Showing posts with label Local Review. Show all posts
Showing posts with label Local Review. Show all posts

Thursday, February 4, 2016

Mutombo - Dreadfully Yours EP

Band indie rock baru dari Jakarta. Musiknya slacker, awut-awutan seperti tertulis di bio mereka. Mutombo, namanya, menarik materinya.

Dreadfully Yours cover art

Jadi saya sempat dikirim email dan juga dimention oleh satu band bernama Mutombo. Penasaran juga karena nama bandnya dari nama pemain basket NBA di tahun 90an, Dikembe Mutombo. Wah, boleh juga ide mengambil namanya. Jika nggak mudeng sama NBA, saya rasa bakal 'terganggu' juga dengan nama ini.

Saya unduh lah materinya di bandcamp mereka, dan ada 6 lagu yang boleh juga. Kiblatnya macam Pavement dan Yo La Tengo. Singlenya oke, seperti Derby Days, atau New Orleans. Carousel macam bliss indie rocker durasi pendek yang membius. Yang nendang sih Sal's Holiday haha coba deh denger di bagian akhir setelah noise gitar awut-awutan. Bee Gees?! Fuck me hahaha

Personilnya ada tiga orang, Joko Wiryawan (Guitar), Anto F. Rachman (Vocal, Bass), Budi Triyadi (Drum). Sepertinya mereka out of nowhere yah. Kalau tertarik dengan musik indie rock macam mereka, bisa tuh diunduh EP-nya di

https://mutombo.bandcamp.com/releases

Free Download!


Friday, January 22, 2016

Much - Closest I Can Relate To

Satu lagi band bagus dari Malang setelah Intenna. Much namanya, musiknya indie rock emo yang nyaman di kuping.



Malang bisa dibilang mulai menjadi titik baru lahirnya band bagus di timur pulau Jawa. Scene di kota ini juga hidup dan aktif. Kini saya menemukan band bagus namanya Much.

Saya tak kesulitan ketika mendengar single mereka di kompilasi Leeds Records. Asyik juga. Semacam indie rock amrik macam Velocity Girl atau Madder Rose di lagu Singled Out.

Dan pas nemu CD mereka, Closest Things I Can Relate To, mulai paham akar musik mereka. Semacam Get Up Kids dan the Rocking Horse Winner. Baru kali ini saya nemukan band indie rock emo lokal yang sebagus ini.

Vokal cowok cewek di Much simple dan itu jadi kekuatan musik mereka. Hooks2 nya khas kedua band diatas. Dihuni oleh dua musisi Dandy Gilang dan Aulia Anggia.

Album Much ada 6 track. Dirilis oleh Haum Records dan rekomendasi banget untuk dicari CD dan kasetnya.

Berharap bisa nonton mereka manggung live di Jakarta. Layak didengar dan disimak band satu ini. Thumbs up!

Thursday, November 26, 2015

the Monophones - a Voyage to the Velvet Sun

The Monophones adalah band terbaik dari skena indie di Yogyakarta. Dan album perdana mereka pun akhirnya diterbitkan kembali.




Absen dari acara csd2015 lalu akibat kerjaan kantor memang bikin hati nelangsa. Namun bersyukur ada manteman yg mau dititipkan tuk beli satu dua kaset bagus.

Salah satu incaran saya adalah kaset the Monophones.  Band Yogya yg luar biasa, musik pop lawas yg patut sejajar dengan White Shoes and the Couple Company, dan juga Sore. Pertama kali mendengar band ini kalau tak salah di kompilasi tribute to Naif.

Kaset album bertitel a Voyage to the Velvet Sun sebelum reissue termasuk mahal dan susah pula nyarinya. Kaget juga label Ivy League ngerilisnya. Yang kurang dari reissue ini mungkin cuma tak ada download cardnya aja.

Bagi saya band ini ajaib. Begitu retro khas musik Pop Indonesia di era 70an. Aransemen dan gubahan musiknya harus diakui tak kalah dengan band2 Jakarta semacam Sore atau WSATCC.

Andai ketika masih aktif, the Monophones menetap di Jakarta, mungkin bisa membesar seperti kompatriot lainnya. Saya yakin pasti bakal ditarik label Aksara Records. Cuma sekarang band ini sudah bubar.

Terlalu sayang utk band ini menjadi sekadar obscurity semata. Dirilisnya kembali kaset dari album ini oleh Ivy League Records adalah hal terpuji.

Kalau dirilis vinyl, itu akan lebih terbaik lagi.


#AnoaBlog #kaset1979

Tuesday, May 12, 2015

Records Store Day 2015 di Jakarta

Sebulan kurang telah berlalu dari hajatan dua hari Records Store Day 2015. Keramaian, keriuhan dan pengap asap rokok melatari aksi jual beli rilisan fisik berbagai bentuk.

Jajan Rock RSD 2015
Hajatan RSD memang selalu berkesan. Kesannya gak cuma ketika kita mendapat rilisan keren dengan harga oke, tetapi juga amblasnya dompet. Diadakan pada pertengahan April, dimana tanggal tua bagi yang tidak kaya-kaya amat, RSD 2015 di Jakarta bisa dibilang lebih besar ketimbang tahun sebelumnya.

Dari jumlah rilisan resmi lokal RSD, jauh lebih banyak dari tahun lalu. Lokasi tempat pun juga lebih luas, berlokasi di Bara Futsal, Blok M. Dan karena saya juga ngurusi Anoa Records, hajatan ini dimanfaatkan label saya untuk berpartisipasi.

Beruntung, ketika jaga booth, saya masih bisa curi waktu untuk ubek-ubek sana-sini lihat apa yang bisa dibeli, dan berhasil membeli beberapa rilisan dengan harga sangat oke, misalnya 7 inch Morrissey cuma 150ribu saja dan sejumlah CD band luar dengan harga bersahabat bet. Bisa dilihat di foto di atas.

Rilisan lokal pun berhasil saya dapatkan, meski ada yang gagal diperoleh karena terpusat di stand jualan resmi RSD yang ngantrinya kayak sembako. Berikut rilisan-rilisan lokal yang saya dapatkan dan sepatah dua kata dari saya,

1. Sweaters

album live Sweaters di Singapura tahun 2008, dirilis Anoa Records. album live yg penting dari sebuah band indie pop JKT yang obscured namun keren sangat!


2. Picadilly

Band indie pop Bandung yang mengidolai Blossom Diary dengan cover ulang satu lagu mereka. Seru musiknya!

