Thursday, December 20, 2012
R.E.M. - Monster
Wednesday, December 28, 2011
Biff Bang Pow! - Debasement Tapes
Biff Bang Pow!, tempat dimana Alan McGee mencoba peruntungan musikalitasnya. Pendiri label Creation Records ini mungkin tak sesukses band-band yang hidup di labelnya, namun jejak bermusik produser musik asal Skotlandia ini patut dicermati dan menarik.
Alan McGee sendiri sudah ngeband sejak tahun 1981 di sebuah band bernama The Laughing Apple di Glasgow, Skotlandia. Setelah pindah ke London, Alan mendirikan sebuah band baru bernama Biff Bang Pow!, diambil dari salah satu lagu dari band nuggets idolanya di tahun 1960-an, The Creation.
Thursday, January 29, 2009
Morrissey - Beethoven Was Deaf
M-o-r-r-i-s-s-e-y, hmm... What else can I say? He's a living icon for everyone who knew his presence since the Smiths era. Lirik puitisnya telah menjadi wahana kontemplasi bagi setiap orang yang merasa terasingkan dalam cinta, hidup, pilihan dan sosial; seorang legenda hidup pop rock di Britania Raya yang begitu dipuja oleh para pencintanya yang militan hingga mengkultuskan secara fanatik. Dan saya termasuk orang yang memilih untuk memujanya pula meski secara waras tentu berusaha mengerem kegilaan dan rasa 'jatuh cinta' saya terhadapnya agar tidak kelewat batas atas aqidah saya sebagai seorang muslim yang beriman. But i could faint or cry if he willing to play in Indonesia one day, i build a tent at the venue or his hotel, or even ambush him at Cengkareng, hahaha...
Back to the issue, cd live Morrissey berjudul Beethoven was Deaf ini memiliki kesan tersendiri bagi saya. Perkenalan pertama saya dengan beliau awalnya justru dari sebuah kaset lokal Beethoven was Deaf milik teman saya. So, bisa dikatakan, jatuh cinta saya pada Morrissey justru ketika mendengarnya secara live, bukan dari katalog album studionya. Betapa energi dari live Morrissey di album live yang mengambil tempat di The Zenith, kota Paris pada tanggal 22 Desember 1992 di hadapan 6,500 orang, benar-benar membuat saya terpana, termangu, dan perasaan yang campur aduk. Anehnya, saya bahkan belum pernah melihat secara visual baik dari rekaman vcd atau video, tetapi justru rekaman audio dari sebuah kaset saja. Keriuhan penonton, interaksi Morrissey kepada mereka, sahutan memuja, serta energi dari lagu, musik dan performa live yang mengesankan di album live ini, seperti menyeret saya ke momen itu.
Perkenalan pertama saya ini akhirnya memang membuat saya menjadi one in a million of his huge fanbase di dunia fana ini. 16 lagu diusung Morrissey dan band pengiringnya dalam album live Beethoven was Deaf. Materi-materi klasik (mayoritas dari album Your Arsenal) seperti "You're the One for Me, Fatty", "Suedehead", "Certain People I Know", "Sister I'm a Poet", "We Hate It When Our Friends Become Successful" hingga "November Spawned a Monster", dibawakan dengan energi yang sedikit berbeda ketimbang versi album studionya, yah, sedikit berbeda, tentu karena merupakan versi live-nya ("Suedehead" di album ini bahkan menjadi nge-rock full distortion). Tetapi dukungan band pengiring Morrissey (Alain Whyte - gitar, Boz Boorer - gitar, Gary Day - gitar bas, Spencer Cobrin - drum) yang sangat pseudo-rockabilly, membuat lagu-lagu di album ini menjadi begitu bertenaga, solid, dan penuh warna. Pilihan saya adalah di lagu "Jack the Ripper", dimana kocokan gitar flanger dari Alain Whyte, lalu ritem gitar Boz Boorer, ditambah begitu rapihnya Cobrin memukul drum di semua lagu, membuat lagu ini menjadi salah satu lagu live dari Morrissey paling keren sepanjang karirnya. Jangan lewatkan, "National Front Disco", sebuah lagu nasionalistik yang kontroversial oleh Moz, menjadi sangat tight dan kuat, terutama di bagian ending lagu dimana Boz Boorer dan Alan Whyte melakukan eksplorasi keberisikan tingkat tinggi selama lebih dari tiga menit bak sebuah noise pop yang sangat maskulin sekali.
