Showing posts with label Article. Show all posts
Showing posts with label Article. Show all posts

Monday, November 7, 2016

What's Your Up To, Pet?

Tak ada yang lebih indah dari sebuah kejujuran yang dirangkai dalam sebuah tulisan blog. Karena itu mungkin sudah jarang ditemui.





Satu postingan dari teman di blog Dismantle menampilkan tulisan tentang teman saya yang merasa kecewa terhadap saya karena memperlakukan zine yang ditulisnya untuk satu acara dengan tidak semestinya. Saya paham kekecewaannya, karena sebelumnya sempat berdialog di chat whatsapp soal alasan dan kenapa bundling zine dan kaset itu terjadi.

Saya selalu respek dengan kedua teman saya ini, mereka mendirikan label yang kemudian menjadi inspirasi bagi saya dan kedua teman untuk membuat label bernama Anoa Records. Kami tahu passion mereka yang khas dari setiap rilisannya, termasuk dari acara-acara yang mereka buat, yang saya terkadang berpikir label, band, dan penikmat rilisannya adalah the scene that celebrated itself, literally. Tak ada yang buruk untuk itu, its just so perfect that way, and i adore them.

Dan ketika saya menggulirkan ide acara Popcore, termasuk dengan soal zine, dan siapa yang menulis, serta kebebasan apapun yang ditulis, sosok pria bernama Tiok adalah hal yang manis. Dia menulis blog letskissasecret yang begitu saya sukai karena mengkritik saya karena telah membuat Anoa Records menjadi membosankan dengan rilisan terakhirnya hahahah

Klarifikasi yang bisa saya sampaikan tak ada sedikitpun niatan untuk me-sell out-kan zine tersebut, karena soal bundling adalah hal yang biasa. Dan distribusi zine tak akan ekslusif dan bisa dibeli terpisah. Bahkan saya kasih gratis ke beberapa orang.

Bahkan acara Popcore, agendanya sederhana, menampilkan tiga band keren yang dikurasi dengan selera subjektif, yang mana bandnya jarang dan gak punya kesempatan untuk ditonton orang, itu saja. Nggak ada itu yg hal-hal berbau sponsor atau infiltrasi dari label untuk meminta bandnya main di acara ini. Toh bandnya juga gak menjual. Apa yang mau dijual. So far yang nonton cuma 20-30 orang. Sepertinya selaras dengan agenda politik dari zine, saling melengkapi. For fun sake only.

Dan bicara soal acara ini ada dua pilihan: menjadi khas acara yang menyasar big audience di kemudian hari lalu berujung boring atau khas acara yang small audience tapi tetap sexy, pilihan terakhir yang akan dipilih. Namun jika misalnya semakin banyak yang mau datang dan menonton acara ini, tapi kurasi band2nya tetap 'true', yah apa mau dikata. Tapi itu saya yakin tak akan terjadi. Yakin. Hahaha

Mendapati blog atau tulisan yang mengkritik, jelas hal yang sangat menyenangkan. Tiok masih mau menulis zine. Popcore sudah akan jalan 3 volume. Tahukah jika bahkan zine Popcore pertama mencela nama acara dan cover kaset hahahaha the most hilarious side of honesty. Dan itu menyenangkan.

Sunday, October 23, 2016

Seaside: Ending the Undone

Satu postingan semalam di Instagram milik Seaside menyatakan bahwa band indiepop dreampop asal Jakarta ini bubar. Mewariskan Undone, album yang beautfully gorgeous.





Ketika postingan itu muncul, saya berpikir, wow, band sebagus itu bubar. Band dreampop indiepop lokal yang menurut saya paling memikat dari semua band yang pernah ada. Jika kamu pernah membeli cd album pertama mereka Undone, mungkin saja bisa setuju pendapat saya. Album yang intimate and sensual at the same time.

Dan menyadari bahwa Seaside bubar, jadi berpikir mungkin saya tak akan menemukan lagi band seperti mereka. Album Undone adalah karya yang begitu bagus dari sisi lirik dan musik. Bagi saya Andi Hans dan Stacy (vokalis album Seaside yang juga membuat lirik dan musik) seperti Johnny Marr dan Morrissey, keduanya menghasilkan chemistry yang kuat dan terlihat dari lagu-lagu di album tersebut.

Bahkan ketika Stacy keburu memutuskan mundur menjelang dirilisnya album Undone, saya tetap menyukai band ini. Namun memang menghilangnya Stacy jelas mengurangi warna Seaside yang orisinil. Saya pikir bagi mereka yang pernah menonton Seaside saat masih bernama Carnaby atau Fawnes, tentu bisa memahami maksud saya.

Merilis dan memiliki roster macam Seaside adalah satu momen terbaik bagi kami di Anoa Records. Saya masih ingat bagaimana dahulu kami memilih Seaside sebagai rilisan kedua setelah Barefood. Dahulu sebenarnya kami hendak merilis Whistler Post, band Andi Hans dan istrinya saat itu. Namun karena keburu diambil label lain.

Kemudia Hans mengajak saya dan Andri ke studio Heyfolks dimana band lainnya bernama Seaside sedang rekaman. Ketika Hans memutarkan draft lagu kepada kami di luar studio, hanya cukup 10 detik saja mendengarkan materi, kami berdua langsung 'memaksa' Andi Hans untuk membiarkan kami saja yang merilis album Undone hahaha

Seaside formasi Undone
Dan ketika kami baru menyelesaikan produksi CD dan mulai distribusi di jaringan kami, sebulan kemudian muncul kabar Stacy mundur karena urusan keluarga dan pekerjaan di luar negeri. Terpaksa Tania membantu Seaside dan Cassandra, gitaris Seaside juga menjadi vokalis dadakan.

Beberapa lama kemudian Seaside mulai memasukkan darah baru yang berbakat seperti Trisca dan kemudian Woro. Beberapa materi sudah direkam yang cukup melelahkan untuk album kedua. Beberapa kali manggung, lagu-lagu baru dimainkan dan jujur saja, materi yang bagus dan enak didengar, berbeda dengan warna album Undone, pilihan yang bijak sebenarnya.

Saya tahu cukup banyak yang menantikan album kedua mereka. Termasuk album pertama mereka yang jujur saja sudah tak ada di gudang dan banyak returan CD dan hasil titip jual yang tak lancar dari beberapa tempat.

Tapi pada akhirnya tak semudah yang dibayangkan. Saya pikir motor Seaside tetap pada Andi Hans meski ditinggal Stacy. Dan meski Hans pernah bilang kepada saya kalau dirinya beberapa waktu lalu menjadi personil adisional Seaside (entah becanda atau nggak), saya pikir ketika kehilangan partner bermusik yang sudah satu chemistry seperti Stacy, tentu akan berbeda passionnya.

Entah apa alasan sesungguhnya, tapi bagi saya Seaside jika sudah bubar, ya bubar saja. Bahkan justru lebih baik bubar, karena band yang keren adalah band yang tahu diri jika saatnya berhenti. Sepertinya halnya The Smiths, ketika Johnny Marr yang memulai dan mengakhirinya sendiri dengan cabut dan band itu bubar. Gitu aja.