3. Ansaphone

Reissue ep pertama mereka, band post rock bandung. Nice.

4. Themilo - Let Me Begin (reissued in cd)

akhirnya di-cd-kan. meski banyak keluhan dari kualitas masteringnya, apapun itu, bersyukur ada versi cd dari album terbaik mereka.
5. Planetbumi - The rest of..

kompilasi lagu-lagu lawas Planetbumi dari album-album lama mereka, direkam ulang. Hasilnya oke kok.

6. Atsea

Dikasih bos Kolibri Records! Makasih yah :) Keren juga, instrumental indie pop khas band-band Captured Tracks. Interesting..
-----------------------------------------

Monday, September 22, 2014

Vague - Footsteps


Jejak Kaki Gahar dan "Manis" dari Vague


Perkenalan pertama saya dengan Vague yaitu sekitar tahun 2012-an. Saat itu sedang ada acara rilis dari sebuah zine lokal dan mereka menjadi salah satu penampil dari acara tersebut. Membawakan beberapa materi EP awal mereka saya sangat terkesan. Agresifitas punk sangat terasa tapi masih menyisakan ruang untuk detail dan tekstur lagu. Bukan sekedar band punk yang asal-asalan memainkan 3 kunci saja.


Berlanjut 2 tahun kemudian album Footsteps ini muncul dan dirilis oleh Sonic Funeral Records, Saya merasakan kemajuan sisi musikalitas mereka. Masih terasa agresif tapi dengan musik sangat jauh berkembang. Lumayan cukup sering melihat mereka wara-wiri di beberapa acara musik independen di sekitaran Jakarta. Dan beberapa materi dari album ini juga sering dibawakan secara live. Tapi apa yang ada pada album ini jauh melampaui ekspektasi saya.


Bunyi gitar fuzz yang membentuk wall of sound, drum dengan tempo kencang yang bergemuruh terasa sedikit megah, dan bass yang menjadi jangkar dari kedua instrumen tersebut. Sedikit sulit untuk melakukan klasifikasi album ini. Terasa sangat punk tapi lebih progresif. Ada nuansa gitar shoegazing disini, eksperimen a la indie rock terasa juga sedikit sinkopasi post punk dengan lirik-lirik yang introspektif dan terselip sedikit kritik. Saya melewati proses membandingkan band ini dengan band-band lain yang sudah ada karena akan terasa dangkal dan kurang defenitif.


Dibuka dengan Footsteps yang langsung menghajar gendang telinga tanpa ampun. Walaupun pada pertengahan lagu ada semacam “jeda” yang akhirnya berkamuflase menjadi gulungan fuzz gitar tanpa henti. 6 menit yang nendang. Setelah itu ada Inadequate yang dipilih menjadi single pertama dari album ini dan sudah diperdengarkan ke publik via laman soundcloud mereka. Dengan tempo yang dibuat naik turun, lalu ada beberapa belokan tempo pada pertengahan lagu dan dilanjutkan dengan beberapa momen slow headbang sampai lagu berakhir.




Dilanjutkan dengan Retreat yang dibuka dengan permainan gitar yang memenuhi ruangan pendengaran plus beberapa momen sing a long pada beberapa bagian. A Giant Blur melanjutkan pesta dari album ini. Lalu di Interlude mereka bermain seperti seolah-olah saat ini adalah era 90’an awal. Ya mereka bermain dengan layering gitar delay dan reverb. Disambung dengan Unquestined Answer yang menjadi lagu favorit saya pada album ini, ada beberapa momen stop and go yang sangat ciamik pada lagu ini. Dissonance yang sedikit berbau post punk. Ditutup dengan Fade yang cocok untuk pesta stage diving pada venue kecil.


Apa yang Vague suguhkan di album ini adalah semacam penyegaran dari band scene lokal, dimana mereka bermain sangat gahar tetapi juga sangat “manis”. Sebuah jejak kaki dari band yang mungkin akan menjadi besar dikemudian hari. Kita tidak akan pernah tahu. Tapi buat apa pusing lebih baik nikmati saja album ini. [Andri Rahadi]


Tuesday, June 24, 2014

Rabu - Renjana

Sebuah besek, harum kemenyan, dan cd bertitel Renjana. Sebuah rilisan perdana band Yogyakarta bernama Rabu memadukan kekhidmatan Nick Cave dan mistikus Njawani . 

Ketika saya mampir di Solo untuk urusan dinas kerja, salah satu teman di kota tersebut mengabarkan kalau ada acara musik dimana Rabu akan bermain. Jujur saya belum mendengar satupun lagu band yang terdiri dari dua orang ini,Wednes Mandra dan Judha Herdanta. 

Ketika pertama menyaksikan mereka live, saya cukup kaget dengan musik mereka. Meski pertama kali mendengar live dimana ada nuansa yang sulit saya tangkap (mungkin masalah sounds), tetapi untuk pertama kalinya saya mendapati ada band dengan  musik khas Nick Cave. Bukan berarti saya bilang mereka plek a Nick Cave-thing, tapi vokal seberat itu rasanya jarang.

Rabu - Renjana
Lagu-lagunya bagus, meski dengan formasi dua gitar saja, tentu kalau saya bedah kanan kiri, like and dislike, duh, kayaknya bakal banyak maunya saya saja :)) Renjana menurut saya memberikan satu suguhan yang berbeda, dan mereka merilisnya dengan besek, kemenyan, bebungaan, dan ada pasir-pasir gula. Saya tak tahu apa alasannya, namun saya pikir ini adalah bentuk dari Njawani-nya Rabu, mistis dan kejawen.

Malah saya berpikir vokalis Rabu menghadirkan vokalnya orang Jawa, seperti yang Emha Ainun Nadjib atau Sawung Jabo. Teatrikal dan mistis. Musik mereka laiknya gelapnya Nick Cave, namun Njawani. Rabu menghadirkan lantunan dan lirik yang bukan sekadar bergelap-gelap ria.

Hanya satu keresahan saya, performa live mereka mungkin perlu dijaga khususnya dari segi sounds. Tapi mereka patut diberi apresiasi atas musik yang berbeda. 

Saturday, May 17, 2014

A Typical Moment You Would be Happy to Put on Repeat (VA)


Bah! Records adalah label kecil. Mirip Heyho Records, mereka merilis band-band indies yang mustahil diliput Majalah Hai atau Gadis. Karena tidak ada apa-apanya.