Beethoven was Deaf akhirnya banyak memberikan saya perspektif terhadap solo karir Morrissey. Salah satunya, setelah The Smiths dipensiunkan di mana Morrissey kehilangan seorang gitaris sekelas Johnny Marr dan pemain bas sebrilian Andy Rourke, akhirnya ia memperoleh seorang songwriter yang tidak kalah cerdasnya, seperti Alain Whyte; basis se-rockabilly dan ganteng seperti Gary Day dengan segala tato keren di sekujur tubuhnya; teman kerja setia seperti Boz Boorer, hingga seorang penabuh drum jago yang juga pintar membuat lagu (lagu b-side "Lost") seperti Spencer Cobrin (you should listen to his solo materials on his myspace.com site or album on Elva Snow, he's good!). Actually formasi band pengiring pada era tersebut merupakan formasi terkeren dan paling saya sukai dari seluruh formasi band pengiring Morrissey selama ini. They're not a replica of The Smiths, but they played more exciting and intense. Dan bagi saya, Beethoven was Deaf seperti sebuah monumen dari salah satu era terbaik dalam solo karir Morrissey yang tidak boleh dilewatkan oleh setiap diehard fans of Moz, seperti saya ini, termasuk anda tentunya, hehehe... Marr
Source: Di sebuah hari kerja selepas liputan di PBNU di bulan Januari 2009 di Jalan Surabaya, terpaksa melanggar sumpah Pramuka untuk berpuasa dulu membeli cd, hahaha!
Friday, January 16, 2009
The Pixies - Trompe le Monde

Trompe le Monde adalah album the Pixies pertama saya. Sebuah rekaman istimewa dengan proses pembelian yang istimewa pula. Saya sampai rela bolos sekolah untuk melakukan transaksi dengan seorang teman dari teman yang kurang menyukai cd ini. Saat itu saya membolos untuk pertama kalinya dalam hidup, perasaan pun cukup campur aduk. Tetapi rasa tidak enak hilang dalam sekejap ketika cd berpindah tangan. Sihir rock membuat saya lupa segalanya, termasuk kewajiban sebagai pelajar yang baik.
Saya mengenal the Pixies melalui artikel tentang sang gitaris, Joey Santiago, di majalah Guitar yang merupakan oleh-oleh pemberian ayah sepulang dari luar negeri. Joey memaparkan banyak tentang proses kreasi permainan dan sound gitarnya bersama band asal Boston itu. Artikel edisi tahun 1991 tersebut bahkan menampilkan denah guitar-rigs (ilustrasi skema efek-efek dan ampli gitar) Joey. Sebagai anak ingusan yang sedang getol-getolnya mengeksplorasi gitar, saya menjadi penasaran akan musik the Pixies. Apalagi setelah sering menemukan citra logo band tersebut di iklan penjual t-shirt rock pada majalah-majalah musik terbitan luar. Saat itu logo huruf ‘P’ bersayap dengan lingkaran luar aneka warna terlihat teramat keren, serasa terus memanggil sanubari saya untuk lebih mendekatkan diri pada santo Black Francis dan teman-temannya.
Album ini adalah kumpulan rekaman studio terakhir the Pixies. Dibuat ketika ego Black Francis sedang menuju titik kulminasi. Ia tidak menginginkan adanya kontribusi lagu dari anggota lain, seperti Kim Deal, yang biasanya hadir di album-album sebelumnya. Banyak yang menganggap Trompe le Monde secara tidak langsung adalah album solo pertama Francis. Pembubaran band pun tinggal menunggu waktu saja. Tetapi itu semua tidak membuat album ini menjadi lemah dan basi. Dengan pendekatan musik yang cenderung lebih keras dan lirik-lirik surreal nyeleneh berbau fiksi ilmiah khas Francis, Trompe le Monde menjadi sebuah paket perpisahan yang dahsyat. Dari mulai lagu pembuka, “Trompe le Monde” yang singkat, lugas dan padat (berdurasi 1:46 menit) lalu “Planet of Sound” hingga sinisme terhadap hipster indie-rock/college-rock berwujud “Subbacultcha” dan “U-Mass” (Francis dan Santiago merupakan bekas mahasiswa University of Massachusetts). Saat pertama kali mendengarkan “U-Mass” saya sudah merasakan adanya sinisme di lagu tersebut. Dengan lirik seperti “Oh, kiss me cunt… Oh, kiss me cock… It’s educationaaaaal!” dan riff chorus yang seperti “Smells Like Teen Spirit” (entah duluan siapa, Nirvana atau the Pixies, yang pasti lebih dulu "More Than a Feeling"-nya Boston, hehe...).
