Monday, December 24, 2012

Donat Tujuh Inci Rumahsakit

Tak berselang lama reuni dan album (kompilasi) terbarunya di awal Desember, Andri Lemes cs, kembali bersiap dengan kejutan terbaru. Bersama label yang banyak maunya, Banyak Mauu Records, Rumahsakit akan merilis vinyl 7 inch di awal tahun 2013.

poster rilis donat 7 inci rumahsakit
Dari segelintir band indie lawas tanah air yang saya harapkan bisa dirilis kembali dalam bentuk vinyl, tak lain Rumahsakit. Saya kerap lempar topik dengan teman-teman, soal band-band  apa dan rilisannya bakal seperti apa. Dan ketika bicara band Andri Lemes cs ini, semuanya setuju dan sepakat jika ada yang bisa ngomporin Rumahsakit untuk sebuah rilisan semacam itu.

Awal tahun 2012 saat saya lagi ngebantu Planetbumi di acara Jaktv, sempat bertemu dengan Andri dan si Anda Twins (atau si Andi kembarannya yah?) dan ngomongin niatan si Anda (atau Andi?) yang tertarik merilis kembali dua album Rumahsakit dalam bentuk vinyl. Tetapi yah, tak ada terdengar lagi kabarnya.

Dan akhirnya, sebuah label baru yang dirintis oleh kedua teman, Banyak Mauu Records, berhasil membujuk Rumahsakit untuk dibuatkan rilisan versi vinyl berukuran diameter tujuh inci, biasa disebut donat. Saya pikir ini adalah hal paling keren untuk menyambut reuninya kembali band britpop lokal idola ibukota Jakarta seperti Rumahsakit.

Ketika mampir di Holybazaar, Ruang Rupa, teman saya membawakan plat test pressing dan diputarkan oleh DJ AK-47. Dua lagu di donat adalah Anomali dan Hilang, dua trek yang saya pikir mewakili masing-masing kedua album legendaris dari band asal kampus IKJ ini. Eklektik dan britpop.

test pressing on my hand!
Saya jadi ingin curcol betapa Rumahsakit begitu berkesan secara pribadi, yang tentunya bakal panjang lebar dan membuat bosan. Mungkin saya simpan saja sampai dirilisnya donat itu. Bayangkan, sebuah rilisan bersejarah dari band yang jebolan skena indie lokal era 90-an yang kabarnya dilaunching di awal 2013. Donatnya indie darlingnya ibukota Jakarta, saya akan sabar menanti saatnya tiba. Comin' soon, amigos!

