Showing posts with label Shoegaze. Show all posts
Showing posts with label Shoegaze. Show all posts

Sunday, October 23, 2016

Seaside: Ending the Undone

Satu postingan semalam di Instagram milik Seaside menyatakan bahwa band indiepop dreampop asal Jakarta ini bubar. Mewariskan Undone, album yang beautfully gorgeous.





Ketika postingan itu muncul, saya berpikir, wow, band sebagus itu bubar. Band dreampop indiepop lokal yang menurut saya paling memikat dari semua band yang pernah ada. Jika kamu pernah membeli cd album pertama mereka Undone, mungkin saja bisa setuju pendapat saya. Album yang intimate and sensual at the same time.

Dan menyadari bahwa Seaside bubar, jadi berpikir mungkin saya tak akan menemukan lagi band seperti mereka. Album Undone adalah karya yang begitu bagus dari sisi lirik dan musik. Bagi saya Andi Hans dan Stacy (vokalis album Seaside yang juga membuat lirik dan musik) seperti Johnny Marr dan Morrissey, keduanya menghasilkan chemistry yang kuat dan terlihat dari lagu-lagu di album tersebut.

Bahkan ketika Stacy keburu memutuskan mundur menjelang dirilisnya album Undone, saya tetap menyukai band ini. Namun memang menghilangnya Stacy jelas mengurangi warna Seaside yang orisinil. Saya pikir bagi mereka yang pernah menonton Seaside saat masih bernama Carnaby atau Fawnes, tentu bisa memahami maksud saya.

Merilis dan memiliki roster macam Seaside adalah satu momen terbaik bagi kami di Anoa Records. Saya masih ingat bagaimana dahulu kami memilih Seaside sebagai rilisan kedua setelah Barefood. Dahulu sebenarnya kami hendak merilis Whistler Post, band Andi Hans dan istrinya saat itu. Namun karena keburu diambil label lain.

Kemudia Hans mengajak saya dan Andri ke studio Heyfolks dimana band lainnya bernama Seaside sedang rekaman. Ketika Hans memutarkan draft lagu kepada kami di luar studio, hanya cukup 10 detik saja mendengarkan materi, kami berdua langsung 'memaksa' Andi Hans untuk membiarkan kami saja yang merilis album Undone hahaha

Seaside formasi Undone
Dan ketika kami baru menyelesaikan produksi CD dan mulai distribusi di jaringan kami, sebulan kemudian muncul kabar Stacy mundur karena urusan keluarga dan pekerjaan di luar negeri. Terpaksa Tania membantu Seaside dan Cassandra, gitaris Seaside juga menjadi vokalis dadakan.

Beberapa lama kemudian Seaside mulai memasukkan darah baru yang berbakat seperti Trisca dan kemudian Woro. Beberapa materi sudah direkam yang cukup melelahkan untuk album kedua. Beberapa kali manggung, lagu-lagu baru dimainkan dan jujur saja, materi yang bagus dan enak didengar, berbeda dengan warna album Undone, pilihan yang bijak sebenarnya.

Saya tahu cukup banyak yang menantikan album kedua mereka. Termasuk album pertama mereka yang jujur saja sudah tak ada di gudang dan banyak returan CD dan hasil titip jual yang tak lancar dari beberapa tempat.

Tapi pada akhirnya tak semudah yang dibayangkan. Saya pikir motor Seaside tetap pada Andi Hans meski ditinggal Stacy. Dan meski Hans pernah bilang kepada saya kalau dirinya beberapa waktu lalu menjadi personil adisional Seaside (entah becanda atau nggak), saya pikir ketika kehilangan partner bermusik yang sudah satu chemistry seperti Stacy, tentu akan berbeda passionnya.

Entah apa alasan sesungguhnya, tapi bagi saya Seaside jika sudah bubar, ya bubar saja. Bahkan justru lebih baik bubar, karena band yang keren adalah band yang tahu diri jika saatnya berhenti. Sepertinya halnya The Smiths, ketika Johnny Marr yang memulai dan mengakhirinya sendiri dengan cabut dan band itu bubar. Gitu aja.


Tuesday, March 4, 2014

Sharesprings - Maydear (new single)

Trapped a split with the Wellington (just another great band from Heyho Recs)

I fell in love with this single, Maydear. The best single from this band. Insanely beautiful. Charmingly heart-crushing. That's all. 

Just listen this.. Maydear

Wednesday, January 1, 2014

Whistler Post – S/T

Akhirnya band asal Jakarta ini merilis sesuatu sejak kejayaan era Myspace. Album perdana band seminal shoegaze yang menyenangkan dan alt-ish.

Whistler Post - S/T
Inilah review dari band yang telah saya tunda begitu lama diakibatkan beberapa hal. Pertama, tiba-tiba tape boombox CD saya gagal membaca CD album ini, dan hanya di track 7 dan terakhir. Kedua, saya lagi pusing sama rilisan label Anoa Records dan juga kerjaan kantoran. Dan tiba-tiba malam ini, sepuluh menit sebelum saya mengetik paragraf pertama, boombox yang aneh ini (karena hanya gagal baca CD Whistler Post, sementara CD-CD lainnya aman) mau membaca seluruh track lagu dari album mereka! Padahal saya iseng saja nyobain kali saja berhasil. “..life.”

Album perdana Whistler Post, bagi saya adalah penantian begitu lama. Masih teringat jaman era Myspace, dan menemukan laman page band ini. Langsung saya jatuh hati karena musik mereka mengingatkan kepada band-band era 90an, seperti Drop Nineteens, Ivy, Velocity Girl dan tentu saja Lush. Masih ingat dulu pernah pengen ajak band ini ikut acara Tribute to 90s Shoegaze bawain Lush, namun malah ragu-ragu gitu mereka diajakin hahaha :P

Tapi sudahlah, akhirnya hadir juga album Whistler Post yang menurut saya, sangat apik dan menyenangkan! Pasutri yang aktif di skena lokal, Andi Hans (Seaside, Pandai Besi, Cmon Lennon, etc) dan Tania (Clover), mereka menjadi songwriters dari album ini, chemistry mereka sudah terlihat sekali, bahkan saat masih fase ‘berpacaran’. Suara tipis dan khas Tania, dan kepiawaian Hans meracik tekstur musik di setiap lagu, sudah jadi jaminan mutu.

Lagu pembuka, Better Days langsung menyapa dengan kesan yang hangat. Denting piano pun menyelimuti lagu teduh seperti Like A Star. Lagu Till The End, begitu memikat dengan beat dan petikan gitar Hans yang simple dan enak di telinga. Saya berpikir album ini jika saya sempat bilang album Seaside ‘Undone’ bisa disejajarkan dengan Themilo ‘Let Me Begin’, album Whistler Post mungkin bisa disandingkan dengan album Cherry Bombshell ‘Waktu Hijau Dulu’. Itu pendapat saya.

Whistler Post
Keseluruhan album yang dirilis DFA Records ini adalah album yang memikat dan bersyukur saya sudah membelinya dua kali. Sungguh jarang lagi bisa menemukan band-band dengan sounds dan musik seperti Whistler Post ditengah selera skena lokal yang lagi asyik masyuk dengan delay dan ambient melangit meruang. Album ini segar!

Sunday, December 15, 2013

Seaside - Undone

Seaside yang hampir terkubur oleh waktu, merilis sebuah album dreampop shoegazing yang begitu intim dan manis. Memikat dan sensual.

