, September 2, 2011

Catherine Wheel - Ferment


Salah satu band yang berangkat dari era shoegazing 90-an yang hanya berusia pendek di Inggris. Catherine Wheel menjadi salah satu band shoegaze yang berhasil memperpanjang usia dengan album-album yang beda rupa. Berasal dari wilayah timur Inggris, band ini merilis sebuah debut klasik berjudul Ferment dibawah label Fontana.

Seperti band-band shoegaze lainnya, Catherine Wheel yang didirikan pada tahun 1990 oleh Rob Dickinson (vokal, gitar), Brian Futter (gitar), Neil Sims (drum), dan Dave Hawes (bas) ini mengedepankan kebisingan yang rapi dari perangkat pedal dengan membayangi vokalisasi Rob pada lagu-lagu mereka. Namun mereka lebih beruntung ketimbang para kompatriot shoegaze lainnya. Album debut mereka diterima baik di negeri Paman Sam, dimana single utama Black Metallic berhasil menduduki nomor sembilan di tangga lagu Billboard Modern Rock. Lagu lainnya, I Want to Touch You juga memperoleh apresiasi yang sama di AS.

Ferment memang ditangani oleh orang yang tepat. Kagum dengan Talk-Talk, Rob dan lainnya mengajak Tim Friese-Greene, anggota tak resmi sekaligus kibordis dan songwriter beberapa lagu Talk-Talk untuk menjadi produser album debut mereka. Dan Tim berhasil memoles materi album Ferment dengan memadukan musikalitas para personil Catherine Wheel dengan apik, saling mengisi dan tidak saling mendominasi.

Beberapa materi keren dari Ferment, misalnya lagu pembuka berjudul Texture. Kebisingan yang harmonis antara Rob dan Futter melalui gitar mereka, menjadi salam pembuka yang hangat. Vokal Rob yang halus, merasuki materi ini dengan penuh perasaan dan emosional. Shallow menjadi salah satu materi yang liar dengan petikan Futter yang hidup dan groovy, dibungkus kebisingan yang apik. Lagu Indigo is Blue, saat dimana Futter dan Rob, leluasa mengolah perangkat pedal mereka dengan manis sesuai karakter lagu tersebut, tanpa berlebihan.

Dua lagu bonus, Salt dan Balloon, menjadi pengakhir menyenangkan dari Rob cs. Catherine Wheel berhasil memfermentasikan sebuah debut album yang mengesankan, khususnya bagi penikmat shoegaze dan british sounds. Marr

..Catherine Wheel's debut spins their dense guitar web around a core of solid melodies and airy vocals..
Audio Magazine (19921101)

Get the Link!
Buy It!

Saturday, July 9, 2011

BRNDLS - DGNR8

photo: fuzztoni




















It takes strength to be gentle and kind, said Morrissey in one of his lyrics, so it kinda suited enough for a band like The Brandals. They've changed into somekind of a different gentle and kind, the coolest as fuck and sexier than any of their previous albums.

Menanggalkan kekasaran maskulinitas proto punk kota Detroit yang telah melekati sosok band kota Jakarta ini bertahun-tahun, dan butuh nyali untuk itu. Sekejap, band yang diawaki Eka (vokal), Tony (gitar), Rully (drumer), dan dua personil baru, Mulyadi (gitar) dan Radhit (basis), memutuskan meracik sebuah album yang tak terbayangkan bakal muncul dari band mereka.

Album bertajuk DGNR8 seperti sebuah album gress dari sebuah band baru. Bagi para loyalis The Brandals, mungkin akan sulit menerima suguhan album ini dari Eka cs yang begitu progresif dan sekali lagi bernyali untuk berkelindan dalam eksplorasi sounds dan konsep. Bahan dasar semacam funk, indie rock, noise pop, dilebur dalam sensasi ruang dan waktu di era 90-an.

Tetapi bagi pendengar baru, khususnya saya (tak terlalu menggemari musik mereka terdahulu), DGNR8 jelas sangat menarik dan keren. Hal pertama yang terlintas dibenak saya ketika mendengar single kedua mereka di internet pra rilis DGNR8, Perak, semacam polesan mosaik dari band-band klasik Creation Records, terutama Primal Scream, Ride, atau semacam album Giant Steps dari the Boo Radleys dari aspek eksplorasi ide. Suara Eka pun lebih kalem laiknya Bobby Gillespie, tak lagi meledak-ledak.

Suguhan ekstra, BRNDLS mulai bersenang dengan sampling, dub, dan loop. Ditangani oleh Alan Moulder-nya negeri ini, Iyub, elemen-elemen tersebut menjadi tampak solid dan menyenangkan untuk didengar. Terpuji bagi Rully yang dahulu terkenal dengan gebukan drum yang bisa membuat memar telinga siapapun, di album ini dia bermain begitu tertata dan artistik. Betul-betul menambah beat groove dari setiap lagu.

