Showing posts with label College Rock. Show all posts
Showing posts with label College Rock. Show all posts

Thursday, December 20, 2012

R.E.M. - Monster

Photobucket
R.E.M. adalah legenda. Titik? Tentu tidak, untuk sebuah band yang telah berdiri sejak awal awal 1980-an hingga sekarang, tanpa kenal lelah, turut membidani 'lahirnya' kawanan band-band alternative di pelosok kota AS yang begitu terinspirasi oleh mereka. Keempat pria ini asal kota Athens, Georgia ini juga menandai jejak historis ketika postpunk memilih saatnya untuk keluar dari gelap temaram, dan menikmati kegairahan sinar mentari alternative rock, namun tetap D.I.Y, dan idealis.
So, pendek kata, selama dua puluh tahun itu, puluhan album telah dirilis, melewati berbagai era gejolak dan revolusi musik; mulai dari era berseminya skena american underground music, lalu Nirvana datang menampar milyaran telinga anak muda di dunia, sampai detik ini, berikut ragam kritik terbaik dan terjemukan. Buat saya sendiri, R.E.M. adalah sebuah enigma yang sangat mengasyikan dalam setiap album-albumnya. Namun, justru pada sebuah album berjudul Monster lah, dimana saya justru meresapi esensial dari band ini, bahkan bukan dari album-album terbaik mereka seperti Automatic for Life, Out of Time, dan lainnya.
Maka peristiwa membekas itu terjadi ketika di pertengahan 90'an, saat bercelana abu-abu, sebuah kaset R.E.M terpinjam dari seorang teman lama. Ketika itu memang gerombolan US alternative bands lagi jaya-jayanya di toko kaset seluruh dunia, dan album Monster mewakili masa tersebut. Album kesembilan R.E.M dirilis tahun 1994 ini merupakan album yang didisain nge-distorsi oleh band yang dihuni oleh Michael Stipe (vokalis), Peter Buck (gitaris), Mike Mills (bass), dan Bill Berry (drumer). And, hell yeah, this album trully one of a kick ass 90's alt record for me!
Aransemen lagu-lagu yang simpel, namun sangat 90's alt-ish sekali. Singel pembuka, What's the Frequency, Kenneth? menampilkan sebuah lagu folk sederhana dengan gitar distorsi fuzz yang keren. Lagu Circus Envy tampak seperti R.E.M sedang ber-grunge ria di sudut pub di kota Seattle. Sebuah lagu favorit saya berjudul Crush with Eyeliner, dimana tremolo efek berbalut fuzz distorsi, benar-benar membuat diri saya terkagum pada aransemen lagu yang simpel namun tetap enak didengar, dan alternative sound sekali. Thurston Moore turut menyumbangkan permainan gitar dan backing vokal pada lagu Crush with Eyeliner, and yeah that's a cool fact.
Lagu-lagu lainnya di album Monster ini, tentu tak berwajah monster semua. Trek-trek kontemplatif seperti Tongue, dengan perkusi serta piano organ, membuat album ini semakin asyik didengar bagi saya. Lagu Strange Currencies siap membius, seperti sebuah sekuel dari singel lawas mereka terdahulu, Everybody's Hurts. Tapi tentu saja kekuatan lirik dari Michael Stipe adalah roh dari semua album-album R.E.M., termasuk album Monster. Salah satunya, sebuah lagu berjudul Let Me In yang didedikasikan untuk sahabat Stipe, Kurt Cobain yang tewas bunuh diri beberapa bulan sebelum album ini dirilis. Kocokan gitar Buck full distorsi reverb bergema, serta lirik bervokal khas Stipe menjadi balada penuh haru dan refleksi terakhir atas Cobain yang gagal menghadapi kehidupannya yang absurd.
Album Monster memang mengangkat bagaimana kehidupan selebritas dan popularitas bak sebuah monster yang dapat menelanmu pelan-pelan secara mengerikan. Sekaligus reaksi R.E.M. atas kegilaan atas popularitas yang mereka alami, berikut contoh sempurna seorang Kurt Cobain. Toh, Cobain yang memang mengidolakan R.E.M. pernah berkata betapa Stipe cs musisi luar biasa cerdas, dan mampu mengatasi kegilaan sukses dan popularitas dengan baik sekali. Begitu kentalnya refleksi tersebut hingga album ini juga didedikasikan kepada sahabat R.E.M. yang tewas overdosis di tengah ketenarannya, seorang aktor muda sangat berbakat, River Phoenix, seperti tertulis di akhir sleeve album "For-river". Dan mereka semua itu telah tertelan pelan-pelan melalui sebuah monster, dan album ini menceritakannya kembali.
hints: pada saat R.E.M. melayat di rumah Cobain selepas pemakaman, Courtney Love memberikan gitar Fender Jagstang milik Cobain kepada Buck. Gitar ini kemudian dipakai pada sesi rekaman lagu What's the Frequency, Kenneth?, dan juga turut tampil di videoklip singel tersebut.
source: setelah satu dekade lebih sejak pertama mendengar album ini, akhirnya terbeli juga cd-nya di DU, Bandung hehehe puas pisan.
Photobucket