Dan ketika saya mampir ke Kineruku, pas bayar nasi ijo beranjak pulang, tetiba mata tergelitik melihat bungkusan plastik lusuh dan sepertinya tak laku berisi kaset dan zine yang mencurigakan. O la la! Kompilasi Bah!

Senangnya. Kompilasi label ini bagus untuk yang mau berkenalan dengan band-band indies yang obscured. Ada Starwick, Young After, Winterspread, Examine Your Zipper, the silent Love sampai Kapsul.
Saya suka rilisannya. Zinenya juga suka. Rasanya sah menjadi indies seperti semangat yang diusung zine Sobat Indi3.

Kompilasi ini masih tersisa satu di Kineruku. Nggak usah beli yah. Karena numbered dan limited. Nanti jadi indies. Dan itu masalah. Karena teman saya bilang sendiri kalau Indies Ruined My Life.

Thursday, January 16, 2014

Guttersnipe x Intenna (SPLIT)

Rilisan split kaset yang terbilang ajib. Berisi empat lagu dari dua band yang tinggal di Malang, Jawa Timur. Riak-riang kecil di kota Malang siap menjadi tsunami yang bising dan menawan.



Jarang banget saya kepincut pada satu suguhan musik keren, lalu langsung menulis di blog ini. Seperti orang yang gak sabaran harus menjadi penulis review pertamanya. Terakhir, rekaman Somnyfera itu.

Tapi untuk yang satu ini cukup aneh juga. Gegara ada yang posting link di blog Indonesianshoegazer.blogspot.com, kaset split dengan link streaming lagunya. Keren banget, sampai saya langsung DM yg punya link, pesen satu. Terus mesen kaos salah satunya band juga di Twitter. Split kasetnya juga dari kota Malang, kota kelahiran saya!

Jadi, sementara kasetnya juga belum ada, saya bikin deh reviewnya sembari mendengarkan streaming dari label For The Records yang merilis kaset split ini. Bandnya, Guttersnipe dengan lagu Ilustrasi dan Unsaved; lalu Intenna dengan Thirst dan Flowery. Hasilnya, kaset yang keren banget, dimana Guttersnipe mewakili noise pop/bliss/space rock dan Intenna menghantarkan dreampop shoegazing yang serupa gubahan Guthrie dan Halstead.

Kota Malang ternyata menyimpan dua band yang patut dicermati. Entah sudah berapa tahun saya tak pernah lagi ke sana, cuma sekali sejak lahir, itupun pas kuliah. Kota Apel ini dihuni oleh sekelompok anak-anak muda yang punya selera musik yang selaras kerennya dengan band-band mereka.

Intenna
Mereka mungkin akan sulit ditonton oleh dua kota besar kayak Bandung dan Jakarta, karena Jarak. Meski Bladhaus Tour tahun lalu harus mengikut sertakan dua band ini di tour tahun 2014 ini. Itu kalau akan dilakukan lagi.

Jadi, bersegeralah memesan kaset ini. Mereka layak diapresiasi atas musik apik dari kota di timur pulau Jawa ini yang terkadang terlalu Jakarta/Bandung-sentris ini. Rilisan kaset pembuka tahun 2014 yang bagus. Well done!



Link Bandcamp Guttersnipe x Intenna

Saturday, January 4, 2014

Teenage Death Star - Early Years 88-91

Band ugal-ugalan yang melegenda dari ibukota yang lebih jahat dari ibu tiri hingga kota kembang geulis pematah hati, merilis sebuah kaset. Kasetnya sudah dirilis, dan masih penuh godaan buruk jauh dari norma susila.. 

edit. - "kok gak bisa diputer yah di blog hahahaha :))"
Semua orang tahu kisah band ini di era awal 2000-an ketika di atas panggung, saat era BBs Cafe dan lainnya, bagaimana para personilnya memberikan pengayaan kepada audiens bagaimana bersikap di atas panggung. Termasuk ketika proses merekam album pertama Longway to Heaven, sungguh kabar rumor mistis, eksotis, dan adiktif di dalam studio musik bergentayangan dari mulut ke mulut para scenester dan hipster yang penuh gaya dan aksi.

Jadi ketika saya dapat selentingan TDS merilis satu kaset, dan mendapat penampakan cover pertamanya, dimana sepasang kekasih memadu kasih di tengan alam savanna dengan posisi hewani, maka penantian yang sebenarnya tidak dinantikan juga itu hadir. Kabarnya akan dirilis dengan kemasan kaset berbeda dengan bantuan Lian di Jalan Surabaya.

Dan akhirnya kasetnya pun ada di tangan saya. Meski cover aslinya gagal lolos sensor dari Departemen Penerangan era Harmoko, dan ketika saya minta versi aslinya, gitaris TDS minta uang ganti sebesar 30 juta rupiah. Sungguh amoral!

Apapun itu, album ini bertitel Early Years 88-91, yang artinya sejak mereka masih SMP, para TDS sudah merekam materi yang berlimpah dan destruktif. Lihat saja judul-judul lagunya yang.... sangat-sangat filosofis dan eksistensial. Entah berapa nilai rapor mereka di mata pelajaran Agama dan PMP, sekarang dikenal PPKN, kalau pas kuliah Kewiraan. Gitaris TDS bilang ke saya kalau rekaman ini adalah sekumpulan anak muda yang sedang merekam sebuah lagu-lagu di halaman belakang di era 80an. Mereka adalah sekumpulan anak muda kaya akan referensi dan narkoba.

Maka jika kamu dengar kaset ini, memang betul adanya. Satu kata, TDS mulai main-main dengan psikedelika. Mulai meresapi alam benak Anton Newcombe ketika membuat lagu. Mulai menyelami nihilistik Sonic Boom. Tetap ugal-ugalan seperti yang diajarkan Iggy Pop dan Ron Asheton. Dan di setiap lagu, diselipkan lagu tua daerah dan potongan cuplikan dialog film tua yang satir dan ironi tentang dekadensi moral remaja.

Masalahnya apakah kamu mau percaya isi dari kaset ini, baik yang tertulis ataupun yang terekam. Itu resiko masing-masing pembelinya. Saya hampir pasti sangat penasaran bagaimana TDS bisa membawakan lagu-lagu ini di atas panggung. Khususnya lagu dengan lirik tentang pentingnya kamus bahasa inggris-indonesia, adalah penantian saya.