Thursday, December 20, 2012

R.E.M. - Monster

Photobucket
R.E.M. adalah legenda. Titik? Tentu tidak, untuk sebuah band yang telah berdiri sejak awal awal 1980-an hingga sekarang, tanpa kenal lelah, turut membidani 'lahirnya' kawanan band-band alternative di pelosok kota AS yang begitu terinspirasi oleh mereka. Keempat pria ini asal kota Athens, Georgia ini juga menandai jejak historis ketika postpunk memilih saatnya untuk keluar dari gelap temaram, dan menikmati kegairahan sinar mentari alternative rock, namun tetap D.I.Y, dan idealis.
So, pendek kata, selama dua puluh tahun itu, puluhan album telah dirilis, melewati berbagai era gejolak dan revolusi musik; mulai dari era berseminya skena american underground music, lalu Nirvana datang menampar milyaran telinga anak muda di dunia, sampai detik ini, berikut ragam kritik terbaik dan terjemukan. Buat saya sendiri, R.E.M. adalah sebuah enigma yang sangat mengasyikan dalam setiap album-albumnya. Namun, justru pada sebuah album berjudul Monster lah, dimana saya justru meresapi esensial dari band ini, bahkan bukan dari album-album terbaik mereka seperti Automatic for Life, Out of Time, dan lainnya.
Maka peristiwa membekas itu terjadi ketika di pertengahan 90'an, saat bercelana abu-abu, sebuah kaset R.E.M terpinjam dari seorang teman lama. Ketika itu memang gerombolan US alternative bands lagi jaya-jayanya di toko kaset seluruh dunia, dan album Monster mewakili masa tersebut. Album kesembilan R.E.M dirilis tahun 1994 ini merupakan album yang didisain nge-distorsi oleh band yang dihuni oleh Michael Stipe (vokalis), Peter Buck (gitaris), Mike Mills (bass), dan Bill Berry (drumer). And, hell yeah, this album trully one of a kick ass 90's alt record for me!
Aransemen lagu-lagu yang simpel, namun sangat 90's alt-ish sekali. Singel pembuka, What's the Frequency, Kenneth? menampilkan sebuah lagu folk sederhana dengan gitar distorsi fuzz yang keren. Lagu Circus Envy tampak seperti R.E.M sedang ber-grunge ria di sudut pub di kota Seattle. Sebuah lagu favorit saya berjudul Crush with Eyeliner, dimana tremolo efek berbalut fuzz distorsi, benar-benar membuat diri saya terkagum pada aransemen lagu yang simpel namun tetap enak didengar, dan alternative sound sekali. Thurston Moore turut menyumbangkan permainan gitar dan backing vokal pada lagu Crush with Eyeliner, and yeah that's a cool fact.
Lagu-lagu lainnya di album Monster ini, tentu tak berwajah monster semua. Trek-trek kontemplatif seperti Tongue, dengan perkusi serta piano organ, membuat album ini semakin asyik didengar bagi saya. Lagu Strange Currencies siap membius, seperti sebuah sekuel dari singel lawas mereka terdahulu, Everybody's Hurts. Tapi tentu saja kekuatan lirik dari Michael Stipe adalah roh dari semua album-album R.E.M., termasuk album Monster. Salah satunya, sebuah lagu berjudul Let Me In yang didedikasikan untuk sahabat Stipe, Kurt Cobain yang tewas bunuh diri beberapa bulan sebelum album ini dirilis. Kocokan gitar Buck full distorsi reverb bergema, serta lirik bervokal khas Stipe menjadi balada penuh haru dan refleksi terakhir atas Cobain yang gagal menghadapi kehidupannya yang absurd.
Album Monster memang mengangkat bagaimana kehidupan selebritas dan popularitas bak sebuah monster yang dapat menelanmu pelan-pelan secara mengerikan. Sekaligus reaksi R.E.M. atas kegilaan atas popularitas yang mereka alami, berikut contoh sempurna seorang Kurt Cobain. Toh, Cobain yang memang mengidolakan R.E.M. pernah berkata betapa Stipe cs musisi luar biasa cerdas, dan mampu mengatasi kegilaan sukses dan popularitas dengan baik sekali. Begitu kentalnya refleksi tersebut hingga album ini juga didedikasikan kepada sahabat R.E.M. yang tewas overdosis di tengah ketenarannya, seorang aktor muda sangat berbakat, River Phoenix, seperti tertulis di akhir sleeve album "For-river". Dan mereka semua itu telah tertelan pelan-pelan melalui sebuah monster, dan album ini menceritakannya kembali.
hints: pada saat R.E.M. melayat di rumah Cobain selepas pemakaman, Courtney Love memberikan gitar Fender Jagstang milik Cobain kepada Buck. Gitar ini kemudian dipakai pada sesi rekaman lagu What's the Frequency, Kenneth?, dan juga turut tampil di videoklip singel tersebut.
source: setelah satu dekade lebih sejak pertama mendengar album ini, akhirnya terbeli juga cd-nya di DU, Bandung hehehe puas pisan.
Photobucket

Wednesday, December 19, 2012

Jakarta 2013: The Stone Roses dan Weezer

Awal tahun 2013, Indonesia akan kedatangan dua band legendaris, the Stone Roses dan Weezer. Kesempatan berhaji lagi bagi para scenester lokal selepas kehadiran Morrissey.

Rasanya, 2012 dan 2013 telah dan akan menjadi dua tahun yang berkesan bagi diri saya. Dua band yang bisa didaulat sebagai panutan bagi para penggemar musik alternatif indie britpop era 90-an, yakni Weezer pada 8 Januari dan the Stone Roses pada 23 Februari. Kejutan yang tak diduga-duga!