Ketika lirik berkelindan dengan tekstur musik, sebuah lagu bisa memberikan impresi yang personal bagi pendengarnya. Hal ini tentu bukan soal mudah dan butuh pertalian kimiawi antara si pembuat lirik dan musiknya. Seperti Morrissey dan Marr, Squire dan Brown, atau Guthrie dan Fraser.

Ketika mendengar materi album Seaside, bertitel Undone, saya melihat betapa urusan meramu musik dan lirik terangkai indah oleh band ini. Kepiawaian Andi Hans dalam meracik kontur musik Seaside dan Stacy dengan lirik puitis berbahasa Inggris yang intimate and passionate. Dengar saja lagu-lagu seperti Blue Star dimana Stacy seperti bermonolog lalu berdialog dengan intim bersama Hans bersama tekstur musik lagu yang temaram.

Seaside - Undone

Jujur, saya betul-betul jatuh hati dengan band ini. Dan akan banyak puja-puji yang akan terlontar dan mungkin akan membuat orang senewen dan jengah. Sebelas materi album Undone begitu tight dan tertata dengan rapi. Hans dengan pengalaman sederetan resume terlibat banyak band, membuktikan betapa bagusnya gitaris satu anak ini. Racikan layer per layer, isian dan lick-lick dari gitarnya tampak sempurna.

Sebut saja single utama Seaside, Giggle and Blush yang manis dengan lirik yang oleh si sutradara videoklip lagu ini dianggap menyimpan kesan sensual.  Lagu Undone, adalah materi dimana saya bisa menemukan kesan kentara dari band-band dari gitaris seperti Robin Guthrie, Neil Halstead, dan Kevin Shields. Plus vokal tipis dan lirik Stacy dari setiap lagu, bagi saya, seorang pelirik lagu yang baik.

Seaside: Cassandra, Stacy, Adi, Hans, Aan

Peran para personilnya tentu tak bisa dilupakan, seperti Cassandra (gitar), Adi (bas) dan Aan (drum). Untuk sebuah band yang hampir bubar dan akhirnya bisa hidup lagi gegara Hans dan Stacy tak sengaja bertemu di sebuah mall dan sama-sama mengingatkan bahwa mereka punya urusan yang belum selesai dengan band yang dahulu dikenal dengan nama Carnaby atau Fawnes.

Sampai lagu terakhir, saya tak menemukan ada materi lagu yang lemah. Penataan urutan lagu-lagu sesuai mood terjaga dengan baik, plus ada beberapa lagu yang menyambung dengan lagu lainnya, menarik sekali. Album ini bagi saya adalah album dreampop shoegazing yang penting dan patut didengarkan.

I have to say, album Undone seperti halnya album Let Me Begin-nya Themilo. Dan band ini (mungkin akan banyak yang tak setuju, tapi ini pendapat saya), adalah proyek band terbaik yang pernah dilakoni Andi Hans. Too many words for an album like Undone, good heaven, those intimates and sweetness in all songs. I adore them!

--------------------------
The album can be bought online via www.gogs-store.com and www.anoarecs.com
IDR50.000,-

Monday, February 4, 2013

My Bloody Valentine - MBV

Dua dekade silam, sebuah band bernama My Bloody Valentine merilis sebuah album yang mengusik tekstur musik alternatif di era 1990-an. Dan setelah 22 tahun menghilang tanpa pesan, band ini membuka bulan Februari 2013 dengan album gress!

MBV
Tak disangka, setelah sebuah konser pemanasan di London, Kevin Shields menjawab pertanyaan penonton kapan album baru My Bloody Valentine dirilis dengan berkata akan keluar tiga hari lagi. Yah, sebuah album dari band lawas shoegaze yang menjadi inspirasi bagi begitu banyak band alternatif dan penikmat musik ini akhirnya dirilis juga!

Dan ketika akhirnya dirilis dua hari lalu, mendadak semua orang menjadi menggila. Situs resmi MBV yang didisain turut menjadi toko online vinyl, cd, dan digital download, mendadak kebanjiran order dari segala penjuru dunia, sampai-sampai situs ini rontok alias jebol!

Tak ada yang menyangka, sebuah album yang begitu dinantikan oleh para penggemarnya, harus mengalami kejadian itu. Seperti sebuah histeria massa yang uniknya terjadi di dunia maya. Media sosial riuh dengan diskusi soal album terbaru yang bertitel 'MBV', meski tak sampai trending topic di seantero jagad.

Situs MBV
Reaksi para pendengar pertama dari materi album ini beragam, mulai dari kecewa karena tak merasakan sensasi seperti saat album Loveless, sampai ada yang terharu berkaca-kaca. Komentar soal eksplorasi musik di album yang berkover dominan biru donker pun banyak terlontar, khususnya soal masuknya instrumen drum electric, dan tak terlihat tak hadir lagi sampling-sampling aneh seperti di album Loveless.

Pastinya, album ini diisi oleh beberapa materi yang sempat dibuat Kevin Shields setelah album Loveless, namun tak tuntas karena berbagai hal. Dan jika diperhatikan secara seksama, warna album ini memang masih memiliki sejarah urusan yang belum tuntas dengan album sebelumnya. Dan akhirnya tuntas juga di awal bulan Februari 2013.

Dari keseluruhan materinya, MBV menyajikan sebuah perjalanan artistik dari konsep musik mereka yang unik, dan berusia 22 tahun. Swirling sounds, fuzzy riffs, modulasi tremolo yang khas, ayunan tremolo's arm, dan synth, meronai album ini, cetak biru/template musik yang mereka ciptakan dan menjadi inspirasi bagi band-band alternatif berikutnya. Dan bagi saya, sentuhan magis dari Kevin Shields dan rekan, belumlah habis. Album ini masih tetap terdengar begitu sexy dan heavy, at the same time.

Para personil MBV di usia paruh baya
Ketika band-band shoegaze di era 2000an seperti Ringo Deathstarr, Serena Maneesh, Tamaryn, dan begitu banyak lagi, hadir dengan meracik DNA dari template musik yang disarikan dari My Bloody Valentine, saya berpikir bahwa musik seperti apa lagi yang akan diusung Kevin Shields. Sementara eksplorasi musik shoegaze sudah begitu progresif, sebut saja model band Serena Maneesh, dimana dulu saya berpikir mungkin kalau My Bloody Valentine rutin merilis album setelah Loveless, tanpa harus vakum, musik mereka akan seperti itu.

Tetapi di album MBV ini, Kevin Shields tidak seperti itu. Dia tidak terseret oleh arus musik shoegazing kontemporer, tetapi tetap dengan gaya dia sendiri. Tendensi ini mungkin bisa sedikit terendus melalui beberapa materi yang dia buat saat menangani musik dari film Lost in Translation. Tak ada sebuah perubahan drastis sebenarnya, meski materinya tetaplah keren. Toh, dia juga pionirnya dari musik shoegaze :)

Di album yang berjumlah 9 trek ini, ada beberapa materi yang saya suka seperti trek pembuka berjudul She Found Now, oh, trek ini benar-benar kerennya, begitu swirlie dan shoegazing di era Loveless. Trek berjudul New You, yang sempat ditampilkan band ini saat konser pemanasan, menjadi trek favorit saya. Semua lagu di album ini tidak ada yang membosankan atau jelek, namun saya terkesima dengan trek berjudul Nothing Is yang begitu repetitif dan trek terakhir berjudul Wonder 2 yang menampilkan komposisi efek Kevin Shields yang terdengar seperti bising deru pesawat Jumbo Jet yang tak pernah berhenti.

