Sunday, December 15, 2013

Seaside - Undone

Seaside yang hampir terkubur oleh waktu, merilis sebuah album dreampop shoegazing yang begitu intim dan manis. Memikat dan sensual.

Ketika lirik berkelindan dengan tekstur musik, sebuah lagu bisa memberikan impresi yang personal bagi pendengarnya. Hal ini tentu bukan soal mudah dan butuh pertalian kimiawi antara si pembuat lirik dan musiknya. Seperti Morrissey dan Marr, Squire dan Brown, atau Guthrie dan Fraser.

Ketika mendengar materi album Seaside, bertitel Undone, saya melihat betapa urusan meramu musik dan lirik terangkai indah oleh band ini. Kepiawaian Andi Hans dalam meracik kontur musik Seaside dan Stacy dengan lirik puitis berbahasa Inggris yang intimate and passionate. Dengar saja lagu-lagu seperti Blue Star dimana Stacy seperti bermonolog lalu berdialog dengan intim bersama Hans bersama tekstur musik lagu yang temaram.

Seaside - Undone

Jujur, saya betul-betul jatuh hati dengan band ini. Dan akan banyak puja-puji yang akan terlontar dan mungkin akan membuat orang senewen dan jengah. Sebelas materi album Undone begitu tight dan tertata dengan rapi. Hans dengan pengalaman sederetan resume terlibat banyak band, membuktikan betapa bagusnya gitaris satu anak ini. Racikan layer per layer, isian dan lick-lick dari gitarnya tampak sempurna.

Sebut saja single utama Seaside, Giggle and Blush yang manis dengan lirik yang oleh si sutradara videoklip lagu ini dianggap menyimpan kesan sensual.  Lagu Undone, adalah materi dimana saya bisa menemukan kesan kentara dari band-band dari gitaris seperti Robin Guthrie, Neil Halstead, dan Kevin Shields. Plus vokal tipis dan lirik Stacy dari setiap lagu, bagi saya, seorang pelirik lagu yang baik.

Seaside: Cassandra, Stacy, Adi, Hans, Aan

Peran para personilnya tentu tak bisa dilupakan, seperti Cassandra (gitar), Adi (bas) dan Aan (drum). Untuk sebuah band yang hampir bubar dan akhirnya bisa hidup lagi gegara Hans dan Stacy tak sengaja bertemu di sebuah mall dan sama-sama mengingatkan bahwa mereka punya urusan yang belum selesai dengan band yang dahulu dikenal dengan nama Carnaby atau Fawnes.

Sampai lagu terakhir, saya tak menemukan ada materi lagu yang lemah. Penataan urutan lagu-lagu sesuai mood terjaga dengan baik, plus ada beberapa lagu yang menyambung dengan lagu lainnya, menarik sekali. Album ini bagi saya adalah album dreampop shoegazing yang penting dan patut didengarkan.

I have to say, album Undone seperti halnya album Let Me Begin-nya Themilo. Dan band ini (mungkin akan banyak yang tak setuju, tapi ini pendapat saya), adalah proyek band terbaik yang pernah dilakoni Andi Hans. Too many words for an album like Undone, good heaven, those intimates and sweetness in all songs. I adore them!

--------------------------
The album can be bought online via www.gogs-store.com and www.anoarecs.com
IDR50.000,-

Monday, November 4, 2013

Bank Sober #2


Satu lagi acara menarik dan layak untuk disaksikan. Jujur saya belum mengenal band-band diatas selain Damascus, Barefood, dan Humsikk. Mungkin akan menjadi saat yang tepat untuk berkenalan dengan musik-musik yang disajikan. Kabarnya band dari Singapura ini berangkat dari genre post rock. Bagus lah, secara ketiga band saya sebutkan tadi bisa menyuguhkan keriuhan plus vokal yang bikin acara ini lebih semarak dan tidak monoton. By the way, Gratis!


Friday, October 18, 2013

Primitif Gig #2

Dihadirkan PrimitifZine, acara yang patut dicermati karena menampilkan band-band seperti The Kuda, Scaller, Vlaar, Cathuspatha, hingga Damascus. Band terakhir ini adalah band saya yang sudah kelamaan nggak pernah manggung, sampai akhirnya ada yang mengundang kami. Curhat saya jadinya.. :)) Acara ini bisa menjadi momen relaksasi di akhir pekan yang mujarab sebelum hari Senin. 

-------------------------------------

Thursday Noise!


Thursday Noise. Disiasati oleh komplotan Morfem dan rekan sejawat, menghadirkan band-band keren seperti Morfem, Vague, Skandal dan Mellonyellow, dan akan berlangsung di Borneo, Jeruk Purut, 31 Oktober 2013. Sungguh acara yang patut disimak dan pastikan selera musik anda belumlah aus dan banal akibat kebanyakan menonton Yuk Keep Smile.

---------------------------

Wednesday, October 9, 2013

Barefood - Sullen (EP)

Rilisan perdana label Anoa Records tak lain Sullen, sebuah EP dari unit indie rock Ibukota, Barefood. Kehadiran menarik akan keriuhan revival alt 90's di skena lokal.

Barefood - Sullen (EP)

Kadang saya berpikir akankah gempita era 90an bisa terulang lagi. Keriuhan gerombolan band-band anak muda di Inggris dan AS yang begitu mengguncang secara budaya dan sosial. Ketika musik tampak begitu menarik, apa adanya, dan spontan; termasuk ketika MTV menjadi corong alternative dengan program MTV120 Minutes atau Alternative Nations.

Ya ya, saya lagi-lagi berceloteh nostalgia yang tak ada habisnya. Masa lalu itu nggak akan terjadi lagi. Titik.

Setidaknya fragmen masa lalu masih hadir, dan kini bisa terlihat dari EP Barefood bertitel Sullen.  Dirilis oleh label kecil Anoa Records, Barefood mewakili revival di era 90an yang juga muncul di band-band luar macam Yuck atau Tripwires. Didirikan DItto (gitar) dan Mamat (basis), musiknya riuh berisik fuzz dengan nada alt pop.

EP Sullen bermaterikan lima lagu yang menurut saya mengesankan. Materinya terasa tight dan catchy. Simak lagu Perfect Colour yang menjadi single utama mereka, atau lagu berjudul Sullen yang saya rasa menjadi trek paling favorit.

Barefood tampil di skena indie lokal Jakarta dengan musik yang bisa dibilang cukup berbeda dari band lainnya.  Laiknya band alternatif 90an dengan lirik yang lugas apa adanya, tanpa bermetafora, mengingatkan band-band lawas representasi generasi ‘X’ di era 90an, seperti Teenage Fanclub, The Posies, Lemonheads, ataupun Dinosaur Jr.