Thursday, July 7, 2016

Tentang Poptastic! dan Kenangannya (from letskissasecret's blog)

Blog bernama Letskissasecret mewawancari orang yang bertanggungjawab atas keberadaan sebuah acara bernama Poptastic! yang legendaris. Obrolan yang menyegarkan dan informatif tentang acara indiepop pertama.



Nama acara Poptastic! sudah saya dengar dahulu di 2000-an. Acara musik indiepop di Bandung yang menjadi omongan, dan band-band yang tampil pun keren. Termasuk kasetnya, Delicatessen, kompilasi band yang pernah saya beli lalu hilang. Saya belum pernah mampir ke acara ini, jadi cuma denger dari kisah teman saja.

Sosok pendirinya pun baru saya kenal dua tahunan ini di facebook. Namanya Sutuq. Ketemuan pun juga beberapa minggu lalu di sebuah acara Heyfolks di Monka. Orangnya baik dan ramah. Jadi obrolan intens soal musik yang kami suka, dan sebagainya pun belum pernah terjadi.

Sampai tadi pagi saya melihat link blog teman, berisi wawancara bersama Sutuq tentang Poptastic! dan pengalaman pribadinya. Akhirnya ada sebuah interview tentang acara ini, dan betapa pentingnya orang ini karena dia turut berjasa menghadirkan acara dan musik tersebut dalam passion yang tepat.

Bicara passion, saya rasa ini penting, karena kita bisa memahami cara kita untuk meletakkan apa yang kita suka pada cara yang benar dan tak melulu mencari uang. Semua orang butuh makan/uang, tetapi saya berpikir back to and back for the kids, rasanya itu tak boleh hilang. Namun saya tak khawatir sih, masih banyak teman-teman dan acara2 kecil non profit yang tak seperti itu :)

Mari kita simak!

poptastic!

saya hanya tahu poptastic! seperti one-man run indiepop club dan adalah sutuq. tapi dia menghilang saat baru sekali saya melakukan kontak.
sekarang sutuq kembali, saya seperti tidak bisa untuk tidak melakukan interview yang beberapa kali dia jawab dengan mengatasnamakan 'kami'. tapi siapa yang lain, saya tidak pernah berniat tahu. lagipula ini bukan riset sejarah.

saya selalu tahu poptastic! adalah indiepop club di bandung. sebelum akhirnya kamu memposting rilisan lama di bawah nama yang sama. bagaimana semuanya dimulai?

betul sekali. kala itu sederhana aja sih, saya ingin membuka telinga teman teman bahwa selain britpop ada juga yang lain. karena kebetulan saya sempat berdomisili di hamburg, jerman, terpikirlah untuk bikin kompilasi obscure pop bands yang berasal dari jerman. jadilah rilisan pertama poptastic! yang berjudul tonista supadupa freshpop german pop compilation. saya lupa, entah berapa rilisan kaset pada saat itu.
sebetulnya kami juga sempat merilis kompilasi bootleg yang bermuatan bands seperti, spearmint, blueboy, chapterhouse, red sleeping beauty, belle and sebastian yang kala itu (tahun 2000) masih hanya bisa terakses oleh segelintir orang saja.
seiring berjalan nya waktu, ditandai munculnya bands lokal yang mulai out of the box (box=britpop) seperti blossom diary, the sweaters dan lain sebagainya, timbul pula keinginan untuk lebih memperkenalkan band-band lokal tersebut. kami pun merilis untuk yang kedua kali kompilasi band lokal yang bertajuk delicatessen. fisiknya kaset dan hanya sekitar 150 pcs yang kami jual karena keterbatasan kemampuan.
kurang lebih begitulah semuanya bermula. terlalu naif kalau seandainya saya bilang, saya tidak mempunyai rasa riya ketika melakukan itu semua. hahahah.

ah ya. saya menyadari postingan kamu tentang jerman. apakah indiepop club nya juga mulai di hamburg? apa saat itu label firestation sudah ada? apa hamburg dan berlin kota yang berdekatan? berlin punya arti yang lumayan dalam untuk saya dan adi! 

yang saya mulai sebetulnya di indonesia, bandung januari 2000. yang punya gagasan soulmate saya, nhanha a.k.a nishkra. kala itu kita berkoordinasi via mIRC, haha, #dreampop tepatnya. saya di hamburg, nhanha di melbourne. sampai sekarang kami berteman baik, dan hal seperti ini lah yang saya harapkan ketika musik jadi jembatan atau sebab timbulnya hubungan baik buat para pelakunya.
setelah poptastic! yang pertama saya pun kembali ke hamburg dengan sejuta good nostalgia dari bandung dan jakarta. melalui PPI (Pesatuan Pelajar Indonesia) hamburg, saya pun meng-arrange poptastic! indiepop club versi hamburg. ketika itu christian sugiono yang mengusahakan kita bisa memakai bar yang ada di asrama tempat dia tinggal. berlangsunglah poptastic! versi hamburg dengan cukup seru karena kebanyakan yang memenuhi dancefloor adalah bule jerman. ah sudah lah ini hanya ingin share aja pengalaman baik saya di hamburg. bahkan akhirnya saya ditawari jadi song selecter reguler di sebuah bar di distrik st. pauli hamburg oleh seseorang yang hadir di acara poptastic! versi hamburg. kala ini lah saya sekali-kalinya bisa menghasilkan uang dari hobby saya meski gak seberapa.
firestation saat itu sudah ada, cuma release-an nya masih bisa dihitung dengan jari. jujur saya langsung jatuh cinta dengan release-an label uwe weigmann ini. saya lebih banyak berinteraksi dengan marsh-marigold yang memang label hamburg, dan jörg winzer dengan mind the gap mailordernya sebagai pemasok release-an indiepop dari seluruh dunia.
sebetulnya saya punya hubungan yang baik dengan firestation. beberapa gig yang mereka bikin sempet saya hadiri, bahkan menginap di tempat mereka. entah kenapa meskipun hanya didasari menyukai musik yang kurang lebih sama, orang tuh secara tiba tiba bisa sangat baik sekali secara hubungan sosial.
hamburg - berlin paling hanya 3 jam perjalanan naik kereta. dan berlin sangat multi rasial, scene musik yang berkembangnya pun sangat berbeda-beda. jujur bagi saya jerman tuh sangat minoritas sekali indiepop scenenya. makanya mungkin ketika seseorang bertemu sesama penyuka indiepop, senang banget kali yah. hahaha.

ih saya benci mengatakannya, tapi kamu living legend! saat poptastic! kedua musik blossom diary sudah didengar di jerman?

no no no. saya mungkin kebetulan berumur lebih tua dan kebetulan lagi berada deket dengan source.
sayangnya belum, karena album mereka belum kelar saat itu. namun yang saya dengar, keberadaan poptastic! yang pertama dengan lanjutan kisahnya lah yang mengilhami lahirnya blossom diary, satu band yang benar benar out of the box kala itu. at least menurut saya.

di 2009-2010 kamu mulai menghilang. saya ingat kita sempat chat soal single beach weds. tapi setelah itu kamu benar-benar menghilang. kenapa?