Salah satu momen favorit saya dalam album adalah ketika mereka mengkover lagu the Jesus and Mary Chain dari album Automatic, “Head On”. Mereka membuat lagu yang ‘lurus’ dan ‘dingin’ tipikal Mary Chain menjadi agresif. Lagu tersebut bersama “The Sad Punk” cukup berandil membuat kasur kamar tidur saya hancur akibat slam dance tak bertanggung jawab. Saya juga ingat masa di mana lagu-lagu seperti “Letter to Memphis”, “Bird Dream of the Olympus Mons”, dan “Motorway to Roswell” mengisi kerinduan saya akan kisah kasih yang tak sampai ketika SMA. Saya jadi senyum-senyum sendiri sekarang. Aneh memang. Masak lagu berlirik fiksi ilmiah tentang alien jadi sarana romantisme percintaan? Ahaha! Musiknya, kawan… Biarkan ia berbicara…
Cd yang tampil di foto bertanggung jawab terhadap Sabtu indah di tahun 1992. Juga terhadap koleksi the Pixies dan album-album indie-rock Amerika lain yang saya beli setelahnya. Penuh sihir. Clockender
Wednesday, December 3, 2008
The Sundays - Reading, Writing and Arithmetic
For me, The Sundays was one of a kind band! If you want to hear the heavenly voice, it's Harriet Wheeler, vokalis The Sundays. Suara halus merdu nan angelic Harriet Wheeler ditemani permainan gitar David Gavurin (suaminya kelak) yang harmonis khas pop jangly ala The Smiths dan sentuhan dream pop khas Cocteau Twins. The Sundays pun meraih review baik sekali dari para kritikus musik di negerinya, UK dan juga AS pada awal '90-an. Single pertama album ini "Can't Be Sure" meraih urutan wahid dalam chart John Peel Festive Fifty.
Di album perdana mereka berjudul Reading, Writing and Arithmetic, segalanya terasa begitu indah dan sempurna.Takkan pernah bosan mendengar album ini berulang-ulang. Materi lagunya pun ciamik, tersusun atas hook-hook gitar yang jernih dan layered, serta melodi pop khas Johnny Marr, seperti "Hideous Town" atau "A Certain Someone", menambah kesan yang tak ada habis-habisnya akan band ini. Terutama alunan merdu nada dan vokal Harriet Wheeler di setiap lagu berlirik puitis sekali, you can fall in love with her just by hear her voices, quickly, instantly. So much heaven.
Siapapun yang (pernah) memiliki cd ini atau paling tidak mengenal The Sundays tentu tak bisa lupa dengan single legendaris dari album ini, "Here's Where the Story Ends." And for myself, this album is the most beautiful gem! It has lots of memories and stories personally. Dan siapapun yang mendengarnya akan berkata bahwa album Reading, Writing and Arithmetic adalah salah satu karya debut masterpiece paling sempurna yang pernah ada, jika boleh diklaim begitu. Marr
Q (8/96, p.141) - 4 Stars - Excellent - "...it deserves a frame in the great British gallery of indie classics....gorgeous examples of jangly bedst pop, decorated by Harriet Wheeler's dulcet tones....a sweet, sexy, sticky toffe pudding of a record..."
Source: I had this cd from Taman Puring, circa 2004. Beli sama Mr. Berry, a skatepunk legend di ibukota who used to run a secondhand records kiosk at Taman Puring few years ago, hehehe... :P