Penutup kata, album MBV ini punya relasi kuat dengan album Loveless. Album yang dominan berwarna merah muda itu semacam sebuah Monument dari My Bloody Valentine, dan album terbaru yang dominan warna biru donker ini adalah sebuah Statement atau pernyataan. Pernyataan bahwa mereka belum usai dan masih memiliki nyali untuk menghajar kuping kita semua. Marr

-----------------------------------------------

Pre-order Vinyl, Cd, and their digital download at: MYBLOODYVALENTINE.ORG

Sunday, January 6, 2013

Mixtape: The Comforts of Noise (Instrumentalize 90's Shoegaze)

Hempasan kebisingan dan modulasi berlapis menampar kanan kiri kuping, namun terkendali dan bernyali. Tersaji dari ketiga belas trek instrumental adiktif dari tiga belas musisi/band shoegaze di era 90-an. So cool as f#$k!  



Semuanya gara-gara demo trek Fleeting Joys untuk album ketiga mereka di Youtube.  Demo trek Fleeting Joys di Youtube menampilkan si gitaris memainkan riff shoegazing (totally MBV-ism) tanpa vokal. Saya pikir trek ini keren banget. Begitu rough dan cool disaat yang sama. Buru-buru saya mengunduh trek itu, dan langsung saja terlintas di benak, kenapa nggak sekalian mengubek materi-materi instrumental dari band shoegaze?

Pilihan saya tentu band-band shoegaze di era 1990-an. Kenapa? Bukan soal sentimentil atau nostalgia, tetapi justru di era tersebut, musik shoegaze hadir dengan eksplorasi dan orisinil. Band-band shoegaze pada saat itu memiliki semacam aura 'anti-rock', cuek dan tidak seglamor Britpop dan Rock, hal-hal sensasi yang bisa dijual tabloid gosip di Inggris. The music that celebrate itself...and that's kinda sounds cool to us, right?

Dan semingguan lah saya mengubek Youtube selepas ngantor demi mencari trek-trek instrumental. Dan akhirnya, saya bisa menemukan remah-remah materi yang ngumpet di tumpukan playlist banyak orang. Tiga belas lagu dari tiga belas band/musisi shoegaze 90-an yang bagi saya begitu keren dan patut didengarkan siapapun. Berwarna sekali suguhan musik mereka ketika itu, masing-masing dengan karakter berbeda.


(video Fleeting Joys - guitar take session in studio)

Ketiga belas lagu seperti sebuah momen jamming yang bagi saya jauh beda dan tentu bukanlah post rock yang sangat dirancang tekstur lagunya. Instrumental-nya band shoegaze kayak sebuah statement anak-anak 90's alt-slacker yang bisa menjadi semacam soundtrack. Perhatikan deh komposisi musiknya, menurut saya jauh lebih ekspresif, colorful, adiktif, bisa pula tampak indah, dan bernyali. Lebih lagi, masih ada unsur 'ngepop'-nya, nggak eksperimentalis.

Sebut saja,  lagu Grasshopper dari Ride, yang begitu agresif dan menekan. Badai distorsi fuzz, dan ketukan drum yang menggila. Trek ajib lainnya, seperti Kitchen of Distinction dengan lagu Skin. Band shoegaze asal kota London ini menampilkan komposisi petikan akustik khas klasik berbalut selimut reverb. Hasilnya, Skin terdengar begitu cantik dan teduh. Tak ketinggalan gubahan Nick McCabbe, gitaris The Verve, begitu dreamy dan ambient.

Ingin merasakan sensasi ekstasi adiktif, dengarkan juga Swirlies, band shoegaze Amerika Serikat dengan lagu Version. In Harmony Retrograde Transposition yang mereka kemas remix bersama seorang DJ, dari album ketiga mereka. Begitu pula dengan Curve yang meremix lagu Gift, menjadi sebuah lagu yang sejujurnya patut dinikmati secara ilegal namun bertanggungjawab. Dari sini terlihat banget eratnya skena musik shoegaze dengan skena rave pada saat itu. So trippy.

Mixtape ini tentu diisi oleh komposisi dua pionir shoegaze dan dreampop, Kevin Shields dengan Goodbye, dan Robin Guthrie dengan Monument. Well, masih banyak lagu lainnya di kompilasi tak resmi ini yang kudu didengar dan dirasakan feel-nya. Sekumpulan materi instrumental yang menurut saya begitu 90's dan so fuckin cool.

So, tunggu apalagi, silahkan unduh link dibawah ini, kengkawan sekalian!
The Comforts of Noise








Sunday, November 20, 2011

Noises By Gap - Sonic Sun

Umurnya hanya 18 tahun. Namun ajal terlalu cepat menjemputnya sebelum skena lokal mengenal lusinan lagu-lagu eklektik folk shoegaze memikat dan imajinatif yang tersimpan di laptopnya. Ia bernama Gendra Aldyasa Pasaman (1992-2010).

Sungguh, saya tak menyangka kalau penggubah album Sonic Sun, ternyata satu orang yaitu Gendra Aldyasa Pasaman, dengan memakai nama Noises By Gap. Ketika album itu muncul di etalase Aksara, saya sudah penasaran seperti apa sosok band ini ketika berada di atas panggung. Sampai sebuah artikel dari Rolling Stones yang berjudul Haru Biru di Peluncuran Album Sonic Sun Milik Noises by Gap, mengejutkan saya dengan kematian Gendra sebelum album ini dirilis!

Dirilisnya album Sonic Sun, pun tak lepas dari peran dua personil Agrikulture, Anton dan Hogi Wirjono. Ketika diwawancarai RSI, mereka menemukan materi-materi Gendra ketika sedang melihat isi laptopnya. Sekumpulan musik bernuansa shoegaze langsung memikat mereka. Anton dan Hogi segera menyambangi Iyub, produser dan otak Santamonica, untuk melakukan proses mixing dan mastering ulang.


Noises by Gap - Sonic Sun

Materi-materi mentah hasil polesan Iyub pun tersaji di album ini. Gendra meracik kesan akustik folk, eklektik, electronic, dan shoegazing terkini dengan apik. Terasa sekali pengaruh band-band shoegazing era 90-an seperti The Verve (album Storm in Heaven), Spoonfed Hybrid, Pale Saints, ataupun My Bloody Valentine. Dan Gendra melakukan semua isian dari seluruh materi seorang diri dengan sistem home recording hanya menggunakan gitar dan sebuah software musik.

On My Way, menjadi salam pembuka instrumental album Sonic Sun yang kentara sekali kesan space rock, dreampop, dan shoegazing. Lagu berikutnya, Sonic Gaze secara perlahan menerpa dengan gelombang gitar akustik, berselimutkan fuzz dan reverb penuh adiksi. Superstar menjadi lagu ketiga yang sejuk. Kabarnya telah dibuatkan videoklipnya, Gendra meracik gitar akustik lagu ini disandingkan dengan nuansa tremolo fuzz, menambah pekat atsmosfir lagu.

Alm. Gendra Aldyasa Pasaman
Beberapa lagu lainnya di album ini yang juga patut diperhatikan, sebut saja  zzz, sebuah materi yang dimana Gendra bermain-main dengan loop dan synthesizer. Folk akustik yang begitu pekat, tampak juga di lagu One More, mengingatkan keteduhan slowcore a la Red House Painters. Lalu, The Moon is Your Friend, membuai sebagai penutup jendela imajinasi Gendra yang begitu liar. Album Sonic Sun oleh Noises by Gap, bisa saya sebut sebagai album shoegaze lokal yang detail, unik, dan artistik.