Awalnya saya mau review album ini blak-blakan dari sisi apapun, dengan menggunakan berbagai macam pisau bedah analisis yang saya punyai, tetapi saya malas. Karena ada suara maung di akhir rekaman kaset ini. Album ini dari tahun 88-91. Percayai saja. Jangan beli. Pinjam saja.

Wednesday, January 1, 2014

Somnyfera – Paralyensomnyvm!!XX

Wastedrockers merilis album perdana dari band aneh tapi keren dari Kota Kembang. Bertitel ‘Paralyensomnyvm!!XX’ , weird as fuck, but in a coolest way. 


Paralyensomnyvm!!XX dan Toylet Alyens
Somnyfera betul-betul bikin saya terpana sejak CD EP Somnyfera bertitel Toylets Alyens yang pernah diberikan Dede ketika menghelatkan sebuah acara di kafe Jalan Jaksa dimana Somnyfera dan band saya bermain. Selang dua tahun kemudian, album perdana mereka hadir danbikin saya kagum, ada band seperti ini di kota Bandung. Damn!

Total ada sebelas lagu terangkum di album ini. Dibuka dengan hempasan noise feedback distorsi kotor dekil judulnya Dzat Gelap. Itu saja sudah aneh, ditambah ilustrasi perempuan alien di album, lalu penamaan personil yang khas dan tampak datang dari konstelasi galaksi berbeda, seperti Dykagalaktyka (vokal, gitar), Rezabymasakty (drum), Volchandromeda (bas) dan Sayturnus (gitar).

Liar dan tak terduga. Lagu kedua, openingnya saja seperti lagu Metallica (lupa judulnya hahaha) namun musiknya begitu space rock dan alternative. Lick-lick gitar di album ini bener-bener aneh dan keren. Entah mungkin istilahnya kayak math-rock? Ah, just give a fuck with  the term hahaha  Mereka main bebas banget. Lagu favorit saya, ‘Benci Rasa Stroberi’; - dudes, that’s my fave fruit, cmon!:))

Dua lagu lainnya, di bagian akhir album ini, ada lagu 'Antaryxavaty', sebuah track reverse dari sebuah lagu, seperti yang dilakukan The Stone Roses di lagu ‘Elephant Stone’. Lalu ‘Petani Luar Angkasa’ yg merekam derik pistol mainan dengan suara besi yang dimainkan terus menerus, tentu kalian paham maksud saya pistolnya seperti apa. Trippy as fuck!



Somnyfera di album ini saya seperti menemukan rupa band-band macam Smashing Pumpkins, Metallica, The Pixies, Nirvana, My Vitriol, dan sebagainya. Cuma musik Somnyfera seperti medan keributan masal dari band-band tersebut. Mungkin akan lebih baik anda beli album yang hanya dirilis terbatas dan numbered.

Sungguh aneh Bandung punya band seperti ini. Dan anehnya lagi Somnyfera justru bak berada dibawah radar, tak terendus, namun laten keberadaannya. Tapi itu keajaiban Somnyfera, seperti betapa ajaibnya si basis ketika saya pertama kali nonton mereka, memakai bas warna pink berbentuk wajah Hello Kitty.. Cool as Fuck!!

Whistler Post – S/T

Akhirnya band asal Jakarta ini merilis sesuatu sejak kejayaan era Myspace. Album perdana band seminal shoegaze yang menyenangkan dan alt-ish.

Whistler Post - S/T
Inilah review dari band yang telah saya tunda begitu lama diakibatkan beberapa hal. Pertama, tiba-tiba tape boombox CD saya gagal membaca CD album ini, dan hanya di track 7 dan terakhir. Kedua, saya lagi pusing sama rilisan label Anoa Records dan juga kerjaan kantoran. Dan tiba-tiba malam ini, sepuluh menit sebelum saya mengetik paragraf pertama, boombox yang aneh ini (karena hanya gagal baca CD Whistler Post, sementara CD-CD lainnya aman) mau membaca seluruh track lagu dari album mereka! Padahal saya iseng saja nyobain kali saja berhasil. “..life.”

Album perdana Whistler Post, bagi saya adalah penantian begitu lama. Masih teringat jaman era Myspace, dan menemukan laman page band ini. Langsung saya jatuh hati karena musik mereka mengingatkan kepada band-band era 90an, seperti Drop Nineteens, Ivy, Velocity Girl dan tentu saja Lush. Masih ingat dulu pernah pengen ajak band ini ikut acara Tribute to 90s Shoegaze bawain Lush, namun malah ragu-ragu gitu mereka diajakin hahaha :P

Tapi sudahlah, akhirnya hadir juga album Whistler Post yang menurut saya, sangat apik dan menyenangkan! Pasutri yang aktif di skena lokal, Andi Hans (Seaside, Pandai Besi, Cmon Lennon, etc) dan Tania (Clover), mereka menjadi songwriters dari album ini, chemistry mereka sudah terlihat sekali, bahkan saat masih fase ‘berpacaran’. Suara tipis dan khas Tania, dan kepiawaian Hans meracik tekstur musik di setiap lagu, sudah jadi jaminan mutu.

Lagu pembuka, Better Days langsung menyapa dengan kesan yang hangat. Denting piano pun menyelimuti lagu teduh seperti Like A Star. Lagu Till The End, begitu memikat dengan beat dan petikan gitar Hans yang simple dan enak di telinga. Saya berpikir album ini jika saya sempat bilang album Seaside ‘Undone’ bisa disejajarkan dengan Themilo ‘Let Me Begin’, album Whistler Post mungkin bisa disandingkan dengan album Cherry Bombshell ‘Waktu Hijau Dulu’. Itu pendapat saya.

Whistler Post
Keseluruhan album yang dirilis DFA Records ini adalah album yang memikat dan bersyukur saya sudah membelinya dua kali. Sungguh jarang lagi bisa menemukan band-band dengan sounds dan musik seperti Whistler Post ditengah selera skena lokal yang lagi asyik masyuk dengan delay dan ambient melangit meruang. Album ini segar!

Sunday, December 15, 2013

Seaside - Undone

Seaside yang hampir terkubur oleh waktu, merilis sebuah album dreampop shoegazing yang begitu intim dan manis. Memikat dan sensual.

Ketika lirik berkelindan dengan tekstur musik, sebuah lagu bisa memberikan impresi yang personal bagi pendengarnya. Hal ini tentu bukan soal mudah dan butuh pertalian kimiawi antara si pembuat lirik dan musiknya. Seperti Morrissey dan Marr, Squire dan Brown, atau Guthrie dan Fraser.