Wednesday, December 28, 2011

Biff Bang Pow! - Debasement Tapes



Biff Bang Pow!, tempat dimana Alan McGee mencoba peruntungan musikalitasnya. Pendiri label Creation Records ini mungkin tak sesukses band-band yang hidup di labelnya, namun jejak bermusik produser musik asal Skotlandia ini patut dicermati dan menarik.

Alan McGee sendiri sudah ngeband sejak tahun 1981 di sebuah band bernama The Laughing Apple di Glasgow, Skotlandia. Setelah pindah ke London, Alan mendirikan sebuah band baru bernama Biff Bang Pow!, diambil dari salah satu lagu dari band nuggets idolanya di tahun 1960-an, The Creation.

Biff Bang Pow! terdiri atas Alan McGee (vokal, gitar), Dick Green (gitar), Joe Foster (bass), dan Ken Popple (drum). Album yang tertampil di blog ini adalah sebuah kompilasi b-sides dan outtakes, dinamai Debasement Tapes. Dirilis pada tahun 1992, dibawah label binaannya Creation Records, album ini seperti sebuah kompilasi atas tendensi Alan terhadap band-band jenius yang berhasil ia temukan berkat nalurinya selama menjadi produser musik di era 80-90an. Mulai dari jangly, postpunk, noisepop, folk, hingga indie pop hadir di Debasement Tapes.
Lagu pembuka, Long Live Neil Young and All Who Sail With Him, kentara sekali dari judulnya, sebuah apresiasi terhadap sang legenda Neil Young, yang ia hormati melalui sebuah materi folk rock. Satu lagu lagi sejenis, In Bed with Paul Weller, sebuah materi untuk Paul Weller, dengan iringan organ dan kocokan gitar berdistorsi tipis dan ketukan drum yang santai.

Inside the Mushroom, sebuah lagu zat adiktif yang kental elemen noisepop disana-sini.  The Death of England, menampilkan indie pop era 86, dengan sayatan biola pada gitar yang menjadi ciri khas gitaris band idola Alan, Eddie Phillips dari The Creations. Lagu dengan tensi cepat, It Makes You Scared, menjadi salah satu lagu favorit saya, terasa jangly dan indie rock.

Keseluruhan lagu-lagu di album ini, sajian gitar dikemas dengan dominasi reverb, termasuk akustiknya. Noise reverb berlebih kebetulan ciri khas dari band-band dari label Alan pada saat itu, umumnya bergenre noisepop dan shoegaze. Marr

Thursday, January 29, 2009

Morrissey - Beethoven Was Deaf

Photobucket

M-o-r-r-i-s-s-e-y, hmm... What else can I say? He's a living icon for everyone who knew his presence since the Smiths era. Lirik puitisnya telah menjadi wahana kontemplasi bagi setiap orang yang merasa terasingkan dalam cinta, hidup, pilihan dan sosial; seorang legenda hidup pop rock di Britania Raya yang begitu dipuja oleh para pencintanya yang militan hingga mengkultuskan secara fanatik. Dan saya termasuk orang yang memilih untuk memujanya pula meski secara waras tentu berusaha mengerem kegilaan dan rasa 'jatuh cinta' saya terhadapnya agar tidak kelewat batas atas aqidah saya sebagai seorang muslim yang beriman. But i could faint or cry if he willing to play in Indonesia one day, i build a tent at the venue or his hotel, or even ambush him at Cengkareng, hahaha...