Terjatuh dari lantai 15 sebuah apartemen di daerah Jakarta Selatan, tak pelak akhir tragis dari remaja ini. Mungkin segetir kisah para musisi muda cerdas yang keburu tewas sebelum albumnya dipuji orang banyak, seperti Andrew Wood dari Mother Love Bone. Namun album Sonic Sun yang dikerjakan selama 6 bulan semasa hidupnya, bisa menjadi awal yang bagus untuk bercengkerama dengan keliaran imajinasi dan musikalitas Gendra yang harus berhenti selamanya. (Marr)

star Pictures, Images and Photosstar Pictures, Images and Photosstar Pictures, Images and Photosstar Pictures, Images and Photos

Album Sonic Sun, bisa dibeli di toko musik khusus seperti Aksara dan sejenisnya. IDR45.000. 

Check his songs, online streaming at http://noisesbygap.bandcamp.com/album/sonic-sun

Friday, September 2, 2011

Catherine Wheel - Ferment


Salah satu band yang berangkat dari era shoegazing 90-an yang hanya berusia pendek di Inggris. Catherine Wheel menjadi salah satu band shoegaze yang berhasil memperpanjang usia dengan album-album yang beda rupa. Berasal dari wilayah timur Inggris, band ini merilis sebuah debut klasik berjudul Ferment dibawah label Fontana.

Seperti band-band shoegaze lainnya, Catherine Wheel yang didirikan pada tahun 1990 oleh Rob Dickinson (vokal, gitar), Brian Futter (gitar), Neil Sims (drum), dan Dave Hawes (bas) ini mengedepankan kebisingan yang rapi dari perangkat pedal dengan membayangi vokalisasi Rob pada lagu-lagu mereka. Namun mereka lebih beruntung ketimbang para kompatriot shoegaze lainnya. Album debut mereka diterima baik di negeri Paman Sam, dimana single utama Black Metallic berhasil menduduki nomor sembilan di tangga lagu Billboard Modern Rock. Lagu lainnya, I Want to Touch You juga memperoleh apresiasi yang sama di AS.

Ferment memang ditangani oleh orang yang tepat. Kagum dengan Talk-Talk, Rob dan lainnya mengajak Tim Friese-Greene, anggota tak resmi sekaligus kibordis dan songwriter beberapa lagu Talk-Talk untuk menjadi produser album debut mereka. Dan Tim berhasil memoles materi album Ferment dengan memadukan musikalitas para personil Catherine Wheel dengan apik, saling mengisi dan tidak saling mendominasi.

Beberapa materi keren dari Ferment, misalnya lagu pembuka berjudul Texture. Kebisingan yang harmonis antara Rob dan Futter melalui gitar mereka, menjadi salam pembuka yang hangat. Vokal Rob yang halus, merasuki materi ini dengan penuh perasaan dan emosional. Shallow menjadi salah satu materi yang liar dengan petikan Futter yang hidup dan groovy, dibungkus kebisingan yang apik. Lagu Indigo is Blue, saat dimana Futter dan Rob, leluasa mengolah perangkat pedal mereka dengan manis sesuai karakter lagu tersebut, tanpa berlebihan.

Dua lagu bonus, Salt dan Balloon, menjadi pengakhir menyenangkan dari Rob cs. Catherine Wheel berhasil memfermentasikan sebuah debut album yang mengesankan, khususnya bagi penikmat shoegaze dan british sounds. Marr

..Catherine Wheel's debut spins their dense guitar web around a core of solid melodies and airy vocals..
Audio Magazine (19921101)

Get the Link!
Buy It!

Wednesday, June 15, 2011

Curve - Pubic Fruit


















Buah rambutan ada di kover album? Well, ternyata itu terjadi dan tampil di kover album band shoegaze UK bernama Curve. Entah apa alasan band ini dengan memasang gambar rambutan atau pubic fruit di gambar kover album mereka. Apakah mereka penyuka buah mungil berambut ini, atau sekadar takjub dengan rupa buah yang bernama ilmiah Nephelium lappaceum?

Tentunya, seperti buah rambutan, khususnya jenis cipelat, Curve yang juga salah satu band shoegaze di daratan UK pada era 90-an, termasuk favorit saya. Daya tarik dari Curve, adalah cita rasa unik daripada band-band shoegaze lainnya. Band ini menyajikan shoegaze yang tetap bermahzab swirling airy sounds dari gitar dan efek, diramu bersama sensaasi funk, electronic, sedikit gotik, dan beberapa pil ekstasi dari musik rave. Suara seksi vokalis perempuan menjadi sensasi candu menggairahkan dari Curve, dan itu bukan gombalan belaka dari saya.

Band ini diotaki oleh dua orang yaitu, Toni Halliday (vokal) dan Dean Garcia (basis, gitar, programer). Latar belakang Garcia yang mantan additional player dan juga pengisi materi di dua album band  Eurythmics. Tak heran musik Curve juga berangkat dari musik yang rada dance tracks. Kedua orang ini yang sempat menjadi kekasih (fenomena cinta yang juga dilakoni MBV dan Cocteau Twins), dibantu oleh Debbie Smith (gitaris dan personil Echobelly), Alex Mitchell (gitaris), dan Steve Monti (drumer Jesus and Mary Chain).

Sebelum rilisan album perdana mereka, Doppelganger, Curve telah lebih dulu melempar tiga album EP berjudul Blindfold, Frozen, dan Cherry. Album Pubic Fruit adalah merupakan kompilasi dari semua lagu dari ketiga album EP tersebut. Bagi saya, album ini betul-betul memiliki sesuatu yang berbeda dari album shoegaze lainnya.

Vokal seksi Toni dan lanskap musik dari Garcia menjadi urat nadi Pubic Fruit. Sebut saja lagu pertama berjudul Ten Little Girls dari EP Blindfold, man! sangat danceable sekaligus headbanging, plus loop dan sampling Garcia yang asyik diselingi ocehan seorang rapper.

Lagu lainnya yang saya sukai, Blindfold. Tampak ethereal, rave, dan shoegazing in the same time. No Escape From Heaven, menyusul dengan beat yang lebih cepat dan keren. Kuncinya tak lain sampling gitar yang ajib, dan drum Monti yang konstan, ditemani permainan bass dan racikan sampling Garcia.

Coast is Clear, termasuk lagu yang juga saya sukai. Suguhan utama adalah vokal Toni yang begitu merdu nan seksi, plus drum loop, sampling dan riff gitar yang ekletik. Hal ini juga ditemui pada lagu seperti The Colour is Hurt, Clipped, dan Frozen.

Salah satu lagu paling seru di album ini, adalah Galaxy. Bagi yang pernah menonton film Mysterious Skins, pasti akan ngeh dengan Galaxy yang juga masuk soundtrack film tersebut. Layak didengar ketika anda berada di tengah jalan tol, dengan jendela terbuka, ketika mengendarai mobil Mustang atau sejenisnya.

Cherry, menjadi lagu pembunuh dari semua trek di album ini. Suara halus bergairah Toni, mengawali lagu yang perlahan-lahan dihampiri oleh hempasan reverb dan fuzz dari berbagai arah, namun dengan arus yang tenang menghanyutkan. Sampling dan drum loop mengisi setiap riak-riak dari hempasan tersebut. Naik dan turun, tak terduga.