Overall, seluruh materi lagu yang berjumlah 10 materi ini mengesankan, termasuk gubahan lirik oleh Eka yang lebih berisi dan tajam, serta terkadang bermetafora. Keberanian mereka layak diberi apreasiasi, berani keluar dari zona aman, dan tetap bercita rasa rock n roll, namun dalam tarekat berbeda. Hate it or leave it, they don't give a fuck!

star Pictures, Images and Photosstar Pictures, Images and Photosstar Pictures, Images and Photosstar Pictures, Images and Photos

Thursday, June 16, 2011

Morrissey Pamerkan Tiga Lagu Terbarunya di Radio BBC! (Free Streaming)

Bagi para pemuja Steven Patrick Morrissey, bersuka rialah, sang solois legendaris berdarah Irlandia namun berhati Inggris, pendiri The Smiths, dan pelirik yang menghibur hati orang-orang yang terlupakan dan tersisihkan, memamerkan tiga lagu barunya di radio BBC, minggu lalu.

Ketiga lagu baru ini, yang masih kentara dengan album Years of Refusal, yang penuh distorsi dan enerjik, yaitu  “Action Is My Middle Name”, “The Kid’s a Looker”, dan “People Are the Same Everywhere”. Pameran lagu ini tentu bisa diendus sebagai isyarat akan dirilisnya album kesepuluh Morrissey sejak tahun 1988, paska bubarnya The Smiths.


Morrissey mengakui telah merampungkan album tersebut, namun belum ada kepastian kapan dirilis dan label apa yang siap menampungnya.  Berikut sepenggal kalimat dari beliau, “The follow-up to Years of Refusal is ready and fluttering wildly against the bars. There is still no record label and the years shuffle like cards. My talents do not lie in DIY.” 

Bersukarialah, wahai Mozzerian di tanah air (dan belahan dunia lainnya). Silahkan bermimpi Morrissey hadir dan beraksi di negeri ini, dan siapapun promotornya. Dan nikmati pranala free streaming dari ketiga lagu tersebut dibawah ini (demi kenyamanan mendengar, klik stop di boks 'video's of the week', di sebelah kanan blog ini).



Morrissey - Action Is My Middle Name (BBC Session) by TheNJUnderground

Morrissey - The Kid's a Looker (BBC Session) by TheNJUnderground

Morrissey - People Are The Same Everywhere (BBC Session) by TheNJUnderground

Wednesday, June 15, 2011

Curve - Pubic Fruit


















Buah rambutan ada di kover album? Well, ternyata itu terjadi dan tampil di kover album band shoegaze UK bernama Curve. Entah apa alasan band ini dengan memasang gambar rambutan atau pubic fruit di gambar kover album mereka. Apakah mereka penyuka buah mungil berambut ini, atau sekadar takjub dengan rupa buah yang bernama ilmiah Nephelium lappaceum?

Tentunya, seperti buah rambutan, khususnya jenis cipelat, Curve yang juga salah satu band shoegaze di daratan UK pada era 90-an, termasuk favorit saya. Daya tarik dari Curve, adalah cita rasa unik daripada band-band shoegaze lainnya. Band ini menyajikan shoegaze yang tetap bermahzab swirling airy sounds dari gitar dan efek, diramu bersama sensaasi funk, electronic, sedikit gotik, dan beberapa pil ekstasi dari musik rave. Suara seksi vokalis perempuan menjadi sensasi candu menggairahkan dari Curve, dan itu bukan gombalan belaka dari saya.

Band ini diotaki oleh dua orang yaitu, Toni Halliday (vokal) dan Dean Garcia (basis, gitar, programer). Latar belakang Garcia yang mantan additional player dan juga pengisi materi di dua album band  Eurythmics. Tak heran musik Curve juga berangkat dari musik yang rada dance tracks. Kedua orang ini yang sempat menjadi kekasih (fenomena cinta yang juga dilakoni MBV dan Cocteau Twins), dibantu oleh Debbie Smith (gitaris dan personil Echobelly), Alex Mitchell (gitaris), dan Steve Monti (drumer Jesus and Mary Chain).

Sebelum rilisan album perdana mereka, Doppelganger, Curve telah lebih dulu melempar tiga album EP berjudul Blindfold, Frozen, dan Cherry. Album Pubic Fruit adalah merupakan kompilasi dari semua lagu dari ketiga album EP tersebut. Bagi saya, album ini betul-betul memiliki sesuatu yang berbeda dari album shoegaze lainnya.

Vokal seksi Toni dan lanskap musik dari Garcia menjadi urat nadi Pubic Fruit. Sebut saja lagu pertama berjudul Ten Little Girls dari EP Blindfold, man! sangat danceable sekaligus headbanging, plus loop dan sampling Garcia yang asyik diselingi ocehan seorang rapper.