Skena lokal kita pernah memiliki band, yaitu Netral, ketika masih begitu kerennya di ketiga album pertama mereka sebelum akhirnya beralih ke punk pop. Rasanya kita lagi mengalami kekosongan akan band-band slacker indie rock alternatif semacam itu. EP Sullen ini bukan berarti bisa sekelas Netral, namun bagi saya pribadi rilisan ini bisa menjadi pengisi yang menyenangkan. 

Ditto, Bowo (adisional), dan Mamat

Barefood bermain musik untuk bersenang-senang, tanpa tendensi menjiplak segala hal soal 90s di album ini. Bagi saya, mereka tahu musik apa yang mereka mainkan. Dan Barefood bisa menjadi letupan menarik di skena lokal kita. Yuk, dinikmati saja.

----------------------
CD Sullen sudah tersedia di Monka, Coffewar, dan Kineruku (bdg)
atau pemesanan online di www.anoarecs.com - IDR35.000

Teaser lagu Perfect Colour, bisa didengarkan via www.anoarecs.com


Saturday, August 17, 2013

Apa Kabarnya Blog Ini, Postingannya, dan Orang-Orangnya? Hello?


Okay, sebelum berbagi cerita dan kisah, saya pikir akan lebih keren jika ada gambar penghias postingan ini. Ketemulah, foto tua seorang pria memutar plat hitam ukuran tujuh inci di kamar tidurnya. Apakah gambar ini turut merepresentasikan situasi dan kondisi sang penulis sehari-hari? Please...

Ah ya, entah kenapa saya tiba-tiba ingin nulis tentang kabar blog ini, setelah tak lagi serajin dulu menuliskan artikel atau memosting review dari cd koleksi yang kemudian disisipi link unduh berkualitas 128kb kepada teman-teman semua. Lama juga saya pikir.

Kesibukan kerja kantoran dan juga ada blog Indonesiashoegazer.blogspot.com yang diurus bersamaan bisa jadi alasan. Lalu laptop yang biasa dipakai untuk rip mp3 sedang dalam keadaan koma akibat kebodohan saya menyenggol segelas air putih sehingga membasahi kibor laptop. Just great...

Padahal masih banyak cd-cd koleksi yang rasanya patut sekali dishare, band-band yang obscured tapi punya kelas dan bagus. Hanya saja, sejak saya ditinggal sendirian oleh dua teman yang biasa mengisi blog ini, si The Drowners dan si Clockenders, cukup bikin pusing dan malas juga. Sempat ada postingan dari penulis tamu, Aat Easybeats75, setelah itu tak ada lagi. Ada yang sudah diajak dan mau, eh, hanya janji belaka. 

Kini, saya mulai disibukkan ngurusin sebuah label kecil bernama Anoa Records, keroyokan bareng dua teman, Andri Rahadi dan Ritchie Ned Hansel. Bulan September, diharapkan bisa merilis album perdana Seaside dan EP dari Barefood. Jika ingin dengar teaser dari musik mereka, bisa melalui via situs soundcloud.com/anoarecords.


Jadi apa yang akan terjadi kedepan? Yang pasti artikel-artikel tentang musik lokal dan luar akan tetap hadir, dan postingan review album dari koleksi plus link mp3nya tampaknya harus menunggu laptop bisa sembuh kembali. Silahkan jika ada yang mau sumbang tulisan dan link mp3 dari koleksi pribadi. Terbuka meski saya tak bisa memberikan honor, hanya ucapan terimakasih dan peluk hangat.

Sungguh hasrat ini belum mati. Demikian. :)


Wednesday, June 5, 2013

Sex Sux - Sing Along with Bananas!

Pasutri dari wilayah Bogor, Jawa Barat. Berdua saja dengan satu mesin loop drum, bernada indie-punk dari hantu slacker indie pop minimalis di garasi dan basement Amrik pada akhir tahun 1980-an.


Sex Sux - Sing Along with Bananas!
I'm so fuckin love with this band. Pertama melihat band ini sekitar dua tahun lalu saat seorang teman membuat acara dan mengundang band ini ke Jakarta, lupa saya, antara Wastedrockers atau Heyho Records, mungkin dua-duanya! Whatever, intinya sejak pandangan pertama Sex Sux, saya meyakini band ini brilian, dan seharusnya mendapat atensi yang layak. Kenapa? Cool as Fuck, that's why!

Dan ketika ada isu bahwa Heyho Records bakal merilis album perdama Sex Sux, bertitel Sing Along with Bananas, tak ada kabar sekeren ini di skena indie. Itu pendapat saya. Band yang dihuni pasutri dari kota hujan, Deni dan Melly, meramu sepuluh lagu yang sebagian sudah ada di dua EP Sex Sux sebelumnya. Musiknya memiliki benang merah dengan band-band klasik indie pop/twee, minimalis, raw dan lo-fi, semacam band K Records.

Dua EP Sex Sux.
Beberapa lagu favorit, well, semuanya sih, tapi saya menyukai I Got Bones (in the Kitchen), Ooh Sha Laa, Ceiling, dan, khususnya Coffee and Cigarette, so perfect. Album ini pun direkam secara minimalis di studio rumah mereka. Kesan lo-fi terasa sekali, dan justru itu membuat album ini lebih tertangkap emosinya, mungkin terasa spontanitasnya.

Sex Sux sebenarnya menghadirkan kesegaran baru di skena lokal yang mulai kurang variatif. Sayangnya, kondisi kesehatan Deni tidak memungkinkan untuk hadir di atas panggung. Penyakit serius terpaksa membuatnya harus berada di rumah. Beruntung label Heyho Records yang diurus DJ Deebank dan Mamed tetap merilis album mereka, meski promo album ini tak optimal.

Sex Sux

Album Sing Along with Bananas layak untuk dibeli dan didengarkan. Kita bicara soal sebuah band yang memiliki keunikan, baik dari musik, lirik, dan aksi live mereka. Kesederhanaan yang keren, the coolest of simplicity. Saya berharap Deni cepat sembuh dan bisa mencubit penikmat indie untuk segera buka telinga dan dengar band satu ini. Dan meski terlalu dini, saya langsung mendaulat album ini sebagai album terkeren di tahun 2013. Kenapa? Cool as Fuck!

*album ini bisa dipesan via Heyho Records di facebook dan toko musik indie.

Monday, June 3, 2013

Ayushita - Morning Sugar

Semanis pagi hari, begitulah album terbaru dari Ayushita, sang bintang layar kaca. Suguhan musik berkelas yang tak pernah terlintas dilantunkan oleh salah satu personil supergrup BBB. 