Lagu penutup Fait Accompli, akhirnya memastikan akhir dari album bergambar rambutan penuh citarasa ini. Dan saya membayangkan betapa Pubic Fruit pun ternyata bisa begitu menggairahkan, selain manis rasanya. Marr

Toni Halliday dan Dean Garcia
Highly Recommended - ...an endless stream of thirsty underground synth-warp, spiraling like DNA and stamping out rhythm like an army wearing Doc Martens....Where Hendrix ricocheted sound from ear to ear of the headphones, Curve lets it drift back and forth, almost aimless...
Spin  (19930101)


Get The Link!

Sunday, June 12, 2011

Free MP3 by Mellonyellow on Their First EP, Milk Calcium!


Sudah lama saya berandai, mau nggak yah, band shoegaze lokal  favorit saya di ibukota Jakarta, Mellonyellow, mengijinkan saya untuk menampilkan share link dari album mini perdana mereka, Milk Calcium, di blog ini. Alasannya, tak hanya karena materi mereka keren dan seru, tetapi juga untuk memperkenalkan band ini kepada mereka yang mungkin belum sempat mendengar musik mereka.

 Untunglah, personil drum MY, Tyo, mempersilahkan saya untuk memperkaya koleksi MP3 di blog ini dengan karya mereka yang hanya dirilis 100 kopi, yang tak aneh langsung ludes. Secara singkat, seperti pernah diulas di blog ini, Milk Calcium adalah hal terbaik yang hadir di skena shoegaze ibukota setelah Sugarstar, menurut saya loh. Materinya mengesankan dan sangat 90's, tidak harus berlebihan menghiasi musik mereka dengan efek-efek agar terlihat intelek. Hasilnya, sebuah album mini dengan empat lagu yang cool as fuck! Penasaran? Unduh link dibawah ini, A.S.A.P.


ps: ingin detail review album mereka, bisa cek melalui pranala link label 'shoegaze' di blog ini

Get The Link!

Friday, April 1, 2011

Themilo - Photograph















Tujuh tahun pastinya rentang tahun tergetir bagi Themilo. Tujuh tahun yang hampa akan kelanjutan dari album perdana mereka, Let Me Begin (2002). Bayangkan, pertama, materi mentah mereka yang telah disemai sejak tahun 2004 justru bocor di berbagai situs dan forum berbagi, jauh sebelum album kedua diluncurkan dalam polesan final. Kedua, setelah kebocoran tersebut, hard disk tempat penyimpanan data rekaman album tersebut jebol dan hanya sedikit sekali yang bisa diselamatkan.

Tak terbayang di benak mereka kalau deraan cobaan itu menjadi hikmah tersendiri di kemudian hari. Atensi para loyalis mereka dan undangan acara musik ternyata tak menghilang sama sekali.

Album kedua mereka yang diberi tajuk Photograph, tak akan bisa lahir jika tak ada passion dari masing-masing personilnya. Mereka bisa saja memilih vakum dan tenggelam dalam rutinitas kantor untuk mengubur kekecewaan, lalu muncul kembali di saat tak terduga. Syukur, mereka tidak sampai sebegitu galaunya.

Photograph memotret 8 materi lagu, yang mayoritas sudah lebih dulu bergentayangan di  internet dan memenuhi hard disk para pendengarnya, termasuk saya. Luckily, Themilo menyisipkan sebuah single menawan yang untungnya tidak ikutan bocor, yakni Daun dan Ranting di Surga.

Dua poin lebih dari album ini, tak lain kita bisa menikmati polesan sempurna dari setiap materi lagu yang jauh lebih menarik dan kaya nuansa ketimbang bocoran materi mentah mereka di internet. Kepiawaian Themilo dalam penyusunan lagu-lagu yang begitu apik patut diancungi jempol. Karakter musik album ini yang lebih atmospheric, kontemplatif, dan meruang, agak berbeda dengan album pertama mereka yang dinamis. Kejutan lain, Themilo menemukan dua penyanyi latar yang begitu unik dan berkarakter, untuk beberapa lagu mereka, menggantikan latar vokal sebelumnya pada materi bocoran sebelumnya disuarakan oleh Weeds.

Dibuka dengan materi instrumental berjudul Stethoscope yang megah dibalut distorsi reverb, seperti pintu masuk sempurna untuk memasuki ruang imajinasi para personil themilo, terdiri dari Ajie (vokal, gitar), Upik (gitar), Suki (bass), Unyil (kibor), dan Budi (drum). Beberapa lagu yang dikenal menjadi favorit klasik para loyalis Themilo, seperti For All The Dreams That Wings Could Fly, So Regret, atau Dreams, turut menghanyutkan dengan kejernihan musik mereka. Materi album ini dibungkus oleh kualitas mixing yang bagus.

Lagu penutup, Apart, menjadi epilog syahdu, seakan Themilo sedikit memelankan diri sejenak dari derap musik mereka yang telah dirintis hampir 9 tahun lamanya. Album ini pun memuaskan asa para personilnya dengan cara yang tak harus luar biasa, tetapi lebih intim dan pribadi. Begitu pula dengan para perindu mereka. Marr



star Pictures, Images and Photosstar Pictures, Images and Photosstar Pictures, Images and Photosstar Pictures, Images and Photos 

Rolling Stones -3/11- "Delapan komposisi dalam konsep musik dingin dan misterius" -- 3 stars



Sunday, January 2, 2011

Mellonyellow - Never Own You EP


















The coolest thing of hearing 90's shoegaze bands (i.e. Ride, MBV, Lush, or Adorable) isn't just about knowing how bigger the pedalboard effects or how superbly complicated of the songs structure, no no, but the passion of the bands created songs.  

Sesuka hati dan lepas. Esensi itu selalu saya yakini, dan itu begitu dirasakan tiap kali melihat aksi band shoegaze ibukota, Mellonyellow. Ep terbaru mereka berjudul self titled betul-betul menyenangkan hati saya. Selepas EP pertama mereka berjudul Milk Calcium, suguhan terbaru mereka begitu seru dan hangat di telinga saya. Dua lagu berjudul Never Own You dan The Day of Negro semakin menegaskan bahwa band ini patut diperhatikan secara seksama. Sungguh saya jarang sekali melihat band ini diliput secara detail, dan terkesan underrated.

Pada EP ini, saya menilai Mellonyellow menampilkan sosok yang sedikit berbeda dibanding EP pertama mereka. Dibanding EP Milk Calcium, EP terbaru mereka tampak lebih ringan dan mudah diakses bagi mereka yang belum awam dengan band ini. Terutama lagu Never Own You yang bisa membuat para pendengar pertama band ini akan bersedia menyediakan waktu untuk mampir di setiap gigs Mellonyellow. Tekstur lagunya pun lebih poppy dan catchy. Pada lagu selanjutnya, the Day of Negro, well, saya seperti menyimak pengaruh-pengaruh band 90's shoegaze yang telah membius selera musik mereka. But, it still a cool track, no bullshit.

Sekadar info, formasi band ini tinggal berempat, yaitu Bagus (vokal, gitar), Bintang (gitar), Tyo (drum), dan Gita (kibor). EP ini sendiri bisa dipesan melalu page facebook atau myspace mereka, limited edition oleh Heyho Records! So, buruan kejar dan jangan sampai kehabisan, guys! Marr

star Pictures, Images and Photosstar Pictures, Images and Photosstar Pictures, Images and Photosstar Pictures, Images and Photos
buy their cd's by contact Ridho Syahrir  at +62 (021) 93795370 , 085691996434 only for IDR15.000!!