Lagu lainnya yang saya sukai, Blindfold. Tampak ethereal, rave, dan shoegazing in the same time. No Escape From Heaven, menyusul dengan beat yang lebih cepat dan keren. Kuncinya tak lain sampling gitar yang ajib, dan drum Monti yang konstan, ditemani permainan bass dan racikan sampling Garcia.

Coast is Clear, termasuk lagu yang juga saya sukai. Suguhan utama adalah vokal Toni yang begitu merdu nan seksi, plus drum loop, sampling dan riff gitar yang ekletik. Hal ini juga ditemui pada lagu seperti The Colour is Hurt, Clipped, dan Frozen.

Salah satu lagu paling seru di album ini, adalah Galaxy. Bagi yang pernah menonton film Mysterious Skins, pasti akan ngeh dengan Galaxy yang juga masuk soundtrack film tersebut. Layak didengar ketika anda berada di tengah jalan tol, dengan jendela terbuka, ketika mengendarai mobil Mustang atau sejenisnya.

Cherry, menjadi lagu pembunuh dari semua trek di album ini. Suara halus bergairah Toni, mengawali lagu yang perlahan-lahan dihampiri oleh hempasan reverb dan fuzz dari berbagai arah, namun dengan arus yang tenang menghanyutkan. Sampling dan drum loop mengisi setiap riak-riak dari hempasan tersebut. Naik dan turun, tak terduga.

Lagu penutup Fait Accompli, akhirnya memastikan akhir dari album bergambar rambutan penuh citarasa ini. Dan saya membayangkan betapa Pubic Fruit pun ternyata bisa begitu menggairahkan, selain manis rasanya. Marr

Toni Halliday dan Dean Garcia
Highly Recommended - ...an endless stream of thirsty underground synth-warp, spiraling like DNA and stamping out rhythm like an army wearing Doc Martens....Where Hendrix ricocheted sound from ear to ear of the headphones, Curve lets it drift back and forth, almost aimless...
Spin  (19930101)


Get The Link!

Sunday, June 12, 2011

Free MP3 by Mellonyellow on Their First EP, Milk Calcium!


Sudah lama saya berandai, mau nggak yah, band shoegaze lokal  favorit saya di ibukota Jakarta, Mellonyellow, mengijinkan saya untuk menampilkan share link dari album mini perdana mereka, Milk Calcium, di blog ini. Alasannya, tak hanya karena materi mereka keren dan seru, tetapi juga untuk memperkenalkan band ini kepada mereka yang mungkin belum sempat mendengar musik mereka.

 Untunglah, personil drum MY, Tyo, mempersilahkan saya untuk memperkaya koleksi MP3 di blog ini dengan karya mereka yang hanya dirilis 100 kopi, yang tak aneh langsung ludes. Secara singkat, seperti pernah diulas di blog ini, Milk Calcium adalah hal terbaik yang hadir di skena shoegaze ibukota setelah Sugarstar, menurut saya loh. Materinya mengesankan dan sangat 90's, tidak harus berlebihan menghiasi musik mereka dengan efek-efek agar terlihat intelek. Hasilnya, sebuah album mini dengan empat lagu yang cool as fuck! Penasaran? Unduh link dibawah ini, A.S.A.P.


ps: ingin detail review album mereka, bisa cek melalui pranala link label 'shoegaze' di blog ini

Get The Link!

Friday, June 10, 2011

The Offspring - Ignition















Bagi para anak SMA di pertengahan 1990-an, sudah pasti pernah dikerubuti oleh begitu banyak aksi band-band alternatif, wabil khusus melalui tayangan acara musik tv swasta dan parabola seperti Alternative Nation MTV, ataupun VH1. Mulai dari band britpop, metal, indie, ska, hingga punk. Nah, salah satu band dari layar MTV yang saya pernah gandrungi ketika masih kelas 1 SMA, tak lain the Offspring. Man, this South California's band was so awesome and kick ass!

Ketika album mereka bertajuk Smash sukses besar, saya termasuk pengidola mereka. Lagu 'Come Out and Play', rajin wara-wiri di radio FM dan acara musik di TV. Tak lama kemudian muncul singel berikutnya The Offspring, seingat saya di radio SK, di program musik alternatif yang dipandu Nugie (lupa nama acaranya), berjudul Dirty Magic. Hey! nih lagu keren banget. Keesokan harinya, saya langsung meluncur ke sebuah toko kaset di Ramayana, Pasar Minggu untuk mencari kasetnya. Dapet!

Terbelilah kaset the Offspring berjudul Ignition seharga Rp7500 (kayaknya segitu). Album ini ternyata album kedua mereka sebelum Smash yang album ketiga. Diputer beberapa kali selepas pulang sekolah di tapedeck merek Sony sampai akhirnya hapal liriknya sampai sekarang. Lagu-lagunya keren banget dan kenceng, plus lirik yang blak-blakkan.