kalau gak lupa, saya sempet keluar sekali di tahun 2010, acara poptastic! di paris van java yang di-arranged sama marine dkk, yang akhirnya kami sadari bahwa itu sebuah kesalahan. hahahahhah. dan iya, saya ingat ada yang tag single beach weds di facebook saya.
di masa itu masalah sedang banyak banyaknya. urusan keluarga. saya harus prioritaskan keluarga. malah sempat berusaha untuk beradaptasi dengan lingkungan di mana saat itu saya harus selalu berada. sampai akhir tahun 2015, timbul kerinduan akan hal-hal yang sempat saya pikir untuk saya lupakan, tapi honestly, gak bisa.
waktu saya betul-betul menghilang, saya mencoba mengalihkan hobby saya ke dunia yang juga ternyata bukan saya banget. bersosialisasi dan mencoba melebur diri dengan komunitas motor trail di daerah saya tinggal, soreang. dan ternyata akhirnya timbul perdebatan batin antara kepedulian saya dengan lingkungan sama ego saya yang saat itu senang main motor di hutan.
hal baik yang saya dapat alhamdulillah banyak, sebelum akhirnya saya mulai sangat mengurangi kegiatan bermotor merusak alamnya. saya mendapat banyak sudut pandang hidup dari mereka yang tinggal di pegununungan, yang alhamdulillah saya juga bisa dengan sangat baik berinteraksi dengan mereka, bahkan merasa seperti mempunyai keluarga baru.

apa yang waktu itu kamu dengarkan saat motor trail di hutan? 

gak ada. suara alam dan landscape cukup refreshing saat itu. hanya saja dari teman sejawat yang putar lagu-lagu dangdut koplo, pop sunda dan the rolling stone terkadang demi kebersamaan saya dengar juga.

hahah. kenapa kamu berpikir poptastic! 2010 adalah kesalahan? 

hmm.. ternyata hanya jadi batu loncatan buat segelintir orang oportunis yang sialnya berpendapat bahwa poptastic! adalah sebuah produk yang layak jual. tapi ini pernyataan buruk sangka saya aja sih. hahahah.

oportunis #goahead?

muaranya ke situ. meskipun saya seorang perokok, kurang bijaksana rasanya kalau tetap jadi bagian dari propaganda rokok. tapi ketika yang dipakai alasan adalah perut, ya go ahead lah, gadaikan tuh semua atribut nya, indiepop, indie, arus pinggir apapun lah itu namanya. halal kok jadinya kalau dipakai buat nafkah hidup. hahahah.

yang masalah adalah ketika kamu menjual indiepop dengan menaruh bands di bill tapi tidak membayar mereka sesuai budget/keuntungan yang kamu terima. 

itu masalah selanjutnya kalau pendapat saya. first, ketika orang bawa nama indiepop or indie or apapun namanya disandingkan dengan corporate, rokok apalagi, itu sudah masalah menurut saya. intinya, sebesar apa pun uang yang dikasih mereka untuk support, tetap gak sebanding dengan dampak jangka panjang dari propaganda mereka tentang rokok.
sekali-sekali kita boleh dong sok smart. even FormulaGP dan motoGP sudah gak pakai sponsor rokok, itu artinya dampak buruknya tidak sebanding dengan support mereka. hahahah sok tahu ya saya.
dilanjut dengan apa yang kamu bilang di atas bahwa bill nya dibayar tidak sesuai dengan uang yang 'mereka' dapat, apakah masih kurang cukup alasan untuk menolak?

balik ke poptastic! sebagai indiepop club. berapa kali acaranya pernah dibuat?

persisnya saya juga gak ingat. yang cukup besarnya indie weekender tahun 2000, do you remember the first time 2002, yang ketiga tahun 2004. kami juga sempat bikin gig rada gelap bertajuk loveless di tahun 2002.
indiepop club yang reguler hampir setiap bulan berapa kali persisnya saya lupa. yang jelas di tahun 2002 sampai akhir 2003 akhir, tempatnya di amsterdam cafe, jalan braga bandung, dan sempat juga di buqiet cafe bandung.
oh ya, kami juga pernah bikin sekali di jakarta, saya lupa tempatnya yang jelas di pusat. parkit kalau gak salah.
tema indiepop club nya juga selalu berubah ubah, berusaha untuk lebih detail, bahkan kami pun sempet berkolaborasi dengan komunitas punk bandung saat itu.
apapun namanya dan apapun yang telah kami lakukan hanya dengan dasar kesukaan, yang secara finasial jauh dari untung. saat itu yang kepikiran hanya fun dan bikin sesuatu yang menyenangkan buat kami.
kecuali poptastic! yang pertama, kami selalu berusaha nyisipin band yang punya materi lagu sendiri untuk main. mocca, the milo, blossom diary, the sweaters, rumah sakit, cmon lennon, bahkan teenage deathstar pernah main di acara kami.
selanjutnya, poptastic! yang pernah ada setelah yang saya sebut di atas, bukan kami yang bikin.

bukan kalian yang buat? maksudnya dikasih ke orang lain acaranya? 

iya. tapi sudahlah.

sekarang kamu kembali. apakah indiepop still at heart? apa kamu sadar band-band yang ada sekarang semua punya sound yang sama? 

still at heart gak yah? hahahah. nilai yang saya berusaha terapkan dalam hati saya dari istilah indiepop adalah kejujuran nya aja sih. jenuh saya dengan kata indiepop dan polemiknya.
saya bukan seorang kritisi musik. apa yang saya dengar enak di telinga dan menghibur buat saya, saya dengarkan. seandainya terdengar sound nya sama, saya juga gak begitu peduli sih. apalagi di indonesia, sebuah negeri di mana sejak dini manusia dilatih untuk 'berseragam'. seandainya pun ingin beda, ya semua 'seragam' ingin beda.
terlalu sulit juga buat keluar dari pattern yang pernah ada. dan dasar ketertarikan saya juga sudah ada patokan.

dasar ketertarikan kamu sudah ada patokan? referensi maksudnya?

iya, gak jauh dari indiepop -as genre, twee, shoegaze, dreampop blablabla, khusus ketika saya sebagai subject yang memutar untuk saya nikmati.

kamu harus memulai indiepop club nya lagi.

sepertinya sudah gak perlu lagi bikin indiepop club lagi. source sudah mudah didapat, siapapun could be a song selecter, kecuali kalau harus vinyl. mungkin indiepop jadi milik beberapa gelintir orang saja koleksi vinyls. seandainya dianggap perlu diadain lagi, hanya untuk tujuan silaturahmi.
dulu diadainnya poptastic! indiepop club selain hedonism dan riya, ada niat baik untuk share ke yang mungkin punya selera kuping yang sama dan mempererat silaturahmi sih.
buat saya pribadi, apapun yang pernah saya bikin in the name of indiepop, alhamdulillah banyak hikmahnya. apalagi awalnya banyak sekali teman baru, namun sejalan waktu dan seleksi alam lambat laun mulai keliatan siapa yang true friends dan siapa yang hanya sekedar menganggap saya batu loncatan dan katakanlah butuh informasi dari saya. anggaplah saya dalam hal ini belagu. betul kata the whistling possum, indie kids are getting worse. :p

.
Skint & Demoralised - You Probably Don't even Realise When You Do The Things I Love the Most

Tuesday, April 26, 2016

Ada Apa Dengan Record Store Day (AADRSD)

RSD 2016 telah usai. Tak seramai biasanya, dan sedikit menjemukan. Menyisakan pertanyaan pribadi yang tentu nggak penting juga dipertimbangkan khayalak ramai, apakah masih relevan menyelenggarakan RSD di tahun kedepan?