Morning Sugar
Suatu hari, seorang teman menyuruh saya untuk membeli sebuah cd bertitel Morning Sugar. Katanya, saya tak akan kecewa meski penyanyinya adalah Ayushita, personil dari supergrup BBB, a.k.a Bukan Bintang Biasa. Jaminannya, Ricky Virgana (White Shoes and the Couple Company) dan Mondo (Sore) menjadi produser dari keseluruhan materi lagu di album tersebut.

Dan, betul sekali, album yang menurut saya begitu apik, cantik, dan berkelas, namun tidak 'maksain'. Ricky dan Mondo, berhasil menyulap sosok Ayushita yang dikenal sebagai sosok artis sinetron yang menyanyikan tembang pop 'pasaran' menjadi Ayushita yang jauh berbeda. Suara vokal Ayushita yang sedikit tipis namun nyaman, menghiasi setiap lagu album ini yang khas olah musik dari band-band yang dihuni Ricky dan Mondo.



Tak heran, kalau melihat dari list musisi yang membantu album ini, melibatkan tim dari band Ricky, dan juga ada Anda. Tapi album ini tidak mengecewakan. Beberapa lagu seperti Fufu Fafa, Morning Sugar, ataupun Tonight is Mine, begitu manis dan hangat di telinga. Trek favorit, sebuah lagu lawas Melly Goeslaw berjudul 'Salah'. Di tangan Ricky dan Mondo, lagu ini menjadi begitu sempurna. Jujur, ini pilihan lagu yang sangat tepat, pas dengan konsep album, dan juga menurut saya, hanya lagu itu yang paling saya sukai dari Melly Goeslaw.

Album ini boleh disebut sebagai make over yang cantik. Album ini jelas tak akan sesukses kalau Ayushita tampil di BBB. Tak akan menjaring ringtone, atau pun wara-wiri di setiap tangga lagu di layar kaca. Mungkin juga acara live show model Dahsyat pun, dan sejenisnya tak akan tertarik. Saya tak bisa membayangkan para figuran di acara dengan yel-yel khasnya, mengiringi Ayushita bernyanyi lagu-lagu manis itu.

Pilihan yang tidak biasa dari Ayushita memilih ranah indie pop, dan berhasil melahirkan album semanis pagi hari yang anda pernah alami. Album yang dirilis Ivy League Music ini bukan album biasa. Nona ini ternyata punya selera, kelas, dan tentu nyali. Manis.

Wednesday, April 10, 2013

Sembuh di Konser Rumahsakit. Rolling Stones Cafe 6/4/13

Rumahsakit naik ke atas panggung lagi, lagi, dan lagi. Di Rolling Stones Cafe, Andri Lemes dan rekan, menghibur seratusan penonton ragam usia. Nostalgia yang tak pernah putus cerita.

photo: nyunyu.com
Satu hal yang paling saya syukuri dari skena lokal di tahun kemarin adalah reuninya Rumahsakit.  Sebuah album baru, yang mungkin bisa disebut sebagai kompilasi materi lawas mereka, disisipi beberapa lagu baru. Bagi yang tinggal di Jakarta, Rumahsakit ibarat Indie Darling-nya mereka, seperti halnya Pure Saturday bagi urang Bandung. Legendanya skena indies di tanah air.

Band ini berperan besar membesarkan skena indies di era 90an, khususnya masa-masa Cafe Poster. Bagi mereka yang pernah menghadiri setiap acara di Poster bakal mengerti kenapa Rumahsakit menjadi begitu pentingnya dalam lembar sejarah dan hidup orang-orang.


Lagu-lagu Rumahsakit menjadi tembang andalan setiap latihan saat pertama kali ngeband. Gandrung dengan musik Britpop, lalu melihat videoklip Rumahsakit, judulnya Hilang di televisi, dan mendadak pengen jadi anak Indies karena tampak keren dan cool ha ha ha. Selain bawain the Stone Roses, kami bawain Rumahsakit karena lagu-lagunya yang gampang dimainkan secara skill kami yang pas-pasan.

Dan satu malam di RSC, mereka manggung. Akhirnya saya bisa menonton mereka setelah gagal pas launching album terakhir mereka. Eh, sebelum manggung ketemu Andri Lemes di RM Ampera di seberang lokasi acara. Ditemani Acum, mereka ingin isi perut sebelum beraksi.

Obrol sebentar lah kami bertiga seputar pentas manggung terakhir Rumahsakit di Surabaya sampai soal betapa malunya Andri Lemes mengingat videoklip Hilang dimana ia menganggap video yang rada 'norak' pada jamannya. Khususnya saat wajahnya yang harus rela dipermak anak-anak Pestol Aer dan Slammer dengan polesan bedak dan lipstik secara berlebihan. Bagi saya itu video yang gak akan pernah ada lagi di layar kaca. Dan video itu menghilang, tak ada kopinya, Andri berharap bisa mendapatkan lagi video 'malu-maluin' itu.

Lagu Hilang menjadi pamungkas penutup pada saat Rumahsakit memuaskan seratusan orang selama mungkin satu setengah jam. Beberapa trek lagu yang klasik dan jarang-jarang didengarkan secara live seperti 2000 miles, Flow, atau semacam Petir, Kilat, dan Halilintar. Semua bernyanyi bersama, bernostalgia kapan pertama kali berkenalan dengan band jebolan IKJ ini.

Saya sendiri mendadak sembuh! Tujuh tahun silam, kaset saya dipinjam oleh teman bernama Miko, yang katanya mau dipinjam oleh teman saya bernama Lily, musisi Summer in Berlin dan sebagainya. Dan tak pernah kembali. Dua kaset yang saya selalu putar sampai hapal di luar kepala, masih ingat pula kedua kaset saya beli di Blok Mall, di toko kaset Musik +. Saya bahkan tak pernah mendengar lagu2 mereka secara intens lagi. Mungkin sudah gak pernah lagi.

Di atas panggung Andri Lemes menyanyi dengan penuh semangat. Tetap lemas dan grogi, hal yang tak pernah sembuh dari dirinya setiap kali di atas panggung. Nostalgia tak pernah putus ketika Andri juga mengisahkan hal-hal lucu dan seru selama di Rumahsakit. Mulai dari era darkness dengan zat adiktif, tradisi sepulang Poster yang selalu mampir lagi ke Bengkel agar bisa ajojing disko, sampai buka-bukaan para vokalis tamu seperti Acum, Toni, Batman, dan Jimi tentang band ini.

Malam yang keren. Tapi ada satu hal yang paling saya rasakan di malam itu adalah saya teryata masih bisa merapal kembali lirik2 dari lagu-lagu mereka. Memori di otak yang terbenam di laci butut, tiba-tiba aktif kembali. Bangkit dari alam sadar. Saya sampai mengadu kepada kedua teman saya di sana, dan memasang muka bahagia sambil berkata, 'gue sembuh men!'. Dan rasanya betul-betul bahagia sekali.