Lucu nan sialnya, suatu malam, tak sengaja saya memencet tombol Record yang berdempetan dengan tombol Play. Asli, nggak sadar sampai bingung kok nggak ada suaranya..dan, arghh 10 detik terhapus dari bagian awal lagu favorit saya Dirty Magic. Bodoh nian, saking kecewanya, saya berusaha merekam bagian hilang tersebut dengan cara mutung menanti lagu itu nongol di radio dan segera merekamnya langsung pada bagian yang disasar, klik tombol Record. Yah, rencana konyol itu akhirnya tidak terjadi sama sekali karena selalu ketinggalan start.

Bertahun-tahun berlalu, hingga akhirnya saya bekerja di sebuah penerbitan di Bandung. Ketika saya melakukan ritual ngubek cd bekas di loakan perempatan Cihapit, tiba-tiba jemari saya menyentuh sebuah cd bekas The Offspring, tak lain Ignition. Wow, ternyata masih ada peninggalan album itu, dan terjadilah tawar menawar dengan pemilik kios, lalu terbeli Rp40 ribu dengan kondisi Very Good.

Nostalgia berlanjut dengan lagu-lagu dari album yang saya sebut sebagai album terbaik the Offspring, bersama album Smash.  Mereka mengusung musik punk crossover, namun lebih dekat ke arah metal punk. Para personilnya, Dexter Holland (vokal), Noodles (gitar), Greg K (bas), dan Ron Wealty (drum).

Album Ignition, berisi 11 materi lagu dengan kekuatan penuh dan cepat. Dari beberapa lagu, Dirty Magic menjadi favorit, dengan petikan gitar menyusur seperti Fade to Black atau Sanatorium, Metallica. Bahkan saya sampai mencoba menguliknya dirumah. Beberapa lagu yang berlirik motivasi yang agresif, seperti Get It Right, Kick Him When His Down, atau Take it Like A Man, sungguh bisa menjadi penambah semangat kita ketika memulai segala aktifitas di pagi hari.

Pesan berbahaya juga hadir di lagu-lagu seperti Burn it Up, tentang menjadi seorang penyulut api; dan L.A.P.D., yang penuh kecaman terhadap para polisi di kota Los Angeles yang dahulu dikenal ringan tangan alias penyuka kekerasan sebagai solusi mengatasi keamanan dan kejahatan, khususnya saat kerusuhan kota L.A. di dekade 1990-an.  

Mendengar album ini seperti menemukan band The Offspring yang sebenarnya. Beberapa album setelah Smash, sungguh mengecewakan. Rada picisan dan ndak asyik hahaha Yah, musik berkembang, begitu juga mereka. Well, setidaknya, album ini menampilkan salah satu momen seru dari empat anak muda California Selatan ketika meraungkan ekspresi musik mereka kepada generasinya.




Monday, June 6, 2011

J Mascis + The Fog - More Light














J Mascis, adalah anak dokter gigi di kota Amherst, negara bagian Massachusetts. Beranjak remaja, ia mendirikan sebuah band hardcore di kotanya, bernama Deep Wounds di tahun 1980-an. Lelah menjadi anak hardcore, anak muda ini menanggalkan stik drumnya (posisinya di Deep Wounds), dan membeli gitar Fender Jazzmaster bekas seharga 300 dollar untuk band barunya, Dinosaur Jr. And the story goes on as he became a cult idol for indie rock alternative grunge teenagers in the 90's, and todays. Gitaris gondrong ini dipuja karena permainan gitarnya seperti monster bersenjatakan fuzz dari Big Muff dan killer riffs!

 Nah, album More Light, adalah album solo J Mascis dengan nama J Mascis + the Fog, selepas ia menidurkan Dinosaur Jr. pada 1997. More Light sendiri album kedua dari band ini, setelah sebelumnya merilis album semi akustik, Martin + Me. Spesialnya album ini, tak lain keterlibatan orang-orang kelas VIP di skena musik alternatif dunia, Bob Pollard dari Guided by Voices dan Kevin Shields dari My Blood Valentine. Sick, huh?!

Meski Kevin Shields dan Pollard berbagi sentuhan di album ini, tetap saja, DNA dari rekam jejak J Mascis di Dinosaur Jr membekas dari seluruh materi More Light. Mirip album-album Dinosaur Jr sebelumnya, namun tetap keren. Boleh dibilang, album More Light cukup berwarna dan atraktif, baik dari sounds dan lagu-lagunya, daripada kedua album terakhir Dinosaur Jr sebelum akhirnya vakum. Cabikan gitar Mascis, tetap tak kehabisan energi dan mancep.

Total ada 11 lagu, plus 3 lagu bonus atawa hidden tracks di album ini. Sameday, menjadi track pembuka yang tak akan menyulitkan siapapun yang hendak berkenalan dengan J Mascis. Tipikal materi Dinosaur Jr., yang kemudian dilanjutkan dengan Waistin', trek lagu dengan lirik rada nelangsa curhatan Mascis dengan dentingan piano kibor.