Tumben lah saya bikin artikel panjang. Kali ini soal pesta RSD. Pesta dimana semua orang merayakan passion hobi menikmati rilisan fisik. Sudah tiga kali, termasuk tahun ini saya ikut berpartisipasi di RSD 2016, bersama label Anoa Records yang biasa-biasa saja. Tahun pertama, di tahun 2014, kalau gak salah, di samping Aksara, lalu 2015 di sebuah tempat futsal di Blok M. Dan terakhir di Pasar Santa.

Seru banget bisa ngerasain feelnya RSD dimana pedagang, label, band dan konsumen numplek jadi satu. Saya bisa merasakan peluh dan adrenalin ngurusin jual beli, antrian, dan heboh produksi rilisan fisik demi RSD. Nothing can beats that.

Bagi kami, label baru, bisa hadir di RSD, ketika itu kayak momen kopdar ketemu sama konsumen kami yang biasanya ketemuan di dunia maya. Lalu bisa jualan, ngerasain rasanya UKM kami ternyata bisa juga yah menghasilkan dan menghibur. Band-band kami bisa manggung, dan menonton band-band label teman yang ciamik.

Perayaan yang menyenangkan. Namun, hanya di dua edisi RSD di 2014 dan 2015 saja, saya ngerasain betapa perayaan yang dirayakan sedunia ini bener-bener memuaskan secara personal. Interaksi dengan siapapun bener-bener kerasa.

Di RSD 2016 di pasar santa, saya seperti tak merasakan sensasi seperti dua tahun sebelumnya. Apa ada sesuatu yang hilang, atau mulai menurun. Entahlah, jujur saya kehilangan momen tersebut. Saya tak bicara omset yah, karena rejeki Allah SWT yang atur, tapi demikian adanya.



Sampai akhirnya saya membeli sebuah buku berjudul 'RSD 15: Seberapa besar 500rb dapat bicara di record store day?" yang dijual di lokasi acara. Karya dr Marto yang saya tahu siapa penulisnya hahahha si anying, nama saya kesebut juga di buku itu. Tapi saya bukan mau cerita soal nama saya kesebut di buku itu, tetapi kenapa buku itu nongol di RSD 2016.

Lalu saya dapat WA dari teman yang berdagang di Blok M Square dan juga ikut RSD 2016, bagaimana ia kecewa dengan orang-orang yang nyinyir dengan mereka yang komplen di status facebook saya, soal harga yang mahal oleh para pedagang. Saya paham perasaannya.

Dan kedua hal ini yang bikin saya ingin menulis soal RSD 2016, mungkin ada yang salah kali yah dengan cara kita merayakan RSD di Indonesia. Baik dari sisi pedagang maupun juga konsumen. tapi bukan saling menyalahkan sebenarnya, tapi membedah saja. Karena apa yang ada di buku, lalu juga reaksi temen di WA ya memperlihatkan ada yang salah.

Saya menulis sebagai orang yang sudah tiga kali ikut RSD, jadi saya pedagang, tapi juga konsumen karena saya juga belanja di ketiga RSD tersebut. soal obyektifitas dan subyektifitas, sudahlah yah, saya mau mencoba jernih saja sih. Toh tulisan ini di blog pribadi.

Buku yang ditulis dr Marto, memang sebuah buku yang satir soal RSD yang selama ini berlangsung, dan tentunya juga bagaimana perputaran ekonomi dari jual beli rilisan fisik di Indonesia (pastinya yg informal yah, bukan macam music plus atau aquarius haha) tampak menggelikan bagi penulisnya. Dia cuma mencoba jujur saja, dan menceritakan bagaimana dia bersiasat agar uang 500rb yang dia punya dari gaji tak sebesar gaji di Freeport bisa maksimal dibelanjakan.

Asli, ini buku lucu dan menyenangkan. Dengan bercerita dari si penulis melewati dua hari RSD di tahun 2015, lalu bertemu orang-orang, teman, pedagang, dan saya bisa merasakah emosi si yang nulis ketika dia berhadapan dengan harga mahal (sesuai harga dan nilai), dimahalin, sampai sistem barter yang dilakukan agar bisa mendapatkan apa yang diinginkannya.

Tapi dia menyentil, RSD menjadi terlalu dikapitalisasikan dimana pedagang seperti memerah konsumen agar keluar duit banyak untuk membeli rillisan fisik. saya tahu dr marto bukan konsumen baru, dia sudah lama dari jaman kalau beli rilisan fisik masih bisa didapat murah, dan dia akan belanja secara berkala karena harga yang tak mencekik. Mungkin sekarang dia sudah jarang. Mungkin.

Saya nggak tahu yah, mungkin saja sih, meski patut diperdebatkan jika melihat dari sisi pedagang, namun kondisi ini memang terjadi. Ketika demand tinggi, lalu value sebuah rilisan telah semakin telanjang diketahui oleh siapapun, dan memang adalah hak siapapun berhak tahu soal itu. Dan konsumen pun semakin mencari-cari, yang jajan rock nggak cuma orang-orang itu saja. Dan ketika harga tinggi muncul, tentu itu sebuah realita dari pasar. Nggak ada yang bisa kontrol, emangnya sembako hahaha



Tapi, tentu nggak sesimpel itu kita harus melihat sebuah RSD, lalu ambil kesimpulan, dan tutup perkara. Ramainya koleksi rilisan fisik pun juga ramai di Indonesia bukan karena pasarnya tumbuh secara alamiah, tapi murni hype aja, imho. Heboh plat hitam, di luar negeri ramai pisan dan tumbuh pesat, di negeri ini, ikut heboh dan melahirkan kemeriahan yuk kita punya rilisan fisik. Dan itu bagus. Semua senang, pedagang senang, konsumen senang.

Buku dr marto, mencoba mencubit pinggang kita kalau ada kondisi seperti ini loh. Pada peka gak sih, merhatiin gak sih? Siapapun yang baca. Tentu bagi yang kontra dan nggak setuju sama isi buku ini akan ambil sikap tidak peduli, atau mungkin bersikap keras. Saya sih berharap nggak seperti itu yah. Tapi buku ini membuka ruang diskusi soal RSD di negeri ini.

Urusannya memang, soal harga. Yang mana kayaknya juga nggak bisa hitam putih ngelihatnya. Kalau ditilik dari sisi pedagang, tentu ada hal-hal yang mungkin nggak atau belum disadari aja sih, dari soal distribusi, modal, sewa lapak, dan semacamnya. Ya ya, kalau dibahas saya juga yakin kagak akan ada habis-habisnya. Tapi memang demikian adanya yang dihadapi mereka.