Tuesday, March 26, 2013

Morfem - Hey, Makan tuh Gitar!

Morfem meluncurkan album kedua berjudul intimidatif dan cuek, namun dengan karya terbaru yang semakin matang dan berisi. Indie rocker lokal beraksi!



Hari minggu ketiga di bulan Maret, saya mampir ke acara launching album terbaru Morfem, berjudul Hey, Makan tuh Gitar! Selain ingin mendengarkan materi terbaru mereka secara live, juga mau nonton satu lagi band indie rock berbakat dari Jakarta Timur dan sekitarnya, Barefood, yang didaulat menjadi opening band di acara ini.

Selanjutnya, acaranya seru, Barefood memancing perhatian penonton, dan Morfem pun sukses di acara mereka, membawakan lagu-lagu kejutan seperti Kuning-nya Rumahsakit dan lagu Ramones dibikin medley. Puaslah para hadirin.

Morfem pasang aksi
Nonton, beli tiket 25ribu langsung dapat cd. Cakep. Dibawa pulanglah tuh cd, didengarkan di pagi hari sebelum berangkat kerja. Hasilnya, saya putuskan bahwa album kedua mereka patut diapresiasi dengan dua jempol. Materinya lebih matang, dan Morfem menjadi band yang semakin bagus. Jimi dan Pandu, sudah menjadi duet maut, seperti Moz dan Marr, Curtis dan Summer, atau Duta dan Eross? (LOL). Jimi dengan lirik-lirik kerennya, dan Pandu dengan racikan musiknya.

Dan album ini jauh lebih baik dari album pertamanya. Kerennya sepantaran dengan album pertama Superdrag, Regretly Yours, album powerpop yang catchy, sing along, dan noisy juga, kadarnya pas. Kerennya Jimi bikin lirik dan Pandu untuk musiknya, memang terletak pada materi yang bisa bikin sing along.   Dan asyik.

Beberapa materi yang patut dipuji, Hey Tuan Botimen, Jimi dengan lirik nakal tentang kegalauan seorang penikmat zat adiktif yang bikin saya merasa terharu juga dengan realita yang dihadapi para pemadat. Lalu Legenda Berbalut Ngeri, yang kata Pandu tentang lagu seekor tokek yang tiba-tiba nongol saat Jimi menyalakan lampu. Jimi begitu piawai dalam bermain kata-kata dalam lirik, berbahasa Indonesia ketika banyak band, termasuk band saya, lebih suka lirik bahasa Inggris.


Kejutan baru dari materi album baru ini? Well, ada lagu yang bernuansa indie rock, namun ada surf rocknya, ada juga yang begitu punkish dan hardcore, seperti lagu Hey, Seka Ingusmu! Macam band-band jebolan Epitaph Records atau Revelation Records, berlirik tajam yang nggak peduli with all those craps and bullshits. Enerjik.

Namun, lagu terbaik dari album ini, Bocah Cadel Lampu Merah. Seperti saya bilang Jimi dan Pandu telah menjadi duet maut dan sehati. Lirik Jimi yang saya pikir, terbaik dari dirinya selama ini, mungkin rada lebay jika harus dibandingkan dengan lirik Bang Iwan Fals, '...anak sekecil itu berkelahi dengan waktu, demi satu impian..." Tahu, kan? Saya pikir lirik Jimi ini patut diapresiasi. Dan Pandu membungkus lirik indah dan menyentuh ini dengan musik akustik yang folky. 

Ketukan Fredi, selalu bagus, dan Yanu yang menggantikan Bram, bermain efisien di album ini. Album Hey! Makan tuh Gitar! tidak mengecewakan dan patut dibeli oleh kita semua. Skena indie rock mulai bergema, nggak cuma musik metal aja.

Monday, February 25, 2013

Finally, a 7 inch Donut of Rumahsakit!

Setelah tertunda jadwal rilisnya akibat kekisruhan di bea cukai, 300 donat dari band legendaris, Rumahsakit berukuran 7 inci hadir di Indonesia. 

7" consist two songs

Teman-teman di Banyakmauuu Records, akhirnya bisa bernafas lega. Setelah sempat dipusingkan oleh urusan bea cukai sehingga jadwal rilis dan peluncuran harus ditunda beberapa kali, vinyl Rumahsakit bisa dihadirkan untuk para penikmat musik Andri Lemes cs., di tanah air.

Plat ini sangat dinantikan karena berasal dari sebuah band yang turut membumikan musik indies dan britpop di era 90-an. Dikemas apik, dan platnya berwarna putih. Dua lagu dihadirkan, Hilang dan Anomali, mewakili dua album pertama band yang para pendirinya ber-ktp kampus IKJ ini.

Saya sendiri sudah memesan donat ini via situs Norrm.com dengan link http://norrm.com/rumahsakitvinyl/ dengan nomor '79'. Serunya, hanya 100 keping yang diberi nomor seri (bebas milih nomor), kemasan gatefold, stiker set, dan frame keren; sementara 200 sisanya edisi reguler sleeve dan stiker set.

Pada tanggal 10 Maret nanti bakal ada pesta rilisan di Cafe Mondo, High Fidelity, dan akan diramaikan oleh aksi DJ Selektor yang akan memainkan koleksi mereka yang serba Indies dan Britpop tentunya. So, dont waste your time and go hurry PO, or a regret for the rest of our life!!

Monday, February 4, 2013

My Bloody Valentine - MBV

Dua dekade silam, sebuah band bernama My Bloody Valentine merilis sebuah album yang mengusik tekstur musik alternatif di era 1990-an. Dan setelah 22 tahun menghilang tanpa pesan, band ini membuka bulan Februari 2013 dengan album gress!

MBV
Tak disangka, setelah sebuah konser pemanasan di London, Kevin Shields menjawab pertanyaan penonton kapan album baru My Bloody Valentine dirilis dengan berkata akan keluar tiga hari lagi. Yah, sebuah album dari band lawas shoegaze yang menjadi inspirasi bagi begitu banyak band alternatif dan penikmat musik ini akhirnya dirilis juga!

Dan ketika akhirnya dirilis dua hari lalu, mendadak semua orang menjadi menggila. Situs resmi MBV yang didisain turut menjadi toko online vinyl, cd, dan digital download, mendadak kebanjiran order dari segala penjuru dunia, sampai-sampai situs ini rontok alias jebol!

Tak ada yang menyangka, sebuah album yang begitu dinantikan oleh para penggemarnya, harus mengalami kejadian itu. Seperti sebuah histeria massa yang uniknya terjadi di dunia maya. Media sosial riuh dengan diskusi soal album terbaru yang bertitel 'MBV', meski tak sampai trending topic di seantero jagad.