Beberapa materi berikutnya yang menarik, seperti Grand Me To You, lagu bertempo sedang namun ndak kelihatan lesu. Permainan piano Mascis yang simpel dan suara vokalnya yang bermahzab Neil Young-isme, membuat lagu ini terasa reflektif. Begitu pula terlihat pada beberapa lagu seperti AMMARING, Can't I Take this On (diawali petikan banjo, lalu bassline yang asyik), dan lagu favorit saya, Does the Kiss Fit, pas banget buat para alt rocker yang sedang jatuh cinta.

Kejutan More Light akhirnya datang pada lagu ke 11, yaitu More Light, dimana Mascis dan Kevin Shields menghajar telinga kita dengan tsunami fuzz, flanger, dan reverb secara bertubi-tubi. Semacam keriuhan super berisik yang dilemparkan di tengah-tengah angin tornado di dataran Oklahoma. Kevin Shields berbagi suara dengan idolanya, Mascis di lagu ini.

Selepas tsunami Mascis dan Shields, trek bonus Can I Tell You Stories dan Too Hard, menyapa dengan nuansa nelangsa dan muram. Cukup pas dengan judul album ini, dimana we really need More Light in this life. Namun Mascis memastikan cahaya itu untuk para pendengar album ini dengan membawakan kembali lagu John Denver, Leaving on a Jet Plane, lagi-lagi dengan Kevin Shields. Mereka berdua kembali meruangi seluruh langit-langit dari lagu tersebut dengan keriuhan noise dan segala macam keliaran yang bisa mereka hadirkan. And, it works damn well!


3.5 stars out of 5 - ...A charmingly out-of-time beast....this could have recorded in 1993 and lost down the back of the sofa...
Melody Maker  (20001017)


Get The Link!

Sunday, June 5, 2011

Sugar - Beaster
















Alkisah, hanya ada dua band yang begitu melegenda berkelana di telinga anak-anak muda Paman Sam di era 80-an, via radio transistor di kamar-kamar penuh poster band dan berantakan di rumah-rumah dan asrama kampus. Kedua band ini kelak akan mengontaminasi musik rock n roll dalam saluran frekuensi yang berbeda dari semestinya. Band itu tak lain R.E.M. dan Husker Du. Band pertama kelak menjadi band superstar dengan jutaan kopi, band yang terakhir justru sebaliknya, hanya menjadi cult favorite bagi para alt rocker tulen.

Nah, Husker Du, meski hanya 'mentok' pada tahap legendaris namun tak sukses global seperti Stipe cs, album-album mereka selama tahun 1981-1987 (lalu bubar) berjasa meletakkan cetak biru musik alternatif paska punk yang kemudian diserapi oleh gerombolan band-band di era 90-an. Dan sukses, dengan kemunculan band-band seperti Nirvana sampai Dinosaur Jr. Bahkan Pearl Jam sekalipun, dipastikan nggak bakal nongol jika mereka tidak mendengar Husker Du.

Kenapa saya beri pengantar tentang Husker Du? Karena band dan album EP yang saya mau ulas kali ini adalah band kedua dari vokalis, gitaris, dan juga mastermind dari Husker Du, yakni Bob Mould.  Sugar adalah band proyek Mould setelah bersolo karir. Lahir tahun 1992, band ini dikomandani Mould, bareng David Barbe (bass) dan Malcolm Travis (drum).

 Album berjudul Beaster merupakan album outtakes atau EP dari lagu-lagu yang tak masuk album perdana Sugar, Copper Blue. Saya ingat, cd ini saya dapatkan sekitar 8 tahun lalu di toko musik Bulletin di dalam hypermarket Alfa, daerah Pasar Minggu. Pokoknya lagi cuci gudang, dan harganya lupa dan murah banget. Alasan kenapa saya langsung beli tak lain, karena di sleeve belakang tertulis rilisan Creation Records, tak ada alasan lain. Betul-betul belum pernah mendengar band ini dan hanya mengandalkan informasi situs allmusic di warnet dekat Alfa.

Pas diputar di kamar, wow, betul-betul raw dan alt rock sekali. Setelah saya mendengar materi album Copper Blue, rasanya materi-materi di album Beaster semacam the Two Face atau wajah lain dari materi di Copper Blue yang pop alt yang bersahabat. Semacam Yin dan Yang, bahkan Jeckly dan Hyde, dimana Beaster tampak begitu agresif, galak, dan menyalak-nyalak. Layak untuk didengarkan dengan volume mendekati maksimal.

Trek pembuka, Come Around, menjadi salam perkenalan Beaster. Mould melantunkan lirik lagu ini seperti tipikal vokalis dari band-band shoegaze. Permainan gitarnya teduh dan menghanyutkan, meski full distorsi, dibayangi gitar akustik yang jernih sedikit reverb di sepanjang lagu. 