Ada satu teman, dia  bilang malas datang ke RSD karena mahal-mahal pastinya, setelah dia bilang tahun 2015 aja kaset Themilo bisa mencekik isi dompetnya yang pas-pasan. Ini yang ngomong bukan orang-orang yang mungkin sering ramai di blog atau sosmed. Yang ngomong ke saya, penikmat musik biasa yang sama sekali nggak ikut riuh2an d scene. Asli konsumen.

Mungkin kalau dijadiin sampel juga nggak masuk hitungan apa komen dia menjawab persoalan RSD atau tidak. Atau mungkin dia dan saya saja yang berbeda, mungkin RSD biasa-biasa aja kok. Fine-fine aja. Masih ramai. Masih banyak pembeli. Masih banyak yang antusias. Masih kok.

Tapi bagi saya ini penting untuk dipahami. Konsumen ternyata ada yang berasumsi seperti itu. Dan siapapun orangnya, mau yang nulis buku itu atau yang komentar ke saya, kita mendapati situasi seperti ini, dan tentu saja harus kita cermati, dan tidak ikutan nyinyir juga. Meminta mereka untuk mending cari saja di lapak jualan online macam Ebay atau Discogs kalau mau murah, saya rasa kita kudu berpikir kalem. Toh, yang kritik kanan kiri, adalah konsumen, dan buruk secara bisnis kalau kita bereaksi negatif ke mereka.

Kondisinya, RSD memang sudah mulai berkurang gregetnya. Entah di daerah lain yah, tapi di Jakarta, mungkin terlihat demikian. Ini pribadi saya yah, kalau nggak setuju, ya gapapa. Bahkan sebelum RSD di Jakarta dibuat, saya sudah dengar beberapa kabar soal perbedaan pendapat soal dimana lokasi akan didirikan. Tapi saya juga cuma dengar kabar burung saja.

Mungkin kalau nggak mau RSD semakin berkurang gregetnya, perlu ada terobosan, yang nggak selalu ngeributin soal kepentingan siapa yang bikin dan dimana lokasinya. Belum ada yang bisa memulai bagaimana untuk me marketing kan acara ini dengan tepat, tak cuma sekadar cari sponsor, tetapi juga untuk me maintain konsumen.

Apa mungkin kita mem package RSD sedemikian rupa yang tak sekadar mencari omset, tetapi juga menjaga agar konsumen tetap ada. Kita belum berpikir gimmick-gimmick yang menarik perhatian konsumen, tak hanya saat RSD, tetapi juga setelah RSD. Entah apa itu happy hour discount, atau doorprize, atau lainnya, yang memberikan kesempatan buat konsumen untuk memperoleh harga yang menyenangkan.

Ada satu hal lucu, ketika booth kami bikin sesi jual murah cd dan kaset, yang pastinya koleksian, 100rb dapat 4 cd, dan betapa orang2 yang datang tampak bingung, dan bilang serius ini? Bahkan ada yg bilang, "mas, ini cd bajakan gitu?" well, lo bisa dapat cd stone roses atau stereolab dengan harga segitu kami bisa paham sih reaksinya hahaha Termasuk ketika kami menjual single vinyl2 macam pale saints dengan harga 150rb, saya rasa mungkin hanya ada kisah itu 3 atau 4 tahun lalu,

Tapi ya memang, harga yang terlalu mahal atau lainnya, memang jadi masalah. Kita nggak bisa menafikan keadaaan ini. Kalau saja ada yang bisa bikin riset harga vinyl atau cd seken yang dijual ketika 5 tahun lalu (atau bahkan 8 tahun lalu) dengan sekarang, misalnya, mungkin udah mirip kayak grafik kenaikan BBM selama 1 dasawarsa. Itu realita sih yg dihadapi konsumen. Saya masih ingat, dulu saya pernah beli CD Ryan Adams - Demolition seken di seorang pedagang dapat 50rb, 3 tahun lalu. Tahu berapa saya temukan harga cd Ryan Adams and the Cardinals, seken? di pedagang yang sama hahaha 130rb :))

Soal ini butuh pikiran jernih. Mengemas sebuah event memang harus kerja bareng, dan bisa kompromistis. Iya, saya tahu, soal margin, biaya produksi, ribet, dan lainnya, namun tak ada salahnya untuk mencoba sih. Harus ada kecermatan, utk bermain di range harga. Entah lah kalau modal beli dagangan emang udah naik atau semacamnya, tapi bisa gak kalo kita bisa sedikit lebih luwes dikit? Bukan kayak balikin harga kayak jaman dulu, tapi yah harus ada gimmick2 lah seperti gue sebutin diatas agar konsumen nggak dibikin kaget  duluan ama harga.

Yah mungkin nih tulisan kagak penting amat sih hahaha Hanya berharap jangan sampai soal rilisan fisik bisa bernasib sama seperti batu akik. Kalau itu terjadi ya gapapa, hahaha makin banyak orang ngelepas barang buat dibeli murah hahaha tapi ya jangan kesampean. Amin. Bye.

Tuesday, September 22, 2015

Sepuluh Musik Video Favorit Widi Silverglaze

Kali ini giliran Widi (Silverglaze, ex. Cherry Bombshell & Lass) berbagi 10 video musik favoritnya. Menarik juga pilihannya, dan beberapa diantaranya cukup bikin surprise - Madonna?!). 

alias bugleweeds
Butuh waktu lama juga untuk bisa dapetin jawaban Widi soal video musik favoritnya. Dan akhirnya telah kami dapatkan daftarnya, mungkin bisa menjadi pengobat rindu kangen kalian dengan beliau yang sebentar lagi bakal merilis album mini Silverglaze! Jadi silahkan dinikmati sepuluhan musik video kesukaan Widi, semoga jadi kesukaan kamu juga. Eeaaa..


1. Mutemath - Noticed (live)
Suka sama ketukan drumnya.




2. Interpol - Anywhere
Paul Banks! Ganteng! :p




3. Phoenix - Lasso
Liriknya bagus banget bagi kaum yang tesesat di jalan yang lurus. Cieee..



4. Erasure - Always
Pertama kali lihat Erasure pas SMP kelas 2 gitu, di lagu judulnya Rain dimana ada 2 pria joget2 di loteng apartemen dibalik jemuran kain-kain putih terus kehujanan... Gitu deh :))



5. Jonsi - Around Us
Jadi suka gegara film 'We Bought a Zoo'


6. Gackt - Last Song
Kawai Gakuto! Kabogoh abdi gakuto teh hahaha *eeeaaaa



7. Aha - Take on Me
Serasa jaman SMP!



8. Madonna - Dear Jessie
Secara ngefans Madonna sejak SMP



9. Explosion in the Sky - Your Hand in Mine
Sedih terharu inget sama yang duduk di sebelah saya... suami saya :D



10. Nana Mouskori - Scarborough Fair
Serasa jadi Celtic, gue suka folklore, entar nordic, celtic, scot, atau irish selalu menarik buat gue.


Monday, August 10, 2015

Sepuluh Video Musik Favorit Ditto Barefood

Blog ini sekarang punya edisi artikel baru! Narasumber terpilih diminta untuk memberikan sepuluh video musik favorit di Youtube. Dan edisi perdana kali ini adalah Ditto Pradwito, gitaris & vokalis Barefood yang sempat terpilih sebagai gitaris muda terca'em a.k.a. menarik hati di sebuah situs.