Back to the issue, cd live Morrissey berjudul Beethoven was Deaf ini memiliki kesan tersendiri bagi saya. Perkenalan pertama saya dengan beliau awalnya justru dari sebuah kaset lokal Beethoven was Deaf milik teman saya. So, bisa dikatakan, jatuh cinta saya pada Morrissey justru ketika mendengarnya secara live, bukan dari katalog album studionya. Betapa energi dari live Morrissey di album live yang mengambil tempat di The Zenith, kota Paris pada tanggal 22 Desember 1992 di hadapan 6,500 orang, benar-benar membuat saya terpana, termangu, dan perasaan yang campur aduk. Anehnya, saya bahkan belum pernah melihat secara visual baik dari rekaman vcd atau video, tetapi justru rekaman audio dari sebuah kaset saja. Keriuhan penonton, interaksi Morrissey kepada mereka, sahutan memuja, serta energi dari lagu, musik dan performa live yang mengesankan di album live ini, seperti menyeret saya ke momen itu.

Perkenalan pertama saya ini akhirnya memang membuat saya menjadi one in a million of his huge fanbase di dunia fana ini. 16 lagu diusung Morrissey dan band pengiringnya dalam album live Beethoven was Deaf. Materi-materi klasik (mayoritas dari album Your Arsenal) seperti "You're the One for Me, Fatty", "Suedehead", "Certain People I Know", "Sister I'm a Poet", "We Hate It When Our Friends Become Successful" hingga "November Spawned a Monster", dibawakan dengan energi yang sedikit berbeda ketimbang versi album studionya, yah, sedikit berbeda, tentu karena merupakan versi live-nya ("Suedehead" di album ini bahkan menjadi nge-rock full distortion). Tetapi dukungan band pengiring Morrissey (Alain Whyte - gitar, Boz Boorer - gitar, Gary Day - gitar bas, Spencer Cobrin - drum) yang sangat pseudo-rockabilly, membuat lagu-lagu di album ini menjadi begitu bertenaga, solid, dan penuh warna. Pilihan saya adalah di lagu "Jack the Ripper", dimana kocokan gitar flanger dari Alain Whyte, lalu ritem gitar Boz Boorer, ditambah begitu rapihnya Cobrin memukul drum di semua lagu, membuat lagu ini menjadi salah satu lagu live dari Morrissey paling keren sepanjang karirnya. Jangan lewatkan, "National Front Disco", sebuah lagu nasionalistik yang kontroversial oleh Moz, menjadi sangat tight dan kuat, terutama di bagian ending lagu dimana Boz Boorer dan Alan Whyte melakukan eksplorasi keberisikan tingkat tinggi selama lebih dari tiga menit bak sebuah noise pop yang sangat maskulin sekali.

Beethoven was Deaf akhirnya banyak memberikan saya perspektif terhadap solo karir Morrissey. Salah satunya, setelah The Smiths dipensiunkan di mana Morrissey kehilangan seorang gitaris sekelas Johnny Marr dan pemain bas sebrilian Andy Rourke, akhirnya ia memperoleh seorang songwriter yang tidak kalah cerdasnya, seperti Alain Whyte; basis se-rockabilly dan ganteng seperti Gary Day dengan segala tato keren di sekujur tubuhnya; teman kerja setia seperti Boz Boorer, hingga seorang penabuh drum jago yang juga pintar membuat lagu (lagu b-side "Lost") seperti Spencer Cobrin (you should listen to his solo materials on his myspace.com site or album on Elva Snow, he's good!). Actually formasi band pengiring pada era tersebut merupakan formasi terkeren dan paling saya sukai dari seluruh formasi band pengiring Morrissey selama ini. They're not a replica of The Smiths, but they played more exciting and intense. Dan bagi saya, Beethoven was Deaf seperti sebuah monumen dari salah satu era terbaik dalam solo karir Morrissey yang tidak boleh dilewatkan oleh setiap diehard fans of Moz, seperti saya ini, termasuk anda tentunya, hehehe... Marr