Situs MBV
Reaksi para pendengar pertama dari materi album ini beragam, mulai dari kecewa karena tak merasakan sensasi seperti saat album Loveless, sampai ada yang terharu berkaca-kaca. Komentar soal eksplorasi musik di album yang berkover dominan biru donker pun banyak terlontar, khususnya soal masuknya instrumen drum electric, dan tak terlihat tak hadir lagi sampling-sampling aneh seperti di album Loveless.

Pastinya, album ini diisi oleh beberapa materi yang sempat dibuat Kevin Shields setelah album Loveless, namun tak tuntas karena berbagai hal. Dan jika diperhatikan secara seksama, warna album ini memang masih memiliki sejarah urusan yang belum tuntas dengan album sebelumnya. Dan akhirnya tuntas juga di awal bulan Februari 2013.

Dari keseluruhan materinya, MBV menyajikan sebuah perjalanan artistik dari konsep musik mereka yang unik, dan berusia 22 tahun. Swirling sounds, fuzzy riffs, modulasi tremolo yang khas, ayunan tremolo's arm, dan synth, meronai album ini, cetak biru/template musik yang mereka ciptakan dan menjadi inspirasi bagi band-band alternatif berikutnya. Dan bagi saya, sentuhan magis dari Kevin Shields dan rekan, belumlah habis. Album ini masih tetap terdengar begitu sexy dan heavy, at the same time.

Para personil MBV di usia paruh baya
Ketika band-band shoegaze di era 2000an seperti Ringo Deathstarr, Serena Maneesh, Tamaryn, dan begitu banyak lagi, hadir dengan meracik DNA dari template musik yang disarikan dari My Bloody Valentine, saya berpikir bahwa musik seperti apa lagi yang akan diusung Kevin Shields. Sementara eksplorasi musik shoegaze sudah begitu progresif, sebut saja model band Serena Maneesh, dimana dulu saya berpikir mungkin kalau My Bloody Valentine rutin merilis album setelah Loveless, tanpa harus vakum, musik mereka akan seperti itu.

Tetapi di album MBV ini, Kevin Shields tidak seperti itu. Dia tidak terseret oleh arus musik shoegazing kontemporer, tetapi tetap dengan gaya dia sendiri. Tendensi ini mungkin bisa sedikit terendus melalui beberapa materi yang dia buat saat menangani musik dari film Lost in Translation. Tak ada sebuah perubahan drastis sebenarnya, meski materinya tetaplah keren. Toh, dia juga pionirnya dari musik shoegaze :)

Di album yang berjumlah 9 trek ini, ada beberapa materi yang saya suka seperti trek pembuka berjudul She Found Now, oh, trek ini benar-benar kerennya, begitu swirlie dan shoegazing di era Loveless. Trek berjudul New You, yang sempat ditampilkan band ini saat konser pemanasan, menjadi trek favorit saya. Semua lagu di album ini tidak ada yang membosankan atau jelek, namun saya terkesima dengan trek berjudul Nothing Is yang begitu repetitif dan trek terakhir berjudul Wonder 2 yang menampilkan komposisi efek Kevin Shields yang terdengar seperti bising deru pesawat Jumbo Jet yang tak pernah berhenti.

Penutup kata, album MBV ini punya relasi kuat dengan album Loveless. Album yang dominan berwarna merah muda itu semacam sebuah Monument dari My Bloody Valentine, dan album terbaru yang dominan warna biru donker ini adalah sebuah Statement atau pernyataan. Pernyataan bahwa mereka belum usai dan masih memiliki nyali untuk menghajar kuping kita semua. Marr

-----------------------------------------------

Pre-order Vinyl, Cd, and their digital download at: MYBLOODYVALENTINE.ORG

Sunday, January 6, 2013

Mixtape: The Comforts of Noise (Instrumentalize 90's Shoegaze)

Hempasan kebisingan dan modulasi berlapis menampar kanan kiri kuping, namun terkendali dan bernyali. Tersaji dari ketiga belas trek instrumental adiktif dari tiga belas musisi/band shoegaze di era 90-an. So cool as f#$k!  



Semuanya gara-gara demo trek Fleeting Joys untuk album ketiga mereka di Youtube.  Demo trek Fleeting Joys di Youtube menampilkan si gitaris memainkan riff shoegazing (totally MBV-ism) tanpa vokal. Saya pikir trek ini keren banget. Begitu rough dan cool disaat yang sama. Buru-buru saya mengunduh trek itu, dan langsung saja terlintas di benak, kenapa nggak sekalian mengubek materi-materi instrumental dari band shoegaze?

Pilihan saya tentu band-band shoegaze di era 1990-an. Kenapa? Bukan soal sentimentil atau nostalgia, tetapi justru di era tersebut, musik shoegaze hadir dengan eksplorasi dan orisinil. Band-band shoegaze pada saat itu memiliki semacam aura 'anti-rock', cuek dan tidak seglamor Britpop dan Rock, hal-hal sensasi yang bisa dijual tabloid gosip di Inggris. The music that celebrate itself...and that's kinda sounds cool to us, right?

Dan semingguan lah saya mengubek Youtube selepas ngantor demi mencari trek-trek instrumental. Dan akhirnya, saya bisa menemukan remah-remah materi yang ngumpet di tumpukan playlist banyak orang. Tiga belas lagu dari tiga belas band/musisi shoegaze 90-an yang bagi saya begitu keren dan patut didengarkan siapapun. Berwarna sekali suguhan musik mereka ketika itu, masing-masing dengan karakter berbeda.


(video Fleeting Joys - guitar take session in studio)

Ketiga belas lagu seperti sebuah momen jamming yang bagi saya jauh beda dan tentu bukanlah post rock yang sangat dirancang tekstur lagunya. Instrumental-nya band shoegaze kayak sebuah statement anak-anak 90's alt-slacker yang bisa menjadi semacam soundtrack. Perhatikan deh komposisi musiknya, menurut saya jauh lebih ekspresif, colorful, adiktif, bisa pula tampak indah, dan bernyali. Lebih lagi, masih ada unsur 'ngepop'-nya, nggak eksperimentalis.

Sebut saja,  lagu Grasshopper dari Ride, yang begitu agresif dan menekan. Badai distorsi fuzz, dan ketukan drum yang menggila. Trek ajib lainnya, seperti Kitchen of Distinction dengan lagu Skin. Band shoegaze asal kota London ini menampilkan komposisi petikan akustik khas klasik berbalut selimut reverb. Hasilnya, Skin terdengar begitu cantik dan teduh. Tak ketinggalan gubahan Nick McCabbe, gitaris The Verve, begitu dreamy dan ambient.