Ketika mendengar materi album Seaside, bertitel Undone, saya melihat betapa urusan meramu musik dan lirik terangkai indah oleh band ini. Kepiawaian Andi Hans dalam meracik kontur musik Seaside dan Stacy dengan lirik puitis berbahasa Inggris yang intimate and passionate. Dengar saja lagu-lagu seperti Blue Star dimana Stacy seperti bermonolog lalu berdialog dengan intim bersama Hans bersama tekstur musik lagu yang temaram.

Seaside - Undone

Jujur, saya betul-betul jatuh hati dengan band ini. Dan akan banyak puja-puji yang akan terlontar dan mungkin akan membuat orang senewen dan jengah. Sebelas materi album Undone begitu tight dan tertata dengan rapi. Hans dengan pengalaman sederetan resume terlibat banyak band, membuktikan betapa bagusnya gitaris satu anak ini. Racikan layer per layer, isian dan lick-lick dari gitarnya tampak sempurna.

Sebut saja single utama Seaside, Giggle and Blush yang manis dengan lirik yang oleh si sutradara videoklip lagu ini dianggap menyimpan kesan sensual.  Lagu Undone, adalah materi dimana saya bisa menemukan kesan kentara dari band-band dari gitaris seperti Robin Guthrie, Neil Halstead, dan Kevin Shields. Plus vokal tipis dan lirik Stacy dari setiap lagu, bagi saya, seorang pelirik lagu yang baik.

Seaside: Cassandra, Stacy, Adi, Hans, Aan

Peran para personilnya tentu tak bisa dilupakan, seperti Cassandra (gitar), Adi (bas) dan Aan (drum). Untuk sebuah band yang hampir bubar dan akhirnya bisa hidup lagi gegara Hans dan Stacy tak sengaja bertemu di sebuah mall dan sama-sama mengingatkan bahwa mereka punya urusan yang belum selesai dengan band yang dahulu dikenal dengan nama Carnaby atau Fawnes.

Sampai lagu terakhir, saya tak menemukan ada materi lagu yang lemah. Penataan urutan lagu-lagu sesuai mood terjaga dengan baik, plus ada beberapa lagu yang menyambung dengan lagu lainnya, menarik sekali. Album ini bagi saya adalah album dreampop shoegazing yang penting dan patut didengarkan.

I have to say, album Undone seperti halnya album Let Me Begin-nya Themilo. Dan band ini (mungkin akan banyak yang tak setuju, tapi ini pendapat saya), adalah proyek band terbaik yang pernah dilakoni Andi Hans. Too many words for an album like Undone, good heaven, those intimates and sweetness in all songs. I adore them!

--------------------------
The album can be bought online via www.gogs-store.com and www.anoarecs.com
IDR50.000,-

Wednesday, October 9, 2013

Barefood - Sullen (EP)

Rilisan perdana label Anoa Records tak lain Sullen, sebuah EP dari unit indie rock Ibukota, Barefood. Kehadiran menarik akan keriuhan revival alt 90's di skena lokal.

Barefood - Sullen (EP)

Kadang saya berpikir akankah gempita era 90an bisa terulang lagi. Keriuhan gerombolan band-band anak muda di Inggris dan AS yang begitu mengguncang secara budaya dan sosial. Ketika musik tampak begitu menarik, apa adanya, dan spontan; termasuk ketika MTV menjadi corong alternative dengan program MTV120 Minutes atau Alternative Nations.

Ya ya, saya lagi-lagi berceloteh nostalgia yang tak ada habisnya. Masa lalu itu nggak akan terjadi lagi. Titik.

Setidaknya fragmen masa lalu masih hadir, dan kini bisa terlihat dari EP Barefood bertitel Sullen.  Dirilis oleh label kecil Anoa Records, Barefood mewakili revival di era 90an yang juga muncul di band-band luar macam Yuck atau Tripwires. Didirikan DItto (gitar) dan Mamat (basis), musiknya riuh berisik fuzz dengan nada alt pop.

EP Sullen bermaterikan lima lagu yang menurut saya mengesankan. Materinya terasa tight dan catchy. Simak lagu Perfect Colour yang menjadi single utama mereka, atau lagu berjudul Sullen yang saya rasa menjadi trek paling favorit.

Barefood tampil di skena indie lokal Jakarta dengan musik yang bisa dibilang cukup berbeda dari band lainnya.  Laiknya band alternatif 90an dengan lirik yang lugas apa adanya, tanpa bermetafora, mengingatkan band-band lawas representasi generasi ‘X’ di era 90an, seperti Teenage Fanclub, The Posies, Lemonheads, ataupun Dinosaur Jr.

Skena lokal kita pernah memiliki band, yaitu Netral, ketika masih begitu kerennya di ketiga album pertama mereka sebelum akhirnya beralih ke punk pop. Rasanya kita lagi mengalami kekosongan akan band-band slacker indie rock alternatif semacam itu. EP Sullen ini bukan berarti bisa sekelas Netral, namun bagi saya pribadi rilisan ini bisa menjadi pengisi yang menyenangkan. 

Ditto, Bowo (adisional), dan Mamat

Barefood bermain musik untuk bersenang-senang, tanpa tendensi menjiplak segala hal soal 90s di album ini. Bagi saya, mereka tahu musik apa yang mereka mainkan. Dan Barefood bisa menjadi letupan menarik di skena lokal kita. Yuk, dinikmati saja.

----------------------
CD Sullen sudah tersedia di Monka, Coffewar, dan Kineruku (bdg)
atau pemesanan online di www.anoarecs.com - IDR35.000

Teaser lagu Perfect Colour, bisa didengarkan via www.anoarecs.com


Wednesday, June 5, 2013

Sex Sux - Sing Along with Bananas!

Pasutri dari wilayah Bogor, Jawa Barat. Berdua saja dengan satu mesin loop drum, bernada indie-punk dari hantu slacker indie pop minimalis di garasi dan basement Amrik pada akhir tahun 1980-an.


Sex Sux - Sing Along with Bananas!
I'm so fuckin love with this band. Pertama melihat band ini sekitar dua tahun lalu saat seorang teman membuat acara dan mengundang band ini ke Jakarta, lupa saya, antara Wastedrockers atau Heyho Records, mungkin dua-duanya! Whatever, intinya sejak pandangan pertama Sex Sux, saya meyakini band ini brilian, dan seharusnya mendapat atensi yang layak. Kenapa? Cool as Fuck, that's why!