Pada lagu berikutnya, Tilted, menjadi penghajar telinga termanis di album ini. Bang! Penuh energi tak tersalurkan, lagu ini memang butuh wahana sebagai lagu outtakes album Copper Blue. Saking kencengnya lagu ini, saya berpikir nih lagu sangat layak menjadi soundtrack film Fast and Furious. Karakter tergalak alt rock 90's bisa ditemui di lagu ini, salah satunya guitar lead Mould yang bikin saya gemetar dan membuat J Mascis tampak inferior.

Judas Cradle, melanjutkan kegalakkan feedback menyakitkan telinga lewat gitar Fender Mould. Tensi di lagu ini bahkan oleh allmusic.com, disebut nggak kalah dengan MBV atau Sonic Youth, dalam aspek intensitas yang dihantarkan pada lagu ini oleh Mould cs. Keriuhan ini ditunjukan lagi pada lagu berikutnya, JC Auto, namun kerennya Mould menampilkan lirik yang penuh kegusaran spiritual plus bagian reff yang asyik, tipikal warna utama album Copper Blue.

Lagu Feeling Better melanjutkan intensitas yang sama dengan lagu-lagu sebelumnya, dan memiliki pop hooks pada reff yang layak tampil di Copper Blue. Yah, ada sedikit sentuhan kibor yang cukup memberi pembeda dari lagu lainnya. Lagu penutup, Walking Away berhawa alunan organ gereja, menjadi klimaks yang bisa meredakan suhu di telinga kita setelah Mould dan kedua partnernya meracik musik termanis sekaligus terpedas dari Sugar. Sungguh, dan saya merasa kehausan saking serunya. Marr



Ranked #16 in New Musical Express' list of `The Top 50 LPs Of 1993' - ...a bloody but nonetheless spiritual and ultimately uplifting experience....
NME

Get the Link!


Tuesday, May 10, 2011

Upside Down : The Creation Records Story - The New Trailer



Trailer video diatas berasal dari dokumenter bertajuk Upside Down : The Creation Records Story, sebuah film historis yang menjejaki kembali kisah sebuah label musik ajaib bernama Creation Records. Bagi kami, label ini berjasa besar melahirkan lanskap musik artistik dengan band-band seperti MBV, Ride, Swervedriver, The Boo Radleys, Jesus and Mary Chain, Teenage Fanclub, The Jasmine Minks, Primal Scream, hingga Oasis.

Salah satu quote di dokumenter ini dari begawan musik bernama Alan McGee, tentang label Creation Records yang dilahirkannya, dan akhirnya dijual karena menjelang bangkrut, "I think it was like the ultimate fucked up family".

logo label Creation Records


So, kami sangat menyarankan untuk segera memesan DVD/Blue-ray dari film ini, jika anda ingin mengenal lebih dekat dengan Creation Records, dan curhat para penghuninya yang terdiri dari orang-orang sedikit kacau  hingga rada normal. Bisa pre-order kopinya di amazon atau lainnya, atau pesan ke para seller merchandise import kepercayaan anda di facebook. Hurry up!

Sunday, May 8, 2011

Shed Seven - Change Giver

Photobucket

Shed Seven, the underdog Britpop band, lahir di kota York, Inggris, pada tahun 1990 ketika scene musik di daratan Ratu Elizabeth didominasi Madchester dan shoegaze. Baru tiga tahun kemudian band ini berhasil menampakkan diri di kancah musik Inggris setelah momentum meledaknya semangat nasionalis ala Britpop. Ketika genre shoegaze akhirnya tewas dan The Stone Roses mati suri, pada tahun 1994, Shed Seven merilis album debut cukup penting dalam sejarah Britpop, namun underrated oleh kritikus musik Inggris.

Empat pemuda, Rick Witter (vokal), Tom Gladwin (gitar bas), Alan Leach (drum), dan Joe Johnson (gitar), yang kemudian digantikan oleh Paul Banks; mengambil pengaruh utama dari The Stone Roses, Happy Mondays, hingga The Rolling Stones, lalu berhasil mendapat kontrak album pertama dari Polydor Records, setelah sukses meraih peringkat ketiga pada Battle of the Bands setahun sebelumnya.

Album debut bertitel Change Giver akhrnya dirilis dengan beberapa single seperti “Mark”, "Casino Girl”, dan “Speakeasy” yang berirama catchy serta berlirik gamblang dan berhasil menduduki chart lagu di Inggris. Kemudian diikuti “Ocean Pie”, sebuah lagu semi psych bluesy Britpop, yang sempat mengundang kontroversi karena liriknya memaparkan ajakan penggunaan drugs. Dominasi riff gitar Banks dan vokal Witter yang lantang dan merayu menjadi warna utama Shed Seven, terutama di lagu “Stars in Your Eyes” dan “Dolphin” with the intense rock driven riff.