Photobucket

Source: Di sebuah hari kerja selepas liputan di PBNU di bulan Januari 2009 di Jalan Surabaya, terpaksa melanggar sumpah Pramuka untuk berpuasa dulu membeli cd, hahaha!

buy it!

get the link!

Friday, January 16, 2009

The Pixies - Trompe le Monde

Photobucket

Trompe le Monde adalah album the Pixies pertama saya. Sebuah rekaman istimewa dengan proses pembelian yang istimewa pula. Saya sampai rela bolos sekolah untuk melakukan transaksi dengan seorang teman dari teman yang kurang menyukai cd ini. Saat itu saya membolos untuk pertama kalinya dalam hidup, perasaan pun cukup campur aduk. Tetapi rasa tidak enak hilang dalam sekejap ketika cd berpindah tangan. Sihir rock membuat saya lupa segalanya, termasuk kewajiban sebagai pelajar yang baik.

Saya mengenal the Pixies melalui artikel tentang sang gitaris, Joey Santiago, di majalah Guitar yang merupakan oleh-oleh pemberian ayah sepulang dari luar negeri. Joey memaparkan banyak tentang proses kreasi permainan dan sound gitarnya bersama band asal Boston itu. Artikel edisi tahun 1991 tersebut bahkan menampilkan denah guitar-rigs (ilustrasi skema efek-efek dan ampli gitar) Joey. Sebagai anak ingusan yang sedang getol-getolnya mengeksplorasi gitar, saya menjadi penasaran akan musik the Pixies. Apalagi setelah sering menemukan citra logo band tersebut di iklan penjual t-shirt rock pada majalah-majalah musik terbitan luar. Saat itu logo huruf ‘P’ bersayap dengan lingkaran luar aneka warna terlihat teramat keren, serasa terus memanggil sanubari saya untuk lebih mendekatkan diri pada santo Black Francis dan teman-temannya.

Album ini adalah kumpulan rekaman studio terakhir the Pixies. Dibuat ketika ego Black Francis sedang menuju titik kulminasi. Ia tidak menginginkan adanya kontribusi lagu dari anggota lain, seperti Kim Deal, yang biasanya hadir di album-album sebelumnya. Banyak yang menganggap Trompe le Monde secara tidak langsung adalah album solo pertama Francis. Pembubaran band pun tinggal menunggu waktu saja. Tetapi itu semua tidak membuat album ini menjadi lemah dan basi. Dengan pendekatan musik yang cenderung lebih keras dan lirik-lirik surreal nyeleneh berbau fiksi ilmiah khas Francis, Trompe le Monde menjadi sebuah paket perpisahan yang dahsyat. Dari mulai lagu pembuka, “Trompe le Monde” yang singkat, lugas dan padat (berdurasi 1:46 menit) lalu “Planet of Sound” hingga sinisme terhadap hipster indie-rock/college-rock berwujud “Subbacultcha” dan “U-Mass” (Francis dan Santiago merupakan bekas mahasiswa University of Massachusetts). Saat pertama kali mendengarkan “U-Mass” saya sudah merasakan adanya sinisme di lagu tersebut. Dengan lirik seperti “Oh, kiss me cunt… Oh, kiss me cock… It’s educationaaaaal!” dan riff chorus yang seperti “Smells Like Teen Spirit” (entah duluan siapa, Nirvana atau the Pixies, yang pasti lebih dulu "More Than a Feeling"-nya Boston, hehe...).