Well, tak ada yang menyangka jika tahun 2012 Morrissey bisa beraksi di Indonesia, hal yang sama sekali terlintas di benak saya, termasuk mungkin anda. Dan tiba-tiba sang Imam Miserable-ism mengejutkan kita semua, bahkan dirinya sendiri dengan menempatkan Jakarta sebagai momen konser terbaik yang ia pernah alami selama ini setelah melihat betapa menggeloranya para penonton.

Dan kini Weezer dan the Stone Roses akan bergiliran menghibur kita semua. Weezer akan membawakan lagu-lagu dari album Biru-nya, dan the Stone Roses, well, mereka telah reuni dan apapun lagunya, kita semua akan berdansa dan bernyanyi bareng.

Dahulu, menonton band-band keren menjadi hal yang tak semua orang bisa nikmati. Saya pun sudah girang hanya dengan mendengar kisah orang-orang yang pernah menonton band idola saat mereka sekolah atau kuliah di luar negeri. Rasanya keren banget. Epik.

Dan kesempatan berhaji pun menjadi milik semua orang, duit cekak atau tajir; semua akan mendapatkan momen terindah. Sepertinya, kedua konser ini patut dihadiri, momen yang belum tentu bisa datang untuk kedualinya.






Thursday, November 29, 2012

Just For a Day, Lost in the 90's. For Real!

Kira-kira lebih dari sebulan lalu, ruang basement Cafe Mondo dan toko kelontong aneka macam vinyl, High Fidelity berubah menjadi tempat nostalgia langgam lawas di era 90-an. From Britpop till Sarahesque, and yeah, Shoegaze. 



Entah kenapa jika bicara tentang era 90-an, saya selalu bersemangat, khususnya di lanskap musik alternatifnya. Ketika itu band-band alternatif tampak begitu kerennya, seakan representasi dari the coolness of generation x, generasi era segituan, istilahnya. Gara-gara Nirvana, setiap insan remaja dan muda menikmati asupan musik dari tanah Inggris dan Amrik yang memesona, tapi juga adiktif dan 'berbahaya'. Semacam era revolusi musik kedua setelah Beatles, yang tak hanya merubah selera musik mainstream, tetapi juga gaya hidup.

Sensasi masa lalu itu seakan tak pernah putus meski sudah dua dekade. Ketika Coldplay dan The Strokes memukau dunia, diikuti barisan band-band NME dan Pitchfork bermunculan, saya malah seperti tak merasakan greget yang membuat saya menggilai band-band di era 90-an. Yah, itu memang lebih dari sudut pandang saya sendiri. Bagi saya, era 90an tampak lebih keren dan orisinil.

Nah, hal itu saya rasakan sendiri ketika membuat sebuah acara Tribute to 90's Shoegaze, 3 tahun silam. Bejibun orang datang, dan setiap muka mewakili usia dari generasinya masing-masing. Dan hal ini kejadian lagi ketika dua owner High Fidelity mengorganisir sebuah acara bernama Just For A Day, dengan menampilkan enam selektor yang memutar plat hitam favorit mereka, mulai dari era Sarah, Britpop, sampai Shoegaze. Para selektor berinisial, peterlovefuzz, fzbz, kumyka, youthee, deebank, dan bckwrds, menampilkan koleksi shoegazing yang apik, mulai dari Slowdive, Catherine Wheel, Curve, Swervedriver, Chapterhouse, hingga MBV.

Saya ingin berbagi sebuah link blog yang menampilkan pepotoan dari acara tersebut, berikut tulisan dari sang pemilik blog yang juga memotret momen-momen di acara, yang berakhir hingga jam 2 pagi. Sekitar enam jam perjalanan lintas masa lalu yang penuh kesan dan pesan. Pesan bahwa era 90-an tak akan pernah tergantikan oleh kekinian, karena memang begitu adanya, dan spesial.

So, silahkan masuki ruang blog yang beralamat di http://oxaliseveryday.wordpress.com/2012/11/09/just-for-a-day/

Pictured by Oxalis

Sunday, July 15, 2012

Planetbumi - The Worst of...

Band lawas indie ibukota ini merilis sebuah album yang sarat 'keburukan' dan juga pencarian yang belum berujung hingga saat ini. Album Planetbumi bertajuk 'The worst of...'


Planetbumi - The Worst of...