Dan ketika ada isu bahwa Heyho Records bakal merilis album perdama Sex Sux, bertitel Sing Along with Bananas, tak ada kabar sekeren ini di skena indie. Itu pendapat saya. Band yang dihuni pasutri dari kota hujan, Deni dan Melly, meramu sepuluh lagu yang sebagian sudah ada di dua EP Sex Sux sebelumnya. Musiknya memiliki benang merah dengan band-band klasik indie pop/twee, minimalis, raw dan lo-fi, semacam band K Records.

Dua EP Sex Sux.
Beberapa lagu favorit, well, semuanya sih, tapi saya menyukai I Got Bones (in the Kitchen), Ooh Sha Laa, Ceiling, dan, khususnya Coffee and Cigarette, so perfect. Album ini pun direkam secara minimalis di studio rumah mereka. Kesan lo-fi terasa sekali, dan justru itu membuat album ini lebih tertangkap emosinya, mungkin terasa spontanitasnya.

Sex Sux sebenarnya menghadirkan kesegaran baru di skena lokal yang mulai kurang variatif. Sayangnya, kondisi kesehatan Deni tidak memungkinkan untuk hadir di atas panggung. Penyakit serius terpaksa membuatnya harus berada di rumah. Beruntung label Heyho Records yang diurus DJ Deebank dan Mamed tetap merilis album mereka, meski promo album ini tak optimal.

Sex Sux

Album Sing Along with Bananas layak untuk dibeli dan didengarkan. Kita bicara soal sebuah band yang memiliki keunikan, baik dari musik, lirik, dan aksi live mereka. Kesederhanaan yang keren, the coolest of simplicity. Saya berharap Deni cepat sembuh dan bisa mencubit penikmat indie untuk segera buka telinga dan dengar band satu ini. Dan meski terlalu dini, saya langsung mendaulat album ini sebagai album terkeren di tahun 2013. Kenapa? Cool as Fuck!

*album ini bisa dipesan via Heyho Records di facebook dan toko musik indie.

Monday, June 3, 2013

Ayushita - Morning Sugar

Semanis pagi hari, begitulah album terbaru dari Ayushita, sang bintang layar kaca. Suguhan musik berkelas yang tak pernah terlintas dilantunkan oleh salah satu personil supergrup BBB. 

Morning Sugar
Suatu hari, seorang teman menyuruh saya untuk membeli sebuah cd bertitel Morning Sugar. Katanya, saya tak akan kecewa meski penyanyinya adalah Ayushita, personil dari supergrup BBB, a.k.a Bukan Bintang Biasa. Jaminannya, Ricky Virgana (White Shoes and the Couple Company) dan Mondo (Sore) menjadi produser dari keseluruhan materi lagu di album tersebut.

Dan, betul sekali, album yang menurut saya begitu apik, cantik, dan berkelas, namun tidak 'maksain'. Ricky dan Mondo, berhasil menyulap sosok Ayushita yang dikenal sebagai sosok artis sinetron yang menyanyikan tembang pop 'pasaran' menjadi Ayushita yang jauh berbeda. Suara vokal Ayushita yang sedikit tipis namun nyaman, menghiasi setiap lagu album ini yang khas olah musik dari band-band yang dihuni Ricky dan Mondo.



Tak heran, kalau melihat dari list musisi yang membantu album ini, melibatkan tim dari band Ricky, dan juga ada Anda. Tapi album ini tidak mengecewakan. Beberapa lagu seperti Fufu Fafa, Morning Sugar, ataupun Tonight is Mine, begitu manis dan hangat di telinga. Trek favorit, sebuah lagu lawas Melly Goeslaw berjudul 'Salah'. Di tangan Ricky dan Mondo, lagu ini menjadi begitu sempurna. Jujur, ini pilihan lagu yang sangat tepat, pas dengan konsep album, dan juga menurut saya, hanya lagu itu yang paling saya sukai dari Melly Goeslaw.

Album ini boleh disebut sebagai make over yang cantik. Album ini jelas tak akan sesukses kalau Ayushita tampil di BBB. Tak akan menjaring ringtone, atau pun wara-wiri di setiap tangga lagu di layar kaca. Mungkin juga acara live show model Dahsyat pun, dan sejenisnya tak akan tertarik. Saya tak bisa membayangkan para figuran di acara dengan yel-yel khasnya, mengiringi Ayushita bernyanyi lagu-lagu manis itu.

Pilihan yang tidak biasa dari Ayushita memilih ranah indie pop, dan berhasil melahirkan album semanis pagi hari yang anda pernah alami. Album yang dirilis Ivy League Music ini bukan album biasa. Nona ini ternyata punya selera, kelas, dan tentu nyali. Manis.

Tuesday, March 26, 2013

Morfem - Hey, Makan tuh Gitar!

Morfem meluncurkan album kedua berjudul intimidatif dan cuek, namun dengan karya terbaru yang semakin matang dan berisi. Indie rocker lokal beraksi!



Hari minggu ketiga di bulan Maret, saya mampir ke acara launching album terbaru Morfem, berjudul Hey, Makan tuh Gitar! Selain ingin mendengarkan materi terbaru mereka secara live, juga mau nonton satu lagi band indie rock berbakat dari Jakarta Timur dan sekitarnya, Barefood, yang didaulat menjadi opening band di acara ini.

Selanjutnya, acaranya seru, Barefood memancing perhatian penonton, dan Morfem pun sukses di acara mereka, membawakan lagu-lagu kejutan seperti Kuning-nya Rumahsakit dan lagu Ramones dibikin medley. Puaslah para hadirin.

Morfem pasang aksi
Nonton, beli tiket 25ribu langsung dapat cd. Cakep. Dibawa pulanglah tuh cd, didengarkan di pagi hari sebelum berangkat kerja. Hasilnya, saya putuskan bahwa album kedua mereka patut diapresiasi dengan dua jempol. Materinya lebih matang, dan Morfem menjadi band yang semakin bagus. Jimi dan Pandu, sudah menjadi duet maut, seperti Moz dan Marr, Curtis dan Summer, atau Duta dan Eross? (LOL). Jimi dengan lirik-lirik kerennya, dan Pandu dengan racikan musiknya.

Dan album ini jauh lebih baik dari album pertamanya. Kerennya sepantaran dengan album pertama Superdrag, Regretly Yours, album powerpop yang catchy, sing along, dan noisy juga, kadarnya pas. Kerennya Jimi bikin lirik dan Pandu untuk musiknya, memang terletak pada materi yang bisa bikin sing along.   Dan asyik.