Ironisnya, tidak seperti Blur, Oasis, Suede atau bahkan Menswear, Shed Seven belum pernah mengecap kepopuleran band Britpop papan atas. Sikap media Inggris ketika itu agak menganaktirikan mereka, sehingga band ini tidak pernah mendapatkan cukup publisitas ala NME, Melody Maker dan VOX. Well, setidaknya Change Giver gave this four lads from York, a chance untuk meramaikan khasanah musik Britpop ketika itu. The Drowner

Source: I purchased this cd somewhere in Bandung, many years ago... ketika ritual bolak-balik Bandung–Jakarta via kereta api masih mewarnai my previous confusing life.

Photobucket
get the link!
buy it! (or hunt their last remnant on eBay!)

Monday, May 2, 2011

Something 'El - Tragically Romantic


















Pernah saya dan teman bertanya apa gerangan terjadi pada skena indie saat ini yang tampak memuram. Tak terdengar lagi ragam event musik indie seramai dua tahun sebelumnya. Lokasi tempat acara pun semakin susah dicari lagi, sementara band-band indie lokal seperti berjalan di tempat. Media dan produk tak lagi melirik. Masa keemasan pesta pensi telah jadi kenangan masa lalu, dan ruang ekspresi lainnya seperti menadir.

Bak pertanda, label indie besar bernama Aksara Records wafat, untungnya sebagian bisa bertahan hidup. Toh, kreatifitas tak pudar. Beberapa band baru bermunculan menawarkan sensasi musik menawan, beberapa pemain lama yang lebih dulu eksis bersikap militan dengan kembali terjun dari bawah dalam membina basis massa dan publikasi karyanya. Aspek komersialitas dan segmentasi populer (non musik alay pastinya) pun semakin dibidik, setelah suksesnya band-band seperti Pee Wee Gaskins, yang berhasil menggaet kalangan remaja tanggung dan anak sekolahan.

Something 'El, band yang terdiri dua manusia, yaitu Lutfi dan Ladrina, merilis album perdana berjudul Tragically Romantic, yang menurut saya hendak mengendus peluang dicintai oleh anak-anak sekolahan. Bermaterikan musik-musik ringan dan lirik cecintaan yang sederhana, album ini sebenarnya bisa diandalkan. Namun saya melihat begitu banyak kelemahan dan kekurangan yang cukup krusial.

Mengusung musik pop indie bersenjatakan rona akustik Lutfi, dan suara menggemaskan Ladrina. Oke, dua senjata tersebut merupakan kombinasi manis. Namun materi album ini kurang menyimpan lick-lick dan hook menggigit. Pemolesan aransemen dan mixing sebuah album dominan akustik seperti Tragically Romantic kurang matang dan terjaga. Belum lagi bagian lirik yang meski simpel, tetapi tak ada kelihaian permainan kata-kata. Padahal lirik adalah hal paling menentukan untuk sajian album seperti ini.

Usikan lainnya adalah kemasan CD yang tampak kurang diperhatikan hasil akhirnya, dimana lembar sleeve tak pas dengan case jewel? Entah apa ini karena CD yang saya terima, tetapi hal ini juga saya temui di CD milik teman saya juga. Seperti salah satu blog terkemuka yang menyebut album mereka 'seperti terlalu terburu-buru', saya rasakan demikian halnya.

Malah saya berpikir mereka seharusnya melepas saja dulu beberapa mini album atau EP, untuk menjaga momentum karya mereka secara periodik. Keuntungannya, selain bisa memainkan ritme sounding karya-karya mereka, juga bisa menelaah lagi apresiasi dan ekspetasi pendengarnya.

Untuk album kedua, Something 'El harus lebih berani lagi mengeksplor bakat musik mereka dan menciptakan kejutan baru. Mereka mempunyai dua senjata unik, tinggal bagaimana menemukan 'The It Song' yang akan membangkitkan kembali gairah skena musik di negeri ini. Keep it Alive, El's!

Sunday, May 1, 2011

The Modest - Instant Best Friend (EP)



















The Modest, sebuah band sampingan di kala The Sastro mendingin sejenak. Dikomandani oleh dua personel The Sastro, Ritchie dan Rege, kedua sisanya adalah wajah baru, band bernafas pop indie guitar ini sempat menarik perhatian beberapa waktu silam melalui videoklip yang unik, lewat single Will Someone.

EP The Modest berjudul Instant Best Friend ini sebenarnya sudah lama 'ngumpet' di folder draft blog ini, menanti untuk diposting. Tetapi daripada terlambat sama sekali, hadirlah ulasan album mini mereka, berikut dengan bonus mp3nya. Komparasi dengan The Sastro? Sepertinya kita tak akan menemui progresifitas dari lick2 gitar ala The Sastro, namun riff-riff jernih dan beat drum yang dimainkan The Modest mengingatkan pada band-band seperti the Phoenix. Refreshing and Jangling.