Ingin merasakan sensasi ekstasi adiktif, dengarkan juga Swirlies, band shoegaze Amerika Serikat dengan lagu Version. In Harmony Retrograde Transposition yang mereka kemas remix bersama seorang DJ, dari album ketiga mereka. Begitu pula dengan Curve yang meremix lagu Gift, menjadi sebuah lagu yang sejujurnya patut dinikmati secara ilegal namun bertanggungjawab. Dari sini terlihat banget eratnya skena musik shoegaze dengan skena rave pada saat itu. So trippy.

Mixtape ini tentu diisi oleh komposisi dua pionir shoegaze dan dreampop, Kevin Shields dengan Goodbye, dan Robin Guthrie dengan Monument. Well, masih banyak lagu lainnya di kompilasi tak resmi ini yang kudu didengar dan dirasakan feel-nya. Sekumpulan materi instrumental yang menurut saya begitu 90's dan so fuckin cool.

So, tunggu apalagi, silahkan unduh link dibawah ini, kengkawan sekalian!
The Comforts of Noise








Monday, December 24, 2012

Donat Tujuh Inci Rumahsakit

Tak berselang lama reuni dan album (kompilasi) terbarunya di awal Desember, Andri Lemes cs, kembali bersiap dengan kejutan terbaru. Bersama label yang banyak maunya, Banyak Mauu Records, Rumahsakit akan merilis vinyl 7 inch di awal tahun 2013.

poster rilis donat 7 inci rumahsakit
Dari segelintir band indie lawas tanah air yang saya harapkan bisa dirilis kembali dalam bentuk vinyl, tak lain Rumahsakit. Saya kerap lempar topik dengan teman-teman, soal band-band  apa dan rilisannya bakal seperti apa. Dan ketika bicara band Andri Lemes cs ini, semuanya setuju dan sepakat jika ada yang bisa ngomporin Rumahsakit untuk sebuah rilisan semacam itu.

Awal tahun 2012 saat saya lagi ngebantu Planetbumi di acara Jaktv, sempat bertemu dengan Andri dan si Anda Twins (atau si Andi kembarannya yah?) dan ngomongin niatan si Anda (atau Andi?) yang tertarik merilis kembali dua album Rumahsakit dalam bentuk vinyl. Tetapi yah, tak ada terdengar lagi kabarnya.

Dan akhirnya, sebuah label baru yang dirintis oleh kedua teman, Banyak Mauu Records, berhasil membujuk Rumahsakit untuk dibuatkan rilisan versi vinyl berukuran diameter tujuh inci, biasa disebut donat. Saya pikir ini adalah hal paling keren untuk menyambut reuninya kembali band britpop lokal idola ibukota Jakarta seperti Rumahsakit.

Ketika mampir di Holybazaar, Ruang Rupa, teman saya membawakan plat test pressing dan diputarkan oleh DJ AK-47. Dua lagu di donat adalah Anomali dan Hilang, dua trek yang saya pikir mewakili masing-masing kedua album legendaris dari band asal kampus IKJ ini. Eklektik dan britpop.

test pressing on my hand!
Saya jadi ingin curcol betapa Rumahsakit begitu berkesan secara pribadi, yang tentunya bakal panjang lebar dan membuat bosan. Mungkin saya simpan saja sampai dirilisnya donat itu. Bayangkan, sebuah rilisan bersejarah dari band yang jebolan skena indie lokal era 90-an yang kabarnya dilaunching di awal 2013. Donatnya indie darlingnya ibukota Jakarta, saya akan sabar menanti saatnya tiba. Comin' soon, amigos!

Thursday, December 20, 2012

R.E.M. - Monster

Photobucket
R.E.M. adalah legenda. Titik? Tentu tidak, untuk sebuah band yang telah berdiri sejak awal awal 1980-an hingga sekarang, tanpa kenal lelah, turut membidani 'lahirnya' kawanan band-band alternative di pelosok kota AS yang begitu terinspirasi oleh mereka. Keempat pria ini asal kota Athens, Georgia ini juga menandai jejak historis ketika postpunk memilih saatnya untuk keluar dari gelap temaram, dan menikmati kegairahan sinar mentari alternative rock, namun tetap D.I.Y, dan idealis.
So, pendek kata, selama dua puluh tahun itu, puluhan album telah dirilis, melewati berbagai era gejolak dan revolusi musik; mulai dari era berseminya skena american underground music, lalu Nirvana datang menampar milyaran telinga anak muda di dunia, sampai detik ini, berikut ragam kritik terbaik dan terjemukan. Buat saya sendiri, R.E.M. adalah sebuah enigma yang sangat mengasyikan dalam setiap album-albumnya. Namun, justru pada sebuah album berjudul Monster lah, dimana saya justru meresapi esensial dari band ini, bahkan bukan dari album-album terbaik mereka seperti Automatic for Life, Out of Time, dan lainnya.
Maka peristiwa membekas itu terjadi ketika di pertengahan 90'an, saat bercelana abu-abu, sebuah kaset R.E.M terpinjam dari seorang teman lama. Ketika itu memang gerombolan US alternative bands lagi jaya-jayanya di toko kaset seluruh dunia, dan album Monster mewakili masa tersebut. Album kesembilan R.E.M dirilis tahun 1994 ini merupakan album yang didisain nge-distorsi oleh band yang dihuni oleh Michael Stipe (vokalis), Peter Buck (gitaris), Mike Mills (bass), dan Bill Berry (drumer). And, hell yeah, this album trully one of a kick ass 90's alt record for me!
Aransemen lagu-lagu yang simpel, namun sangat 90's alt-ish sekali. Singel pembuka, What's the Frequency, Kenneth? menampilkan sebuah lagu folk sederhana dengan gitar distorsi fuzz yang keren. Lagu Circus Envy tampak seperti R.E.M sedang ber-grunge ria di sudut pub di kota Seattle. Sebuah lagu favorit saya berjudul Crush with Eyeliner, dimana tremolo efek berbalut fuzz distorsi, benar-benar membuat diri saya terkagum pada aransemen lagu yang simpel namun tetap enak didengar, dan alternative sound sekali. Thurston Moore turut menyumbangkan permainan gitar dan backing vokal pada lagu Crush with Eyeliner, and yeah that's a cool fact.
Lagu-lagu lainnya di album Monster ini, tentu tak berwajah monster semua. Trek-trek kontemplatif seperti Tongue, dengan perkusi serta piano organ, membuat album ini semakin asyik didengar bagi saya. Lagu Strange Currencies siap membius, seperti sebuah sekuel dari singel lawas mereka terdahulu, Everybody's Hurts. Tapi tentu saja kekuatan lirik dari Michael Stipe adalah roh dari semua album-album R.E.M., termasuk album Monster. Salah satunya, sebuah lagu berjudul Let Me In yang didedikasikan untuk sahabat Stipe, Kurt Cobain yang tewas bunuh diri beberapa bulan sebelum album ini dirilis. Kocokan gitar Buck full distorsi reverb bergema, serta lirik bervokal khas Stipe menjadi balada penuh haru dan refleksi terakhir atas Cobain yang gagal menghadapi kehidupannya yang absurd.
Album Monster memang mengangkat bagaimana kehidupan selebritas dan popularitas bak sebuah monster yang dapat menelanmu pelan-pelan secara mengerikan. Sekaligus reaksi R.E.M. atas kegilaan atas popularitas yang mereka alami, berikut contoh sempurna seorang Kurt Cobain. Toh, Cobain yang memang mengidolakan R.E.M. pernah berkata betapa Stipe cs musisi luar biasa cerdas, dan mampu mengatasi kegilaan sukses dan popularitas dengan baik sekali. Begitu kentalnya refleksi tersebut hingga album ini juga didedikasikan kepada sahabat R.E.M. yang tewas overdosis di tengah ketenarannya, seorang aktor muda sangat berbakat, River Phoenix, seperti tertulis di akhir sleeve album "For-river". Dan mereka semua itu telah tertelan pelan-pelan melalui sebuah monster, dan album ini menceritakannya kembali.
hints: pada saat R.E.M. melayat di rumah Cobain selepas pemakaman, Courtney Love memberikan gitar Fender Jagstang milik Cobain kepada Buck. Gitar ini kemudian dipakai pada sesi rekaman lagu What's the Frequency, Kenneth?, dan juga turut tampil di videoklip singel tersebut.
source: setelah satu dekade lebih sejak pertama mendengar album ini, akhirnya terbeli juga cd-nya di DU, Bandung hehehe puas pisan.
Photobucket