Poto era Myspace
Nah, sembari nunggu album penuh perdana Barefood yang belum kelar, berikut 10 video kesukaan Ditto. Semoga kamu jadi kesukaan juga yah :)

1. Title Fight - Symmetry
Ini adalah video yang memperkenalkan gue dengan Title Fight untuk pertama kalinya.


2. American Footbal - Never Meant (live)
Salah satu bucket list: nonton American Football secara live!


3. Alex Chilton & Teenage Fanclub - I've Never Found a Girl
Apa jadinya kalo Teenage Fanclub jadi band pengiring Alex Chilton-nya Big Star?


4. Chon - Full Set Audiotree Live in Austin 2015
Jarang bisa nyimak band Math Rock live lebih dari 5 menit, tapi live setnya Chon gue bisa nonton sampe abis

5. Mock Orange - Poster Child
Semua orang harus tahu Mock Orange


6. Ovlov - Where's my Dini (live)
Underrated powerful trio, plus sound output yang bagus


7. Cloakroom - Starchild Skull
ngga tau gimmick, ngga tau beneran, tp ide proses rekaman di dalem goa itu keren banget

8. A Tribe Called Quest - Bonita Applebum
ngga ada yang salah dengan classic hip hop, apalagi ATCQ


9. Erykah Badu - Window Seat
lagunya enak, liriknya keren, video clipnya kontroversial, yang nyanyi asik


10. HIVI - Siapkah Kau Tuk Jatuh Cinta Lagi
guilty pleasure aja sih ini


Tuesday, May 19, 2015

Sweaters - Mendengarkan Artefak Sejarah (Felix's Liner Notes)

Rasanya penting untuk menampilkan tulisan liner notes Felix Dass di dalam rilisan kaset Sweaters yang sebulanan lalu dirilis Anoa Records. Tulisan pendek tentang perjalanan tur band indie pop Jakarta di akhir 2000an, di Singapura, dan keriuhan yang menyertai gerombolan tur tersebut. Fragmen sejarah yang kasual dan indie pop.

Mendengarkan Artefak Sejarah


Yang sekarang anda pegang adalah sebuah artefak sejarah scene indiepop Jakarta. Sweaters, saat itu bersama Ballads of the Cliché dan Dear Nancy, dengan gagah berani melakukan perjalanan tur ke Singapura untuk memainkan seri We Are Pop! yang biasa dipentaskan di Mayestik, Jakarta Selatan di Negeri Singa. Karena budget yang tipis, perjalanan harus dilalui lewat kota Batam karena biaya fiskal laut lebih murah ketimbang udara.

Turnya, karena dijalani bersama teman-teman dekat, tentu saja menyenangkan. Rombongan lumayan besar dan banyak cerita yang terekam di memori. Mulai dari mabuk mahal, nyaris dideportasi, cinta lokasi, percikan emosi sesaat, tidur di pagi hari sampai kehabisan uang karena terlalu sibuk menghamburkannya.

Sweaters
Kami mengirimkan pesan yang mungkin laku sepanjang masa; bahwa bermain musik adalah tentang bersenang-senang dan melewati batasan mimpi dengan serangkaian kerja keras. Band yang tidak hebat-hebat amat bisa melintas batas dan mempresentasikan musik mereka di pasar yang benar-benar baru.

Yang kami lakukan waktu itu adalah antitesa dari kebanggaan band-band besar Indonesia yang senang bukan main bisa main di luar negeri tapi ditonton oleh massa arahan persatuan orang Indonesia setempat. Kami tidak melakukan itu. Sweaters, Ballads of the Cliché dan Dear Nancy memperkenalkan musik yang dimainkan sehari-hari dengan nuansa senang-senang yang terlalu kental.

Dari ketiga band itu, album yang anda pegang ini, merupakan hasil rekaman terbaik. Bukan apa, vokalis dua band lainnya tidak punya kualitas menyanyi sebaik Merdi Leonardo Simanjuntak. Simpan baik-baik album ini, ada banyak sejarah di dalamnya; Esther Samboh dan Ichsan Tirtana, dua orang penampil di tiga pertunjukan The Sweaters di Singapura waktu itu, sudah meninggalkan arena. Enjoy!


Felix Dass
(Pada waktu itu) Co-Creator We Are Pop! dan Manajer Ballads of the Cliché.

Sunday, May 17, 2015

Lima Laman Band Lokal 'Obscured' di Myspace

Jauh sebelum Soundcloud tercipta, Myspace lah tempat terkeren bagi band-band menampilkan musik terkeren mereka. Termasuk band lokal Indonesia, mulai dari yang tenar sampai yang obscured tak terlacak.



Yep! Bagi yang pernah mengalami masa-masa indah Myspace tentu nggak lupa sama muka bule di atas, Tom, teman pertama kamu ketika log in pertama kali. Ketika Friendster mulai membosankan, Myspace menjadi sosmed (sebelum ada Facebook) yang populer seantero dunia. Mulai dari cari gebetan, fan page, sampai urusan ngeband.

Dan bagi saya, Myspace pernah menjadi begitu kerennya ketika juga menjadi laman page bagi musisi-musisi yang memamerkan musik, ataupun informasi terhadap fansnya. Saya ingat bagaimana Pee Wee Gaskins meraih kesuksesannya justru dari promo militan mereka di Myspace.

Tapi saya nggak mau bicara soal itu, tapi lebih pada bagaimana Myspace ketika itu juga memiliki laman page band-band keren dan obscured! Band-band yang saking kerennya, nggak banyak yang tahu keberadaan mereka, bahkan akhirnya menghilang begitu saja. Dan untungnya Myspace tak menghapus akun-akun mereka meski sudah tidak aktif.

Saya teringat dengan lima band yang saya sukai di Myspace, dan kelimanya sebagai berikut, plus penjelasan singkat saya tentang mereka. Saya ingin berbagi dengan kamu. Enjoy!

1. Sugarspin


Satu lagi band indie pop Jakarta yang seingat saya didirikan Tania (Clover, Whistler Post). Musiknya keren, dan kalau tak salah pernah manggung juga di acara2 Heyfolks. Too bad, ketika itu di mid 2000-an tak sebanyak label seperti sekarang, yang bisa merilisnya. Trek favorit :1993

2. Silverglaze
Tak ada yang menyadari ketika itu di mid 2000an, ada band bernama Silverglaze di Myspace dengan nama-nama seperti Ajie Gergaji, Ajo, dan Widi. Ketiga eks Cherbomb ini merilis lagu mereka di Myspace tanpa promo apapun soal keberadaan mereka. Gaibnya, mereka tak sekalipun manggung, lalu menghilang beitu saja. Indie Pop yang keren yang khas Velocity Girl, Madder Rose dan sejenisnya.  Trek favorit: semuanya!