Salah satu momen favorit saya dalam album adalah ketika mereka mengkover lagu the Jesus and Mary Chain dari album Automatic, “Head On”. Mereka membuat lagu yang ‘lurus’ dan ‘dingin’ tipikal Mary Chain menjadi agresif. Lagu tersebut bersama “The Sad Punk” cukup berandil membuat kasur kamar tidur saya hancur akibat slam dance tak bertanggung jawab. Saya juga ingat masa di mana lagu-lagu seperti “Letter to Memphis”, “Bird Dream of the Olympus Mons”, dan “Motorway to Roswell” mengisi kerinduan saya akan kisah kasih yang tak sampai ketika SMA. Saya jadi senyum-senyum sendiri sekarang. Aneh memang. Masak lagu berlirik fiksi ilmiah tentang alien jadi sarana romantisme percintaan? Ahaha! Musiknya, kawan… Biarkan ia berbicara…

Cd yang tampil di foto bertanggung jawab terhadap Sabtu indah di tahun 1992. Juga terhadap koleksi the Pixies dan album-album indie-rock Amerika lain yang saya beli setelahnya. Penuh sihir. Clockender

Q (10/91) - 4 Stars - Excellent - "...an unqualified triumph...Several of the songs here manage to combine furious garage riffing with sudden flashes of pop melody..."

Photobucket
Source: Seperti yang sudah dijelaskan di atas, saya membeli cd ini dari seorang teman yang bernama Dan Amal Beck. Ayahnya bule, sering ke luar negeri. Cd ini pun dihadiahkan oleh sang ayah dari sana. Tetapi Dan kurang suka dengan musiknya, ia lebih senang hardcore punk. Saya tidak pernah mendengar lagi kabar dari anak itu selain selentingan berita dari teman-teman per-skateboard-an kalau ia sempat menjadi seorang skater profesional di negeri asal ayahnya.

Wednesday, December 3, 2008

The Sundays - Reading, Writing and Arithmetic

Photobucket

For me, The Sundays was one of a kind band! If you want to hear the heavenly voice, it's Harriet Wheeler, vokalis The Sundays. Suara halus merdu nan angelic Harriet Wheeler ditemani permainan gitar David Gavurin (suaminya kelak) yang harmonis khas pop jangly ala The Smiths dan sentuhan dream pop khas Cocteau Twins. The Sundays pun meraih review baik sekali dari para kritikus musik di negerinya, UK dan juga AS pada awal '90-an. Single pertama album ini "Can't Be Sure" meraih urutan wahid dalam chart John Peel Festive Fifty.

Di album perdana mereka berjudul Reading, Writing and Arithmetic, segalanya terasa begitu indah dan sempurna.Takkan pernah bosan mendengar album ini berulang-ulang. Materi lagunya pun ciamik, tersusun atas hook-hook gitar yang jernih dan layered, serta melodi pop khas Johnny Marr, seperti "Hideous Town" atau "A Certain Someone", menambah kesan yang tak ada habis-habisnya akan band ini. Terutama alunan merdu nada dan vokal Harriet Wheeler di setiap lagu berlirik puitis sekali, you can fall in love with her just by hear her voices, quickly, instantly. So much heaven.

Siapapun yang (pernah) memiliki cd ini atau paling tidak mengenal The Sundays tentu tak bisa lupa dengan single legendaris dari album ini, "Here's Where the Story Ends." And for myself, this album is the most beautiful gem! It has lots of memories and stories personally. Dan siapapun yang mendengarnya akan berkata bahwa album Reading, Writing and Arithmetic adalah salah satu karya debut masterpiece paling sempurna yang pernah ada, jika boleh diklaim begitu. Marr

Q (8/96, p.141) - 4 Stars - Excellent - "...it deserves a frame in the great British gallery of indie classics....gorgeous examples of jangly bedst pop, decorated by Harriet Wheeler's dulcet tones....a sweet, sexy, sticky toffe pudding of a record..."

Source: I had this cd from Taman Puring, circa 2004. Beli sama Mr. Berry, a skatepunk legend di ibukota who used to run a secondhand records kiosk at Taman Puring few years ago, hehehe... :P

Photobucket

get the link!

buy it!