Wednesday, December 19, 2012

Jakarta 2013: The Stone Roses dan Weezer

Awal tahun 2013, Indonesia akan kedatangan dua band legendaris, the Stone Roses dan Weezer. Kesempatan berhaji lagi bagi para scenester lokal selepas kehadiran Morrissey.

Rasanya, 2012 dan 2013 telah dan akan menjadi dua tahun yang berkesan bagi diri saya. Dua band yang bisa didaulat sebagai panutan bagi para penggemar musik alternatif indie britpop era 90-an, yakni Weezer pada 8 Januari dan the Stone Roses pada 23 Februari. Kejutan yang tak diduga-duga!

Well, tak ada yang menyangka jika tahun 2012 Morrissey bisa beraksi di Indonesia, hal yang sama sekali terlintas di benak saya, termasuk mungkin anda. Dan tiba-tiba sang Imam Miserable-ism mengejutkan kita semua, bahkan dirinya sendiri dengan menempatkan Jakarta sebagai momen konser terbaik yang ia pernah alami selama ini setelah melihat betapa menggeloranya para penonton.

Dan kini Weezer dan the Stone Roses akan bergiliran menghibur kita semua. Weezer akan membawakan lagu-lagu dari album Biru-nya, dan the Stone Roses, well, mereka telah reuni dan apapun lagunya, kita semua akan berdansa dan bernyanyi bareng.

Dahulu, menonton band-band keren menjadi hal yang tak semua orang bisa nikmati. Saya pun sudah girang hanya dengan mendengar kisah orang-orang yang pernah menonton band idola saat mereka sekolah atau kuliah di luar negeri. Rasanya keren banget. Epik.

Dan kesempatan berhaji pun menjadi milik semua orang, duit cekak atau tajir; semua akan mendapatkan momen terindah. Sepertinya, kedua konser ini patut dihadiri, momen yang belum tentu bisa datang untuk kedualinya.






Thursday, November 29, 2012

Just For a Day, Lost in the 90's. For Real!

Kira-kira lebih dari sebulan lalu, ruang basement Cafe Mondo dan toko kelontong aneka macam vinyl, High Fidelity berubah menjadi tempat nostalgia langgam lawas di era 90-an. From Britpop till Sarahesque, and yeah, Shoegaze. 



Entah kenapa jika bicara tentang era 90-an, saya selalu bersemangat, khususnya di lanskap musik alternatifnya. Ketika itu band-band alternatif tampak begitu kerennya, seakan representasi dari the coolness of generation x, generasi era segituan, istilahnya. Gara-gara Nirvana, setiap insan remaja dan muda menikmati asupan musik dari tanah Inggris dan Amrik yang memesona, tapi juga adiktif dan 'berbahaya'. Semacam era revolusi musik kedua setelah Beatles, yang tak hanya merubah selera musik mainstream, tetapi juga gaya hidup.

Sensasi masa lalu itu seakan tak pernah putus meski sudah dua dekade. Ketika Coldplay dan The Strokes memukau dunia, diikuti barisan band-band NME dan Pitchfork bermunculan, saya malah seperti tak merasakan greget yang membuat saya menggilai band-band di era 90-an. Yah, itu memang lebih dari sudut pandang saya sendiri. Bagi saya, era 90an tampak lebih keren dan orisinil.

Nah, hal itu saya rasakan sendiri ketika membuat sebuah acara Tribute to 90's Shoegaze, 3 tahun silam. Bejibun orang datang, dan setiap muka mewakili usia dari generasinya masing-masing. Dan hal ini kejadian lagi ketika dua owner High Fidelity mengorganisir sebuah acara bernama Just For A Day, dengan menampilkan enam selektor yang memutar plat hitam favorit mereka, mulai dari era Sarah, Britpop, sampai Shoegaze. Para selektor berinisial, peterlovefuzz, fzbz, kumyka, youthee, deebank, dan bckwrds, menampilkan koleksi shoegazing yang apik, mulai dari Slowdive, Catherine Wheel, Curve, Swervedriver, Chapterhouse, hingga MBV.

Saya ingin berbagi sebuah link blog yang menampilkan pepotoan dari acara tersebut, berikut tulisan dari sang pemilik blog yang juga memotret momen-momen di acara, yang berakhir hingga jam 2 pagi. Sekitar enam jam perjalanan lintas masa lalu yang penuh kesan dan pesan. Pesan bahwa era 90-an tak akan pernah tergantikan oleh kekinian, karena memang begitu adanya, dan spesial.

So, silahkan masuki ruang blog yang beralamat di http://oxaliseveryday.wordpress.com/2012/11/09/just-for-a-day/

Pictured by Oxalis

Sunday, July 15, 2012

Planetbumi - The Worst of...