3. Sieve

Sieve jelas band Gothic Bandung paling memikat. Didirikan Alexandra Wuisan, vokalis pertama Cherbomb, dengan rilisan kaset Biara yang kini harganya menyentuh 100ribuan keatas. Gaibnya, di laman Myspace, ada judul lagu yang tak muncul di kaset (meski durasinya terputus) berjudul Kediri Bersemi.  Trek favorit: Vitreus Wish
https://myspace.com/sieve15/music/songs


4. Belladonna


 Salah satu band dreampop shoegaze Jakarta yang berkibar di 2000an. Ethereal dan membius. Andai band ini masih aktif di saat ini, ketika band-band shoegaze lokal mulai semarak. Trek favorit: Morning Sunshine

5. Faction


Band Post Punk Bandung yang saya sangat sukai di Myspace, tentu selain The Porno. Dark dan menekan, sangat menyesakkan ketika band ini justru menghilang tanpa ada yang merilisnya. Gokil, mereka seharusnya bisa manggung lagi, karena musik mereka terlalu keren untuk menghilang begitu saja, imho. Trek favorit: The Pil.

-------------------------
Ini adalah pilihan pribadi saya, tentu kamu punya pendapat sendiri, jadi silahkan berbagi informasi dan mengenang masa lalu.
Btw, salah satu dari band diatas, akan dirilis oleh Anoa Records :) silahkan ditebak yah!





Tuesday, May 12, 2015

Records Store Day 2015 di Jakarta

Sebulan kurang telah berlalu dari hajatan dua hari Records Store Day 2015. Keramaian, keriuhan dan pengap asap rokok melatari aksi jual beli rilisan fisik berbagai bentuk.

Jajan Rock RSD 2015
Hajatan RSD memang selalu berkesan. Kesannya gak cuma ketika kita mendapat rilisan keren dengan harga oke, tetapi juga amblasnya dompet. Diadakan pada pertengahan April, dimana tanggal tua bagi yang tidak kaya-kaya amat, RSD 2015 di Jakarta bisa dibilang lebih besar ketimbang tahun sebelumnya.

Dari jumlah rilisan resmi lokal RSD, jauh lebih banyak dari tahun lalu. Lokasi tempat pun juga lebih luas, berlokasi di Bara Futsal, Blok M. Dan karena saya juga ngurusi Anoa Records, hajatan ini dimanfaatkan label saya untuk berpartisipasi.

Beruntung, ketika jaga booth, saya masih bisa curi waktu untuk ubek-ubek sana-sini lihat apa yang bisa dibeli, dan berhasil membeli beberapa rilisan dengan harga sangat oke, misalnya 7 inch Morrissey cuma 150ribu saja dan sejumlah CD band luar dengan harga bersahabat bet. Bisa dilihat di foto di atas.

Rilisan lokal pun berhasil saya dapatkan, meski ada yang gagal diperoleh karena terpusat di stand jualan resmi RSD yang ngantrinya kayak sembako. Berikut rilisan-rilisan lokal yang saya dapatkan dan sepatah dua kata dari saya,

1. Sweaters

album live Sweaters di Singapura tahun 2008, dirilis Anoa Records. album live yg penting dari sebuah band indie pop JKT yang obscured namun keren sangat!


2. Picadilly

Band indie pop Bandung yang mengidolai Blossom Diary dengan cover ulang satu lagu mereka. Seru musiknya!

3. Ansaphone

Reissue ep pertama mereka, band post rock bandung. Nice.

4. Themilo - Let Me Begin (reissued in cd)

akhirnya di-cd-kan. meski banyak keluhan dari kualitas masteringnya, apapun itu, bersyukur ada versi cd dari album terbaik mereka.
5. Planetbumi - The rest of..

kompilasi lagu-lagu lawas Planetbumi dari album-album lama mereka, direkam ulang. Hasilnya oke kok.

6. Atsea

Dikasih bos Kolibri Records! Makasih yah :) Keren juga, instrumental indie pop khas band-band Captured Tracks. Interesting..
-----------------------------------------

Monday, April 27, 2015

Blossom Diary - Q&A with Angga Adiyatama

Sesi interview pertama kali bersama Blossom Diary sejak mereka menghilang tanpa kabar. Sang gitaris dan salah satu pendiri band cult ini berbagi cerita tentang masa lalu, kehilangan gairah ngeband, dan sebuah rilisan terbaru bersama Anoa Records

Blossom Diary benar-benar sebuah band yang unik. Mereka tak seterkenal The Upstairs atau The Adams yang merajai pensi di mid 2000-an, meski band ini tumbuh bersama band-band tersebut di era tersebut. Band ini turut meramaikan acara musik seperti Parc dan lainnya, namun tetap begitu saja.

Dihuni oleh beberapa personil jebolan kampus Bandung yang mendirikan C'mon Lennon, Blossom Diary menampilkan keanehan tersendiri dengan musik yang diusung, ketika saat itu cita rasa Britpop masih belumlah luntur. Musik yang sederhana, biasa saja, ngepop, namun tak biasa dan keren, seperti band-band di Sarah Records. Bahkan oleh David Tarigan, merekalah band pertama di Indonesia yang mengusung musik seperti band-band di Sarah Records.

Blossom Diary ver.1
Menghilang tanpa bekas dan kabar, meninggalkan sejumlah rilisan dan lagu yang tersebar di Youtube, Blossom Diary menjadi seperti hantu. Lagu-lagunya dibawakan oleh band-band indiepop di acara musik underground indie pop yang penontonnya pun hanya 50-an. Nggak sampai seratusan malah. Gaib. Rilisan-rilisan mereka sekarang dihargai dengan harga yang bikin geleng kepala.

Kini, saya berhasil mewawancarai gitaris dari Blossom Diary, Angga Adiyatama untuk berbagi cerita tentang banyak hal, masa lalu, saat ini, termasuk berkaitan soal sebuah rilisan terbaru mereka bersama label Anoa Records, yang menurut saya sangat penting dan wajib dinikmati oleh siapapun. Karena musik mereka terlalu keren untuk diumpetin.

--------------------------------------------------

1. Ceritain bagaimana blossom diary bisa terbentuk?
Awalnya saya dan Dias (vokalis) memang berangkat dari teman sekolah smp dan sma, dan kita punya ketertarikan musik yang sama. Sebelum pindah kuliah di Bandung, kami sudah lumayan sering ngeband juga pas SMA di Jakarta. Dan kebetulan pas kuliah kita berdua ternyata pindah ke Bandung tahun 1999, kami mulai iseng bikin-bikin lagu, bikin lirik, dan akhirnya coba ajak juga temen-temen dari Bandung yang kebetulan selera musiknya sama juga untuk ikut bantuin. Di awal kita sempet ajak Deni Hotaman untuk ngisi bass, dan Donny untuk bantuin di Drum. Kita ketemu Deni dan Donny juga sebenernya dari temen ke temen juga dan kebetulan kita dulu di Bandung juga sering untuk cari-cari atau tuker atau jual-beli CD band, dari situlah kita mulai kenal Deni, Donny dan temen-temen di Bandung lainnya dan mulai sering main bareng hangout bareng dan sampai akhirnya Blossom Diary kebentuk disekitar tahun 2000 atau 2001 saya lupa.