Segala keburukan. Planetbumi mempersembahkan hal tersebut pada album terbaru mereka, bertajuk 'The Worst of..', sebuah album yang tidaklah buruk. Mungkin Planetbumi hanyalah ingin bermain kata dari album terakhir mereka setelah Working Class Zero. Memperdaya? Bisa jadi, dan mungkin kepada mereka yang baru ingin berkenalan secara pribadi dengan band yang digawangi oleh Nyoman (vokal), Helmy (drum), dan Molly (basis).

Jangan berharap sebuah kumpulan materi bernafaskan Morrissey-esque, karena di album ini tak akan seperti itu. Terkaget? Tentu tak bisa disalahkan karena Planetbumi selama ini memang dikenal sejak era Poster hingga saat ini sebagai band yang sudah dipercaya sahih sebagai salah satu band tribute Morrissey/The Smiths di scene lokal, selain Generosity dan ETA (Bdg)


Sang vokalis pun, ketika saya ungkit hal ini, tak memungkiri kenyataan bahwa seperti ada sebuah 'kutukan' sebagai sebuah band tribute. Semua orang selalu menanti band ini tampil dengan repertoar klasik dari Morrissey dan The Smiths. Dan entah bagaimana, materi-materi pribadi mereka agak di-anaktiri-kan oleh mereka setiap di atas panggung, dan itu dilakukan Planetbumi demi menghargai fans mereka.

The Worst of.., album yang agak tricky dan membingungkan. Seperti sebuah album perdana, lebih tepatnya, dan ternyata hadir sebagai album penuh keempat mereka.



Planetbumi era Working Class Zero's album
Album ini seperti sebuah kanvas dengan aneka macam warna. Mosaik dari segala hal yang berkelebat sepanjang sejarah band ini. Sederhananya, sebuah parade inspirasi musik dari para personil Planetbumi. DNA tetaplah Britpop, tetapi aura yang hadir di setiap lagu berbeda-beda, mulai dari The Smiths, Shed Seven, The Stone Roses, hingga Oasis.

Materinya tak mengecewakan. Satu trek lagu berjudul Buta Mata Hati Mati, begitu The Smiths-esque, lalu For You yang indies, lalu ada juga trek lagu Berenang Tenang dan Trampolin yang jangly. Musibah Besar Menanti, well, jelas sekali Oasis menjadi salah satu inspirasi band ini, Nyoman melagukan lirik dengan suara seperti Liam Gallagher. Dan bagusnya, hasil mixing dari album ini rapi dan tight.

Dalam satu percakapan dengan Helmy, saya mendapati bahwa selama proses rekaman kurun 2 tahun, Planetbumi ternyata belumlah memiliki gitaris tetap. Saya awalnya berpikir bergabungnya Rully dari Telegraph ke band ini, akan menjadi gitaris utama mereka setelah Aroel dan Ekky pamit. Toh, di album ini ternyata Aroel pun berpartisipasi, bahkan Nyoman pun juga sumbang permainan gitar dan lagunya sendiri.

Analisa awam saya berujung pada konklusi, album ini seperti perjalanan yang tampak terlihat 'buruk' dengan tidak ada gitaris utama, sebuah posisi penting untuk musical crafting di sebuah band. Apalagi untuk sebuah album penuh. Untungnya Planetbumi tetap meracik sekumpulan materi tanpa harus terpekur memusingkan line up. Mereka memiliki teman yang siap bantu, dimana pun, kapan pun.

Pencarian mereka pun harus berlanjut. Tetapi tentu mereka harus buru-buru temukan the right dude, dan....jangan anak tirikan lagu-lagu apik di album ini setiap kali naik panggung. And that could be the worst choice. Marr

---------------------------------------
beli album terbaru mereka di toko-toko musik indie atau kontak laman facebook mereka.
http://www.reverbnation.com/planetbumiband

Tuesday, April 24, 2012

Bangkutaman - Love Among the Ruins

Sambut Record Stores Day 21 April lalu, Bangkutaman merilis ulang album debut mereka, Love Among the Ruins. Kemasan baru, sebuah album nostalgia.