Wednesday, August 18, 2010

At Last! Themilo with Photograph Album Will Release Soon!

(Photo: Aku Congi-kaskus.com)
Akhirnya oh akhirnya.. setelah tertunda begitu lama, album Photograph yang sudah kadung 'leaked' di jagad maya bakal dirilis resmi dalam bentuk fisik cakram (cd) untuk memuaskan para pecinta Themilo di tanah air, dan lintas batas internasional.

Berikut pengumuman resmi band Themilo dari situs resmi mereka, http://themiloband.com/

Photograph Album Akan Segera Beredar!

Diterpa gosip atau berita-berita miring bahwa Themilo mengalami saat vakum dimentahkan oleh berita yang ada dibawah ini.
Setelah dalam penantian yang lama, para penikmat musik Themilo dapat menikmati album penuh kedua yang diberi judul Photograph tidak akan lama lagi. Album itu sendiri akan dirilis dalam format CD. Memang hal-hal teknis terjadi selama pengerjaan album Photograph dan itulah yang menjadi kendala mengapa album ini lama sekali untuk dirilis.
Sebelum rilisan album Photograph itu keluar, Themilo akan mengeluarkan single lagu yang akan disiarkan oleh radio-radio kesayangan anda pada tanggal 23 Agustus 2010.
Semoga saja ini semua dapat memuaskan anda.

Cheers!

Tidakkah berita ini sungguh begitu indah ditengah bulan Ramadhan ini!? Marr

Wednesday, December 23, 2009

Mellon Yellow - Milk Calcium EP

Photobucket
Satu hal kenapa saya selalu bilang bahwa the real essence of shoegaze genre was the 90’s era, adalah karena only on that period lived dozens of bands with sophisticated sounds and music. Band-band seperti MBV, Ride, Moose, Catherine Wheel, Boo Radleys, Swervedriver, dan masih banyak lagi, mempersembahkan kejeniusan mereka dalam khasanah kultur musik alternatif 90’s. Lagu-lagu mereka seperti sebuah anomali pakem musik indie di Inggris pada era 90-an.
Anggapan yang kerap beredar saat ini ketika shoegaze diterjemahkan sebagai gudangnya band-band ethereal, berdelay ria ala Cocteau Twins atau Slowdive, bernuansa galau ala Sigur Ros, dan sebagainya. Well, shoegaze lebih dari sekadar hal-hal diatas.
Shoegaze adalah a passion, hasrat, seperti yang dialami para anak-anak muda di era 90’s yang terbenam dengan band-band seperti Nirvana, Sonic Youth atau Jesus and Mary Chain. Ia bukanlah musik kontemplatif seperti post rock. It’s totally an alternative music, man! It will drives you for a stagediving or just jumpin around when you’re on a show. Singing along and screamin for more.
Rasanya hal-hal ini akan segera ditawarkan oleh Mellon Yellow melalui rilisan EP pertama mereka berjudul Milk Calcium. Betul-betul sebuah EP yang sangat menarik sekali. It’s soooo 90’s, they capture it really bloody fukkin cool. I mean, hearing this EP, its like transport you for a time travel into days where Bilinda Buthcer fell in love with Kevin Shields! Yes guys, keempat lagu yang ada di EP ini memang berkiblat kepada warna shoegaze di era 90’s.
Terkadang ada band yang mirip seratus persen dengan sebuah band tertentu, tapi di EP Milk Calcium, saya tak bisa menemui sebuah kemiripan pada band tertentu. Jangan keburu berasumsi karena nama band ini dari sebuah lagu Slowdive lalu berpikir bakal serupa. Ngedengerin album mini ini bakal diajak bertamasya pada band-band spesial yang mempengaruhi mereka. Sebut saja, Catherine Wheel, Boo Radleys, Drop Nineteens, Ride, Moose, hingga MBV.
Keempat track di EP yakni The Longest Yard, Less Turtle in the Day, Milk Calcium, dan Kevin. Kesan pertama, hasil rekaman yang sangat tight dan rapi. Keempat materi lagu dari mereka pun atraktif dan bisa menjadi pengantar yang sempurna bagi yang ingin mencicipi seperti apa sensasi shoegaze era 90’s. Dari keempat lagu, ada dua materi yang bikin saya betul-betul kesengsem dengan EP ini, yakni the Longest Yard dan Milk Calcium.
Untuk the Longest Yard, mungkin bisa dilihat review saya di posting sebelumnya tentang satu lagu teaser EP mereka di blog ini. Khusus untuk Milk Calcium, (dimana saya saat menulis lagi mendengarkannya) betul-betul lagu yang bener-bener ajib! It got the 90’s spirit, begitu alternatif sekali dan pastinya bisa bikin para penonton berjingkrak, stagediving, dan tentunya headbanging just like in the ol’ time. Saya seperti diajak ngintip bagaimana Rob Dickinson dan gengnya di Catherine Wheel, aksi Sice masih berambut bersama Boo Radleys, Adam Franklin masih gimbal dengan Swervedriver hingga melihat Noel Gallagher bersama Oasis. Tentunya ini imajinasi saya saja ketika mendengarkan lagu ini.
Sementara itu, di dua lagu lainnya, Less Turtle in The Day, dan Kevin, juga kuat dari musik dan songwriting. Karakter shoegaze gelombang kedua yang digebrak melalui album Loveless-nya MBV bener-bener kentara dan kental sekali. Racikannya pun asyik dan penuh layers guitar driven dari ketiga gitaris Mellon Yellow tampaknya bisa berkomunikasi dengan baik melalui persenjataan efek mereka masing-masing.

Hanya saja, setelah rembugan dengan mr. The Drowner tentang album mereka, tentu ada hal-hal yang patut dikritisi. Khususnya pada wilayah perkusi alias drum dan bass yang terkesan kok terlalu main safe atau nurut banget. Lebih khusus kepada wilayah drum, entah apa karena kondisi take di studio atau apa, drumnya terlalu biasa saja. Padahal seharusnya bisa lebih eksploratif dan berwarna, jika mengambil contoh bagaimana liarnya Loz Colbert di album-album shoegaze Ride atau Colm O'coisog yang meski sederhana tetapi rusuh banget. Pada wilayah bass pun justru tak banyak dinamisasi yang bikin lagu-lagu di EP ini menjadi penuh tekstur dan berwarna. Harapan kami jika ini dianggap sebagai sebuah singel, maka untuk proses pengerjaan album penuh harus diperhatikan kedua hal ini. Istilahnya, shoegaze itu juga haruslah bermain penuh resiko dan tidak selalu harus bermain di wilayah aman saja.

Pastinya band ini bakal menjadi sebuah sampel pergerakan band-band shoegaze di Jakarta yang menampilkan alternatif yang spesial kepada ranah scene lokal. Lebih fuzzier dan colorful. The best thing happen from Jakarta bisa saja terjadi since Sugarstar! Trust me, dudes! Overall, this album really amazed me, in a fukkin good way! Marr


Photobucket

star Pictures, Images and Photosstar Pictures, Images and Photosstar Pictures, Images and Photosstar Pictures, Images and Photos
buy their cd's by contact Ridho Syahrir  at +62 (021) 93795370 , 085691996434 only for IDR15.000!!