Satu hal yang sempat menjadi obrolan saya dan teman ketika mendiskusikan The Modest, tak lain sosok sang vokalis dengan corak vokalnya yang agak 'oriental'?. Kami sempat menggunjingkan vokalnya di telinga kami yang bisa debatable bagi siapapun, berjam-jam jika mau diladeni, tetapi what the heck, this is music, rite? Setiap orang punya kekhasan, termasuk sebuah band, meski harus patuh norma dan nilai, dan melek nada. The Modest, tak terlalu bermasalah untuk hal-hal tersebut.

star Pictures, Images and Photosstar Pictures, Images and Photosstar Pictures, Images and Photosstar Pictures, Images and Photos 


get the link!

Monday, April 25, 2011

Rowland S. Howard – Teenage Snuff Film


“..why you have to be so fuckin genius and an alcoholic in the same time..” (anonym)
Sebuah kalimat yang menekan hati, tertuju pada seorang musisi dan gitaris legendaris dari negeri kangguru, Rowland S. Howard (RSH). Komentar itu saya temui di sebuah videoklip milik gitaris gaek dengan bermata cekung ini di Youtube. Raut wajahnya menyiratkan jejak kehidupan kacau berharum alkohol dan bius adiktif, menghiasi aksinya di atas panggung dan karya musiknya.

Terlahir di kota Melbourne, 24 October 1959, RSH adalah seorang musisi dan gitaris yang langka. Testimonial atas RSH oleh para musisi alternatif dunia seperti Thuston Moore, Lydia Lunch, hingga Nick Cave menegaskan betapa spesialnya RSH di hati mereka. Pendiri The Birthday Party bersama Nick Cave, RSH menampilkan sebuah sensasi bermusik yang bising, agresif, dan, puitis. Bersama gitar Fender Jaguar tahun 1968-nya, RSH sungguh membuat post punk menjadi tampak lebih emosional daripada Ian Curtis, dengan liar meracik esensi country, punk, dan blues jalanan melalui petikan gitarnya.

Sebelum saya mendapatkan album solonya yang berjudul Teenage Snuff Film ini, trailer dokumenter RSH berjudul Autoluminescent di Youtube lah yang memperkenalkan sosok orang tua ini. Sampai ketika saya jalan-jalan di toko music Aquarius PI (kini telah tutup) yang sedang cuci gudang, dan menemukan sebuah cd agak lusuh kemasannya di rak diskon besar-besaran. Kovernya sederhana, menampilkan siluet wajah RSH dengan stiker imported, berbanderol diskon sekitar 50ribuan, kalau tidak salah. Betul-betul tak memikat puluhan orang yang sedang mengubek rak-rak cd di toko tersebut.

Sedikit terkaget, saya langsung mengambil cd itu dan membelinya. Sesampai dirumah, segera terputar cd di tape CD merk Sony hasil menang undian kartu nama saat menjadi wartawan dulu. Melirik liner notes di sampul cd, saya menemui nama-nama yang tak asing dari band Nick Cave and the Bad Seeds, seperti, Mick Harvey dan Brian Hopper, lalu ada rekan RSH saat dirinya masih di band These Immortal Souls, Genevieve McGuckin.



Lagu pertama terputar, Dead Radio, sebuah lagu yang kelam dengan petikan bas yang muram. Ketukan drum Mick Harvey meratapi setiap bait yang dilagukan RSH. Beberapa lagu lainnya semakin dingin oleh petikan-petikan RSH yang dingin, seperti Breakdown (and then...), She Cried, atau semisal Exit Everything. 

Gubahan paling menarik dari RSH di Teenage Snuff Film adalah lagu dari Billy Idol, berjudul White Weeding. Di lagu ini RSH menampilkan kepiawaiannya meracik atmosfir berbeda dan jauh lebih keren ketimbang versi Billy Idol (hahaha), seperti yang juga dilakukannya bersama Lydia Lunch pada lagu Some Velvet Morning, milik Lee Hazelwood dan Nancy Sinatra, di era 80-an. 

Total ada sepuluh lagu di album yang sarat dengan refleksi emosional RSH di usia senjanya. Kelam dan dramatis. Lagu Sleep Alone yang begitu bising dan noise, dengan petikan gitar RSH yang meyayat liar, menutup album Teenage Snuff Film, bak ending sebuah bagian kehidupan pria bernama Rowland S. Howard. 

Ia disebut-sebut pernah berada di rumah sakit jiwa, tinggal di jalan, berdansa dengan alkohol dan drugs, serta ragam kekacauan lainnya. Namun, kejeniusannya melalui karya-karyanya yang artistik tak tergerus sama sekali. Bagi saya, RSH adalah musisi yang bisa merasuki karya-karyanya dengan begitu intens dan personal.
Penyakit liver memang telah mengakhiri hidup gitaris sinting dan kacau ini, 30 December 2009, namun album ini tak memupus hasrat dan musikalitas RSH, dan saya ingin sekali memperkenalkan orang ini kepada anda semua. Marr