2. Pengaruh musik band kalian begitu Sarah-esque yah?

Basically, kita memang sudah into banget sama sound band indie yang berbau folkish atau yang agak ke indie rock. Kalau mengenai Sarah records sendiri menurut kita, Sarah records itu melebihi dari sekedar musik sih, tapi lebih ke movement yang mereka ciptain dan idealisme yang mereka benar-benar pegang tanpa memikirkan apakah sebuah record label akan untung atau rugi. Jadinya musik dari masing-masing bandnya pun menurut kita pure banget, dengan skil yang seadanya, budget yang minim, instrument yang seadanya tapi mereka tetep bikin karya bagus dan ternyata musik dari band-band Sarah record bisa kesebar luas dibelahan dunia lain.
Kalau output musik kita sebenrnya kita memang admire banget sama Sarah Records dari segi sound-sound lo-fi setiap band-bandnya, dan menurut kita pada saat itu sepertinya keadaan kita di Bandung pun gak jauh beda dengan apa yang kita alami sama band-band Sarah records, mengingat jaman dulu di Indonesia band-band indie agak susah untuk diterima seperti sekarang.

3. Bagaimana proses kreatif kalian bikin lagu?

Semuanya sangat natural, kita bikin lirik dan musik berdasarkan pengalaman yang kita atau sekitar kita alami dan dari refrensi musik yang kita suka dengerin.

4. Pertama kali single kalian di ripple edisi pertama yah?

Iya, kita ditawarin oleh David Tarigan untuk ikutan di kompilasi itu, kebetulan dulu David Tarigan masih di Bandung dan ikut bantu-bantu juga di Ripple.

5. Bisa ceritain behind the stories dari rilisan album kaset self titled dan ep About the Poor Boy?

Jujur saya pribadi setelah saya dengerin lagi album Blossom sekarang ini agak kaget haha...soalnya dulu kita sempet berfikir ini album soundnya gak bagus. tapi setelah sekarang kita dengerin ternyata sound album ini kalo didengerin lo-fi nya dapet banget. Anyway untuk album kita ceritanya agak panjang, karena prosesnya lumayan lama tapi seru. Dari mulai Donny sebenrnya gak bisa main drum, dan akhirnya dia belajar hehe. Kita juga sempet recording beberapa lagu di tempat Richard Mutter di Reverse ya kalo gak salah. Dan sempet juga recording di studionya Lulu, saya lupa apa nama studionya. Dan akhirnya mixing masteringnya dibantu teman kita Andi Lelew.
Untuk EP, disini kita kebetulan sudah kembali hijrah ke Jakarta disekitar tahun 2003-2004, dan disini ada pergantian personel, ada Iyus gantiin posisi Deni, Uga sementara gantiin Donny yang akhirnya posisi Uga juga diganti oleh Ade dan kita juga ada satu personel baru di gitar yang diisi Andi Hans.
Semenjak kita hijrah ke Jakarta pun banyak juga perubahan lain pada Blossom Diary waktu itu diluar dari pergantian personelnya. Seperti pengembangan musik Blossom sendiri juga kita pengen sesuatu yang benar-benar baru dan beda dari album kita sebelumnya.
Blossom Diary ver.2

Dan akhirnya pada EP kita "About the Poor Boy", disitu mencoba untuk meberikan sentuhan baru pada musik Blossom, yang tadinya di album pertama gak ada distorsi, disini semenjak ada Andi Hans masuk disitu kita coba untuk eksplore sound gitar. Kita juga mengajak salah satu band Free Jazz favorit kita di Jakarta yang kebetulan juga adalah teman-teman kita jaman ngeband di SMA yaitu Tomorrow People Ensemble. Di EP ini TMP mencoba mere-arrange satu lagu dari album pertama kita yang berjudul  " Something like your smile" , kita gak nyangka banget dengan hasilnya yang bagus banget dan ternyata disini kita juga udah melakukan crossing genre musik, dan kenapa enggak.
Semenjak kita hijrah balik ke Jakarta ternyata banyak sekali yang merubah pattern Blossom Diary. Saya rasa perubahan musiknya bisa banget dari banyak hal, misalnya di biasanya kita di Bandung kotanya kan tenang nyaman, sedangkan di Jakarta kotanya hectic lah macet lah, etc. Dan kitapun juga banyak kenal lagi teman-teman baru di Jakarta maupun musik atau diluar musik, dan itu sangat mempengaruhi Blossom pada saat itu. Dan kita ngeliatnya sesuatu yang baru itu harus kita enjoy dan harus bisa beradaptasi dengan situasinya juga, jadinya ya natural aja kita ikutin pola kehidupan di kota besar juga.

7. Anoa Records akan merilis album the complete kalian. Bagaimana kesan elo dengan rencana tersebut?

Kita seneng banget udah pasti, kita sempet mikirnya musik kita dulu gak bakalan tahan sampe 5 tahun kedepan hahaha apalagi yang album pertama, nenurut kita itu projek idealis banget soalnya, jadi ya lumayan tutup mata aja kalo laku ya sukur kalo gak ya yang penting gue pernah bikin dan puas sama hasilnya, jadi gak banyak berharap banget untuk sampai sejauh ini mau di release ulang, kita sangat appreciate banget hehe.

8. Band kalian menurut gw telah menjadi band yg penting dan mungkin cult. Bahkan lagu kalian dicover band baru. Any thoughts bout it?

Amin, seneng banget kalo ternyata musik yang kita bikin lebih dari 10 tahun lalu dan yang kita pikir gak mungkin orang bisa tahan dengerinnya ternyata bisa menginspirasi band-band sekarang hehe, really appreciate it.
Kalo ternyata ternyata menjadi cult kita kaget juga sih, berarti apa yang kita dulu inginkan seperti movementnya Sarah records dan etc ternyata berdampak sekarang.
Pointnya sebenernya adalah kalo kita emang mau bikin sesuatu yang berbeda, ya total aja, karna kita gak pernah tau juga dikedepannya akan berdamapak seperti apa, selama kita seneng ngerjainnya mending dipush limitnya.

9. Kenapa sih Blossom Diary tiba-tiba menghilang?
Mungkin karena semenjak pindah ke Jakarta kita masing-masing juga sudah mulai kerja dan disibukan sama pekerjaan dan kesibukan lain, jadi waktu untuk ngebandnya udah bukan proiritas lagi.

10. Jika Kompilasi diskografi Blossom Diary ini rilis dan sukses memenuhi kerinduan penggemar band kalian, apakah terbuka kemungkinan untuk ngeband lagi

Hahahaha .kayaknya untuk sekarang gak ada niat untuk ngeband lagi sih, semangat dan moodnya udah gak seperti jaman dulu pas ngeband, jadi kayaknya kita cukup untuk bantu support promo dari releasenya aja mungkin.

--------------------------------------------------------------

Info terbaru, Anoa Records akan merilis album The Complete Blossom Diary dalam bentuk CD berisikan seluruh materi yang pernah dirilis band ini, baik single kaset Ripple, Kaset, CD About the Poor Boy, dan materi unreleased mereka. Liner Notes oleh David Tarigan. Akan dirilis pertengahan tahun 2015 sebanyak 500 keping. (ed)












---------------------------------------------------------------

 
Video Youtube Blossom Diary ketika meramaikan Tribute to 90s Shoegaze di tahun 2009, membawakan lagu Ride!