Thursday, November 19, 2009

The Longest Yard - Mellon Yellow (their first single from the upcoming EP, Milk Calcium)

Photobucket

Ketika saya sedang menulis review ini, lagu berjudul The Longest Yard ini berputar terus-menerus di playlist komputer kantor dimana saya bekerja. Sejam lalu, saya dikirim link mp3 plus review dari dede-wastedrockers mengenai band bernama MellonYellow ini, dan i totally agree with dede's article.

Band asal Jakarta ini memainkan musik shoegaze yang sebenarnya shoegaze, bukan sekadar harus ber-delay, reverb, dan sebagainya, serba nunduk kepala tetapi minim pemahaman atas roots musik shoegaze. Dan Mellon Yellow tidak seperti itu, mereka justru tahu benar cara untuk merasakan esensi shoegaze adalah membenamkan diri pada playlist-playlist usang dari genre shoegaze dari era 1990-an, karena itulah shoegaze yang sebenarnya.

Saya sendiri lumayan kenal lama dengan band ini. Pernah bersama di Tribute to Shoegaze, dan saya bisa pastikan mereka punya nyali dan hasrat. Mereka nekat memainkan lagu-lagu Moose di acara tersebut dimana mungkin hanya segelintir orang yang tahu band generasi awal shoegaze di Britannia ini. Dan hasilnya, 400 lebih orang di acara tersebut harus dipaksa berkenalan kepada warisan Moose terhadap genre shoegaze.

Lagu terbaru mereka untuk EP Milk Calcium adalah sebuah titik awal dari bangkitnya band-band shoegaze di tanah air yang ingin menampilkan shoegaze yang sejati. Saya mungkin terlalu subyektif, namun itu benar adanya. Ditengah keabnormalan bahwa shoegaze yang dianggap musik bunuh diri, galau, hingga frustasi, serta kekacauan intepretasi genre, Mellon Yellow bakal membuka mata siapapun bahwa shoegaze lebih dari dramatisasi picisan, tetapi lebih kepada passion atau hasrat, seperti ketika Kevin Shields pernah meletakkan hasratnya kepada Bilinda Butcher.

The Longest Yard, betul-betul sebuah lagu yang sangat saya tunggu dari sebuah band shoegaze di tanah air setelah Sugarstar! Full of noise, reverb, dan juga swirllie guitar serta hentakan drum dan iringan kibor yang kompak. Vokal Bagus yang santai mendatar, memberikan ruang lebar bagi Bintang, Olenk, dan juga Bagus untuk menghantarkan tsunami fuzz dan noise dengan manis ke telinga siapapun. Penempatan lead di akhir lagu pun menjadi klimaks yang sempurna.

So, silahkan download link dari single mereka, The Longest Yard, dan mari berpetualang pada imajinasi masing-masing. Beauty indeed! Marr
star Pictures, Images and Photosstar Pictures, Images and Photosstar Pictures, Images and Photosstar Pictures, Images and Photosstar Pictures, Images and Photos
link!

Thursday, January 15, 2009

Drop Nineteens - Delaware

Photobucket


I have to tell you guys the truth, no showing off, band ini merupakan salah satu rekam terpenting dari jejak perjalanan spiritual saya yang begitu personal dan pribadi dalam mencari kebenaran hakiki dari genre musik yang telah saya gandrungi sekian lama, yakni ‘menatap sepatu’ atau shoegaze. Yepp! Ketika itu saya pernah mengalami kegelisahan luar biasa (this is no bullshittin’ dude), well, i knew shoegaze quite well, but i felt my knowledge became vividly lame, only listening to albums by MBV, Swervedriver and Ride constantly through my combo tape, the three holy bands for a fan like me. I knew the facts that those three bands has been a pioneer for shoegaze genre, terutama MBV, tetapi saya seperti merasa bahwa shoegaze itu sejatinya tidak seluas daun kelor saja, pasti ada sebuah belantara rimba sounds and noises yang belum terjamah with my humble ears.

Maka kegelisahan spiritual itu saya tumpahkan kepada salah satu rekan saya, The Drowner, pasti ada sesuatu yang asing di luar akal sehat saya yang tampak mudah terukur. Sebelumnya, ia sudah berjasa memperkenalkan Swervedriver kepada saya, sebuah band shoegaze '90-an yang justru tampak asing (atau malas disukai?) oleh penggemar shoegaze disini yang lebih kesengsem band-band shoegaze asalkan menu sajiannya penuh delay plus reverb. Saya kemudian teringat pada nasehatnya untuk melihat allmusic.com, di mana pasti ada ulasan tentang genre shoegaze secara ringkas, padat, dan informatif. Klik tagline shoegaze di salah satu baris genre di situs tersebut, terpampanglah sebarisan band-band shoegaze yang dianggap allmusic.com sebagai representatif genre tersebut, dan semuanya adalah band-band dari era '90-an, seperti Moose, The Telescopes, Swirlies, Lilys, Curve, dan lainnya, termasuk band bernama Drop Nineteens. Saya langsung mengunduh setiap singel dari masing-masing band yang dianjurkan allmusic.com untuk didengarkan kepada para pemula seperti saya dari limewire. And... Bamm! It’s like having a revelation or somewhat you want to call it, laksana sebuah pencerahan spiritual menghunjam hati secara dramatis! Semua lagu tersebut begitu membekas di hati, dan yang paling membuat perasaan saya terguncang adalah sebuah lagu berjudul Delaware dari album berjudul sama dari Drop Nineteens.

Saya berusaha mencari jejak cd dari album Delaware di beberapa teman yang juga kolektor cd, namun tidak ada yang mengenali band ini. Terus giat mencari remah-remah lagu mp3 mereka di limewire dan myspace.com, akhirnya terkumpul beberapa lagu dari album Delaware untuk didengarkan seksama di komputer kantor, kemudian saya juga berhasil memperoleh dua footage videoklip Drop Nineteens di youtube.com, dan semakin terkesimalah saya. Yang saya lihat di videoklip berjudul "Winona" dan "Aquarium" adalah sebuah band yang terdiri dari lima teenager Amerika Serikat di kota Boston yang bermain musik shoegaze, tetapi dengan semangat atau spirit yang menurut saya tampak sedikit berbeda ketimbang band-band shoegaze di Inggris yang cenderung tampak sedikit kelam. Drop Nineteens tetap berkiblat pada band-band shoegaze di Inggris, tetapi gaya mereka justru lebih lepas, santai, lebih cool, dan apa yah, pokoknya passion anak muda dan remaja AS di era alternative '90-an lah (sorry, rada sulit ngejelasinnya, you should see it by yourself, then you’ll understand).

So, finally I got the album, and the result fantastically amazing.
Sangat berkesan dan album ini menjadi salah satu album favorit saya setelah Loveless dan Mezcal Head, bahkan menggusur Ride menjadi urutan keempat di my holy shoegaze bands, ha ha! Album Delaware juga menjadi jejak bersejarah atas respon band-band AS terhadap wabah shoegaze di Inggris yang didalangi MBV, menjadikan album ini bak sebuah rekaman periode historis ketika anak muda AS mulai diracuni oleh shoegaze. Drop Nineteens sendiri memang didirikan pada era tersebut, di tahun 1991 oleh Greg Ackell (vokal, gitar), Chris Roof (drum), Paula Kelley (vokal, gitar), Steve Zimmerman (bass), dan Motohiro Yasue (gitar). Ditarik label Caroline Records, Drop Nineteens mengecap atensi yang cukup baik di radio-radio kampus melalui debut album mereka, Delaware.