Beberapa materi yang patut dipuji, Hey Tuan Botimen, Jimi dengan lirik nakal tentang kegalauan seorang penikmat zat adiktif yang bikin saya merasa terharu juga dengan realita yang dihadapi para pemadat. Lalu Legenda Berbalut Ngeri, yang kata Pandu tentang lagu seekor tokek yang tiba-tiba nongol saat Jimi menyalakan lampu. Jimi begitu piawai dalam bermain kata-kata dalam lirik, berbahasa Indonesia ketika banyak band, termasuk band saya, lebih suka lirik bahasa Inggris.


Kejutan baru dari materi album baru ini? Well, ada lagu yang bernuansa indie rock, namun ada surf rocknya, ada juga yang begitu punkish dan hardcore, seperti lagu Hey, Seka Ingusmu! Macam band-band jebolan Epitaph Records atau Revelation Records, berlirik tajam yang nggak peduli with all those craps and bullshits. Enerjik.

Namun, lagu terbaik dari album ini, Bocah Cadel Lampu Merah. Seperti saya bilang Jimi dan Pandu telah menjadi duet maut dan sehati. Lirik Jimi yang saya pikir, terbaik dari dirinya selama ini, mungkin rada lebay jika harus dibandingkan dengan lirik Bang Iwan Fals, '...anak sekecil itu berkelahi dengan waktu, demi satu impian..." Tahu, kan? Saya pikir lirik Jimi ini patut diapresiasi. Dan Pandu membungkus lirik indah dan menyentuh ini dengan musik akustik yang folky. 

Ketukan Fredi, selalu bagus, dan Yanu yang menggantikan Bram, bermain efisien di album ini. Album Hey! Makan tuh Gitar! tidak mengecewakan dan patut dibeli oleh kita semua. Skena indie rock mulai bergema, nggak cuma musik metal aja.

Monday, December 24, 2012

Donat Tujuh Inci Rumahsakit

Tak berselang lama reuni dan album (kompilasi) terbarunya di awal Desember, Andri Lemes cs, kembali bersiap dengan kejutan terbaru. Bersama label yang banyak maunya, Banyak Mauu Records, Rumahsakit akan merilis vinyl 7 inch di awal tahun 2013.

poster rilis donat 7 inci rumahsakit
Dari segelintir band indie lawas tanah air yang saya harapkan bisa dirilis kembali dalam bentuk vinyl, tak lain Rumahsakit. Saya kerap lempar topik dengan teman-teman, soal band-band  apa dan rilisannya bakal seperti apa. Dan ketika bicara band Andri Lemes cs ini, semuanya setuju dan sepakat jika ada yang bisa ngomporin Rumahsakit untuk sebuah rilisan semacam itu.

Awal tahun 2012 saat saya lagi ngebantu Planetbumi di acara Jaktv, sempat bertemu dengan Andri dan si Anda Twins (atau si Andi kembarannya yah?) dan ngomongin niatan si Anda (atau Andi?) yang tertarik merilis kembali dua album Rumahsakit dalam bentuk vinyl. Tetapi yah, tak ada terdengar lagi kabarnya.

Dan akhirnya, sebuah label baru yang dirintis oleh kedua teman, Banyak Mauu Records, berhasil membujuk Rumahsakit untuk dibuatkan rilisan versi vinyl berukuran diameter tujuh inci, biasa disebut donat. Saya pikir ini adalah hal paling keren untuk menyambut reuninya kembali band britpop lokal idola ibukota Jakarta seperti Rumahsakit.

Ketika mampir di Holybazaar, Ruang Rupa, teman saya membawakan plat test pressing dan diputarkan oleh DJ AK-47. Dua lagu di donat adalah Anomali dan Hilang, dua trek yang saya pikir mewakili masing-masing kedua album legendaris dari band asal kampus IKJ ini. Eklektik dan britpop.

test pressing on my hand!
Saya jadi ingin curcol betapa Rumahsakit begitu berkesan secara pribadi, yang tentunya bakal panjang lebar dan membuat bosan. Mungkin saya simpan saja sampai dirilisnya donat itu. Bayangkan, sebuah rilisan bersejarah dari band yang jebolan skena indie lokal era 90-an yang kabarnya dilaunching di awal 2013. Donatnya indie darlingnya ibukota Jakarta, saya akan sabar menanti saatnya tiba. Comin' soon, amigos!

Sunday, July 15, 2012

Planetbumi - The Worst of...

Band lawas indie ibukota ini merilis sebuah album yang sarat 'keburukan' dan juga pencarian yang belum berujung hingga saat ini. Album Planetbumi bertajuk 'The worst of...'


Planetbumi - The Worst of...


Segala keburukan. Planetbumi mempersembahkan hal tersebut pada album terbaru mereka, bertajuk 'The Worst of..', sebuah album yang tidaklah buruk. Mungkin Planetbumi hanyalah ingin bermain kata dari album terakhir mereka setelah Working Class Zero. Memperdaya? Bisa jadi, dan mungkin kepada mereka yang baru ingin berkenalan secara pribadi dengan band yang digawangi oleh Nyoman (vokal), Helmy (drum), dan Molly (basis).

Jangan berharap sebuah kumpulan materi bernafaskan Morrissey-esque, karena di album ini tak akan seperti itu. Terkaget? Tentu tak bisa disalahkan karena Planetbumi selama ini memang dikenal sejak era Poster hingga saat ini sebagai band yang sudah dipercaya sahih sebagai salah satu band tribute Morrissey/The Smiths di scene lokal, selain Generosity dan ETA (Bdg)


Sang vokalis pun, ketika saya ungkit hal ini, tak memungkiri kenyataan bahwa seperti ada sebuah 'kutukan' sebagai sebuah band tribute. Semua orang selalu menanti band ini tampil dengan repertoar klasik dari Morrissey dan The Smiths. Dan entah bagaimana, materi-materi pribadi mereka agak di-anaktiri-kan oleh mereka setiap di atas panggung, dan itu dilakukan Planetbumi demi menghargai fans mereka.

The Worst of.., album yang agak tricky dan membingungkan. Seperti sebuah album perdana, lebih tepatnya, dan ternyata hadir sebagai album penuh keempat mereka.