Band lawas indie ibukota ini merilis sebuah album yang sarat 'keburukan' dan juga pencarian yang belum berujung hingga saat ini. Album Planetbumi bertajuk 'The worst of...'


Planetbumi - The Worst of...


Segala keburukan. Planetbumi mempersembahkan hal tersebut pada album terbaru mereka, bertajuk 'The Worst of..', sebuah album yang tidaklah buruk. Mungkin Planetbumi hanyalah ingin bermain kata dari album terakhir mereka setelah Working Class Zero. Memperdaya? Bisa jadi, dan mungkin kepada mereka yang baru ingin berkenalan secara pribadi dengan band yang digawangi oleh Nyoman (vokal), Helmy (drum), dan Molly (basis).

Jangan berharap sebuah kumpulan materi bernafaskan Morrissey-esque, karena di album ini tak akan seperti itu. Terkaget? Tentu tak bisa disalahkan karena Planetbumi selama ini memang dikenal sejak era Poster hingga saat ini sebagai band yang sudah dipercaya sahih sebagai salah satu band tribute Morrissey/The Smiths di scene lokal, selain Generosity dan ETA (Bdg)


Sang vokalis pun, ketika saya ungkit hal ini, tak memungkiri kenyataan bahwa seperti ada sebuah 'kutukan' sebagai sebuah band tribute. Semua orang selalu menanti band ini tampil dengan repertoar klasik dari Morrissey dan The Smiths. Dan entah bagaimana, materi-materi pribadi mereka agak di-anaktiri-kan oleh mereka setiap di atas panggung, dan itu dilakukan Planetbumi demi menghargai fans mereka.

The Worst of.., album yang agak tricky dan membingungkan. Seperti sebuah album perdana, lebih tepatnya, dan ternyata hadir sebagai album penuh keempat mereka.



Planetbumi era Working Class Zero's album
Album ini seperti sebuah kanvas dengan aneka macam warna. Mosaik dari segala hal yang berkelebat sepanjang sejarah band ini. Sederhananya, sebuah parade inspirasi musik dari para personil Planetbumi. DNA tetaplah Britpop, tetapi aura yang hadir di setiap lagu berbeda-beda, mulai dari The Smiths, Shed Seven, The Stone Roses, hingga Oasis.

Materinya tak mengecewakan. Satu trek lagu berjudul Buta Mata Hati Mati, begitu The Smiths-esque, lalu For You yang indies, lalu ada juga trek lagu Berenang Tenang dan Trampolin yang jangly. Musibah Besar Menanti, well, jelas sekali Oasis menjadi salah satu inspirasi band ini, Nyoman melagukan lirik dengan suara seperti Liam Gallagher. Dan bagusnya, hasil mixing dari album ini rapi dan tight.

Dalam satu percakapan dengan Helmy, saya mendapati bahwa selama proses rekaman kurun 2 tahun, Planetbumi ternyata belumlah memiliki gitaris tetap. Saya awalnya berpikir bergabungnya Rully dari Telegraph ke band ini, akan menjadi gitaris utama mereka setelah Aroel dan Ekky pamit. Toh, di album ini ternyata Aroel pun berpartisipasi, bahkan Nyoman pun juga sumbang permainan gitar dan lagunya sendiri.

Analisa awam saya berujung pada konklusi, album ini seperti perjalanan yang tampak terlihat 'buruk' dengan tidak ada gitaris utama, sebuah posisi penting untuk musical crafting di sebuah band. Apalagi untuk sebuah album penuh. Untungnya Planetbumi tetap meracik sekumpulan materi tanpa harus terpekur memusingkan line up. Mereka memiliki teman yang siap bantu, dimana pun, kapan pun.

Pencarian mereka pun harus berlanjut. Tetapi tentu mereka harus buru-buru temukan the right dude, dan....jangan anak tirikan lagu-lagu apik di album ini setiap kali naik panggung. And that could be the worst choice. Marr

---------------------------------------
beli album terbaru mereka di toko-toko musik indie atau kontak laman facebook mereka.
http://www.reverbnation.com/planetbumiband

Tuesday, April 24, 2012

Bangkutaman - Love Among the Ruins

Sambut Record Stores Day 21 April lalu, Bangkutaman merilis ulang album debut mereka, Love Among the Ruins. Kemasan baru, sebuah album nostalgia.




Profil band asal Yogyakarta ini bisa menjadi contoh bagus perjalanan sebuah band anak indie menuju kematangan bermusik. Terkagum pada musik Madchester, khususnya The Stone Roses, Wahyu Nugroho a.k.a. Acum (vokal, basis), Justinus Irwin (gitar), dan Dedyk Iryanto (drum), mendirikan band bernama Bangkutaman satu dekade lalu. Mereka meracik lagu-lagu yang kentara sekali tersihir oleh band idola mereka saat itu, The Stone Roses, lalu menelurkan debut album bertitel Love Among The Ruins.

Respon debut album pertama mereka cukup baik. Namun perjalanan waktu mereka tiba-tiba vakum, dan muncul kembali dengan sebuah kejutan bertitel Ode Buat Kota, sebuah album yang berbeda dari debut album mereka itu. Lebih dewasa dan matang. Acum cs. berhasil mendisain kembali warna musik yang lebih orisinil dan jujur di album tersebut. Kuat dugaan, plat-plat hitam dari Bob Dylan, Velvet Underground, hingga band-band obscured lainnya di era 70-an yang dikoleksi Acum turut berandil besar dalam eksplorasi karakter musik Bangkutaman saat ini.

Love Among the Ruins, sebut saja sebagai salah satu fragmen awal dari antusiasme Acum cs. dalam bermusik. Mereka tersihir dengan lagu-lagu Ian Brown cs., dan mencoba menyadur kembali sensasi musikalitas pionir Madchester itu dalam bentuk berbeda, lagu buatan mereka sendiri. Kita masih bisa tersentil untuk mengaitkan pada lagu tertentu dari The Stone Roses pada saat mendengar Love Among The Ruins.

Yah, seperti halnya Rumahsakit di album pertamanya, yang pekat dengan warna band-band idola mereka juga, seperti The Stone Roses dan The Cure. Seperti halnya Bangkutaman, album kedua Andri Lemes cs., berubah 180 derajat, lebih ekletik (kalau menurut saya hehe). Dan itu hal yang lumrah dan wajar. Bangkutaman sendiri terbilang sukses di album Ode Buat Kota. Baik dari konsep musik dan materi-materinya, termasuk review positif dari jurnalis dan bloger tanah air. Love Among the Ruins adalah langkah bayi dari band ini, sebelum dewasa di Ode Buat Kota. Marr


---------------

LIMITED EDITION OF Love Among The Ruins. Contact @_S_R_M @satriaramadhan +62818496654