For me, materi album ini sangat-sangat menarik sekali. Di album Delaware, you’ll get the typical of US shoegaze signature sounds. Pengaruh MBV tak bisa dielakkan lagi, (thanks to hebohnya dua album MBV, Isn’t Anything dan Loveless), namun pengaruh noise pop ala Sonic Youth dan indie rock di Amrik, menjadi warna yang kental di album Delaware. Fuzz, tremolo, reverb (I’m so glad tidak ada delay huhu :P), dan sentuhan gitar indie rock dengan sedikit ala Kevin Shields memoles setiap materi lagu album ini. Kerjasama Ackell dan Kelley dalam bernyanyi juga tampak mengasyikkan di telinga saya. Belum lagi formasi tiga gitar turut memberikan nuansa guitar driven khas shoegaze yang menjadi lebih lebar dan sangat kuat, namun tertata apik.

“Delaware” menjadi materi favorit saya di album ini, lagu yang sangat keren dan ingin sekali saya bawakan jika manggung. Karakter fuzz di awal lagu ini, disertai duet vokal Ackell dan Kelley yang pas, bak duet Bilinda dan Shields, really haunting me up until now! Tak terkecuali “Kick the Tragedy", materi lagu dengan alur musik yang sangat gazy, saya sangat menikmati riff ritem lagu berdurasi tujuh menitan ini yang begitu keren sekali, bak soundtrack terkeren yang pernah saya dengar! di bagian tengah lagu, Kelley bernarasi tentang perasaannya tentang hal-hal yang menggelisahkan in her teenage days, diiringi akustik gitar Ackell selama kurang dua menitan, kemudian berhenti dan disambut kembali dengan riff menghanyutkan hingga usai, dan rasanya seperti sebuah perjalanan yang luar biasa!

Lagu lainnya, "Winona," menjadi singel utama Delaware, mungkin menjadi salah satu lagu indie alternatif yang sudah tak terhitung lagi mengangkat sosok Winona Ryder, memiliki energi dan hooks yang seru. Sebuah kover lagu terkenal milik Madonna, berjudul "Angel", tampak mengasyikkan, terutama dengan lick gitarnya yang keren. Sebuah materi lain berjudul "Reberrymemberer," bak sebuah pendekatan paling berisik Drop Nineteens di album ini, penuh kekacauan dengan rasa yang jauh lebih enak.

Konklusi, album Delaware dari Drop Nineteens benar-benar menjadi memori paling berkesan dalam penjelajah spiritual saya di genre shoegaze, bahwa musik shoegaze sejati itu sebenarnya hanya ada di era '90-an, setelah itu selesai, finis. Dan tampaknya saya harus mengiyakan kutipan teman saya, bahwa shoegaze itu sebenarnya sudah mati, dan yang hadir saat ini hanyalah segerombolan peniru semata, tanpa ada sesuatu yang baru, miskin esensi. Pahit memang, no offense yah, huhuhu... ;P Marr

Photobucket


Source: Termasuk banyak diincar para eBayer. Saya harus bertarung untuk memperoleh cd ini melalui bidding di eBay.com. Kalap gak papa dah, rela ngabisin 20 dollaran cuma biar menangin nih cd, hehehe... :P

get the link!

buy it!

Friday, January 9, 2009

The Veldt - Afrodisiac

Photobucket

Have you ever seen a black guy playing a Fender Jaguar? With lots of atmospheric delays and stuffs? Well, I believe not in a million :D. So, semua bermula ketika seorang teman saya menyuruh untuk mengecek di youtube.com, sebuah videoklip dari band bernama The Veldt, judulnya "Soul in a Jar". Terkagum pada aksi gitaris band ini, berlanjutlah dengan perkenalan pada sebuah kaset tua The Veldt rilisan lokal, berjudul album Afrodisiac. Lalu berlanjut dengan sesegera mungkin memesan cd album ini yang terserak di eBay.com. Hasilnya, darn! this band really amazed me in many ways!

Why? Well, this is a band consists of three black guys, plus a caucasian; lalu mereka memainkan musik shoegaze dengan sentuhan dream pop khas Cocteau Twins yang berhiaskan buaian delay dan reverb, namun dengan energi atau passion yang begitu berbeda sekali dengan band lain sejenisnya. Ibaratnya, it’s like hearing a black music, but in a different texture or form, totally intriguing and tantalizing! Like a black shoegaze, i guess, full of soul and beats.

Apalagi yang lebih alami dan memang pada kodratnya ketika orang kulit hitam memainkan sebuah musik rock n roll? Memadukan sentuhan musik khas A.R. Kane dan Cocteau Twins dengan permainan gitar khas Robin Guthrie, namun bisa sedikit agresif, simaklah band bernama The Veldt ini. Turut dipengaruhi oleh band-band seperti Echo & the Bunnymen, Jimi Hendrix dan Prince, band asal North Carolina ini menyajikan lantunan lirik yang tampak begitu ekspresif, jelas dan bersemangat. Tak seperti band-band sejenisnya yang ketika itu justru lebih memilih menenggelamkan vokal mereka di bawah dominasi eksplorasi gitar.

Didirikan pada tahun 1986 oleh sang vokalis Daniel Chavis dan adiknya, Danny Chavis (gitaris). Dua tahun berikutnya, kakak beradik ini mencari personil tambahan, masuklah Martin Levi (drum), dan Dave Burris (gitar bas). Setelah sebelumnya meluncurkan EP Marigolds, pada tahun 1992 di label Stardog/Mammoth, The Veldt berhasil masuk dapur rekaman di label Mercury, merilis Afrodisiac, sebuah album alternative yang bagi saya tampak begitu apik, sempurna dan meyakinkan.

Afrodisiac dimulai dengan sebuah intro manis kurang dari dua menit, “Intro (I’ll Say Anything)” begitu soulful dan berbau Motown, di mana Daniel bersama seorang wanita Afro saling bertukar kata cinta. Selanjutnya beberapa lagu menarik seperti "Soul in a Jar," "Until You're Forever," dan "Wanna Be Where You Are" patut disimak dengan penuh seksama, dan ternyata shoegaze tak harus galau, tapi bisa penuh passion dan gairah. Belum lagi terpananya saya pada "Revolutionary Sister", sebuah materi yang sangat luar biasa liriknya, penuh dengan semangat politisasi gender, dinyanyikan dengan lantang, diiringi sahutan manis gadis Afro yang progresif. Tak hanya itu, Robin Guthrie mengkontribusikan permainan gitarnya pada akhir album Afrodisiac, “Outro (Shaved)”. The Jesus and Mary Chain juga membantu dengan me-remix "Soul in a Jar", meski tidak terlalu istimewa hasilnya. But overall, this album really pleased me, really dreamy and gazy, it’s like having a gorgeous brown sugar chick on your bed... Yeah! You got soul! Marr

PS: Frankly, guys, donlotan album Afrodisiac dari The Veldt ini bisa disebut satu-satunya yang ada di internet, bahkan di blog shoegazeralive pun belum pernah ada yang upload! So, lucky you!

Source: Cd ini adalah pembelian perdana saya melalui sindikasi perdagangan maya via eBay.com dengan pembayaran melalui paypal.com. Hohoho, senangnya!


Photobucket

get the link!

buy it!