Planetbumi era Working Class Zero's album
Album ini seperti sebuah kanvas dengan aneka macam warna. Mosaik dari segala hal yang berkelebat sepanjang sejarah band ini. Sederhananya, sebuah parade inspirasi musik dari para personil Planetbumi. DNA tetaplah Britpop, tetapi aura yang hadir di setiap lagu berbeda-beda, mulai dari The Smiths, Shed Seven, The Stone Roses, hingga Oasis.

Materinya tak mengecewakan. Satu trek lagu berjudul Buta Mata Hati Mati, begitu The Smiths-esque, lalu For You yang indies, lalu ada juga trek lagu Berenang Tenang dan Trampolin yang jangly. Musibah Besar Menanti, well, jelas sekali Oasis menjadi salah satu inspirasi band ini, Nyoman melagukan lirik dengan suara seperti Liam Gallagher. Dan bagusnya, hasil mixing dari album ini rapi dan tight.

Dalam satu percakapan dengan Helmy, saya mendapati bahwa selama proses rekaman kurun 2 tahun, Planetbumi ternyata belumlah memiliki gitaris tetap. Saya awalnya berpikir bergabungnya Rully dari Telegraph ke band ini, akan menjadi gitaris utama mereka setelah Aroel dan Ekky pamit. Toh, di album ini ternyata Aroel pun berpartisipasi, bahkan Nyoman pun juga sumbang permainan gitar dan lagunya sendiri.

Analisa awam saya berujung pada konklusi, album ini seperti perjalanan yang tampak terlihat 'buruk' dengan tidak ada gitaris utama, sebuah posisi penting untuk musical crafting di sebuah band. Apalagi untuk sebuah album penuh. Untungnya Planetbumi tetap meracik sekumpulan materi tanpa harus terpekur memusingkan line up. Mereka memiliki teman yang siap bantu, dimana pun, kapan pun.

Pencarian mereka pun harus berlanjut. Tetapi tentu mereka harus buru-buru temukan the right dude, dan....jangan anak tirikan lagu-lagu apik di album ini setiap kali naik panggung. And that could be the worst choice. Marr

---------------------------------------
beli album terbaru mereka di toko-toko musik indie atau kontak laman facebook mereka.
http://www.reverbnation.com/planetbumiband

Tuesday, April 24, 2012

Bangkutaman - Love Among the Ruins

Sambut Record Stores Day 21 April lalu, Bangkutaman merilis ulang album debut mereka, Love Among the Ruins. Kemasan baru, sebuah album nostalgia.




Profil band asal Yogyakarta ini bisa menjadi contoh bagus perjalanan sebuah band anak indie menuju kematangan bermusik. Terkagum pada musik Madchester, khususnya The Stone Roses, Wahyu Nugroho a.k.a. Acum (vokal, basis), Justinus Irwin (gitar), dan Dedyk Iryanto (drum), mendirikan band bernama Bangkutaman satu dekade lalu. Mereka meracik lagu-lagu yang kentara sekali tersihir oleh band idola mereka saat itu, The Stone Roses, lalu menelurkan debut album bertitel Love Among The Ruins.

Respon debut album pertama mereka cukup baik. Namun perjalanan waktu mereka tiba-tiba vakum, dan muncul kembali dengan sebuah kejutan bertitel Ode Buat Kota, sebuah album yang berbeda dari debut album mereka itu. Lebih dewasa dan matang. Acum cs. berhasil mendisain kembali warna musik yang lebih orisinil dan jujur di album tersebut. Kuat dugaan, plat-plat hitam dari Bob Dylan, Velvet Underground, hingga band-band obscured lainnya di era 70-an yang dikoleksi Acum turut berandil besar dalam eksplorasi karakter musik Bangkutaman saat ini.

Love Among the Ruins, sebut saja sebagai salah satu fragmen awal dari antusiasme Acum cs. dalam bermusik. Mereka tersihir dengan lagu-lagu Ian Brown cs., dan mencoba menyadur kembali sensasi musikalitas pionir Madchester itu dalam bentuk berbeda, lagu buatan mereka sendiri. Kita masih bisa tersentil untuk mengaitkan pada lagu tertentu dari The Stone Roses pada saat mendengar Love Among The Ruins.

Yah, seperti halnya Rumahsakit di album pertamanya, yang pekat dengan warna band-band idola mereka juga, seperti The Stone Roses dan The Cure. Seperti halnya Bangkutaman, album kedua Andri Lemes cs., berubah 180 derajat, lebih ekletik (kalau menurut saya hehe). Dan itu hal yang lumrah dan wajar. Bangkutaman sendiri terbilang sukses di album Ode Buat Kota. Baik dari konsep musik dan materi-materinya, termasuk review positif dari jurnalis dan bloger tanah air. Love Among the Ruins adalah langkah bayi dari band ini, sebelum dewasa di Ode Buat Kota. Marr


---------------

LIMITED EDITION OF Love Among The Ruins. Contact @_S_R_M @satriaramadhan +62818496654

Sunday, March 25, 2012

My Violaine Morning - The Next Episode of This World

My Violaine Morning meluncurkan album penuh perdana yang dirilis sebuah label di negeri Sakura. Suguhan segar dan memikat dari band asal Bandung ini. 


Melalang buana, dari Jepang hingga Amerika Selatan. Petualangan musik My Violaine Morning akhirnya bisa lintas kontinen secara fisik setelah album perdana bertajuk The Next Episode of This World, dirilis secara internasional oleh sebuah label indie Jepang, Happy Prince. Dan hanya 100 kopi saja di Indonesia, dari total 600-an kopi yang dirilis label tersebut.

Rilisan MVM di tahun 2012 ini, memang menjanjikan dan patut disimak. Sejak single gratis, Light Inside, album perdana mereka bikin penasaran. Berbasis eksperimentalis a la postrocking di EP-EP awal, empat sekawan yang terdiri dari Roni, Ricky, Risky, dan Baruna meracik 9 trek yang lebih variatif. Light Inside dan Find a Away, misalnya, suguhan sensasi dream pop yang catchy, hingga 99 Miles yang berasa bliss pop. Beberapa materi intrumental menjadi parade limpahan sonik dari para personil MVM. Hasilnya, tak membosankan.

Album ini siap memuaskan para pecandu hamparan nada-nada meruang, yang telah dirintis oleh TheMilo. Tetapi MVM punya cara mereka sendiri, dan album ini menyenangkan untuk dinikmati siapapun. Marr

Order CD: http://www.facebook.com/myviolainemorning