Profil band asal Yogyakarta ini bisa menjadi contoh bagus perjalanan sebuah band anak indie menuju kematangan bermusik. Terkagum pada musik Madchester, khususnya The Stone Roses, Wahyu Nugroho a.k.a. Acum (vokal, basis), Justinus Irwin (gitar), dan Dedyk Iryanto (drum), mendirikan band bernama Bangkutaman satu dekade lalu. Mereka meracik lagu-lagu yang kentara sekali tersihir oleh band idola mereka saat itu, The Stone Roses, lalu menelurkan debut album bertitel Love Among The Ruins.

Respon debut album pertama mereka cukup baik. Namun perjalanan waktu mereka tiba-tiba vakum, dan muncul kembali dengan sebuah kejutan bertitel Ode Buat Kota, sebuah album yang berbeda dari debut album mereka itu. Lebih dewasa dan matang. Acum cs. berhasil mendisain kembali warna musik yang lebih orisinil dan jujur di album tersebut. Kuat dugaan, plat-plat hitam dari Bob Dylan, Velvet Underground, hingga band-band obscured lainnya di era 70-an yang dikoleksi Acum turut berandil besar dalam eksplorasi karakter musik Bangkutaman saat ini.

Love Among the Ruins, sebut saja sebagai salah satu fragmen awal dari antusiasme Acum cs. dalam bermusik. Mereka tersihir dengan lagu-lagu Ian Brown cs., dan mencoba menyadur kembali sensasi musikalitas pionir Madchester itu dalam bentuk berbeda, lagu buatan mereka sendiri. Kita masih bisa tersentil untuk mengaitkan pada lagu tertentu dari The Stone Roses pada saat mendengar Love Among The Ruins.

Yah, seperti halnya Rumahsakit di album pertamanya, yang pekat dengan warna band-band idola mereka juga, seperti The Stone Roses dan The Cure. Seperti halnya Bangkutaman, album kedua Andri Lemes cs., berubah 180 derajat, lebih ekletik (kalau menurut saya hehe). Dan itu hal yang lumrah dan wajar. Bangkutaman sendiri terbilang sukses di album Ode Buat Kota. Baik dari konsep musik dan materi-materinya, termasuk review positif dari jurnalis dan bloger tanah air. Love Among the Ruins adalah langkah bayi dari band ini, sebelum dewasa di Ode Buat Kota. Marr


---------------

LIMITED EDITION OF Love Among The Ruins. Contact @_S_R_M @satriaramadhan +62818496654

Sunday, March 25, 2012

My Violaine Morning - The Next Episode of This World

My Violaine Morning meluncurkan album penuh perdana yang dirilis sebuah label di negeri Sakura. Suguhan segar dan memikat dari band asal Bandung ini. 


Melalang buana, dari Jepang hingga Amerika Selatan. Petualangan musik My Violaine Morning akhirnya bisa lintas kontinen secara fisik setelah album perdana bertajuk The Next Episode of This World, dirilis secara internasional oleh sebuah label indie Jepang, Happy Prince. Dan hanya 100 kopi saja di Indonesia, dari total 600-an kopi yang dirilis label tersebut.

Rilisan MVM di tahun 2012 ini, memang menjanjikan dan patut disimak. Sejak single gratis, Light Inside, album perdana mereka bikin penasaran. Berbasis eksperimentalis a la postrocking di EP-EP awal, empat sekawan yang terdiri dari Roni, Ricky, Risky, dan Baruna meracik 9 trek yang lebih variatif. Light Inside dan Find a Away, misalnya, suguhan sensasi dream pop yang catchy, hingga 99 Miles yang berasa bliss pop. Beberapa materi intrumental menjadi parade limpahan sonik dari para personil MVM. Hasilnya, tak membosankan.

Album ini siap memuaskan para pecandu hamparan nada-nada meruang, yang telah dirintis oleh TheMilo. Tetapi MVM punya cara mereka sendiri, dan album ini menyenangkan untuk dinikmati siapapun. Marr

Order CD: http://www.facebook.com/myviolainemorning

Sunday, March 4, 2012

Campfire Girls - Mood Enhancer E.P.



Ketika narkotika dan zat adiktif berkelindan di urat nadi para musisi, anomali kreatifitas bisa terjadi, bisa berupa sederetan lagu yang brilian atau asal-asalan. Kehidupan pribadi tentu amburadul. Campfire Girls bisa dianggap satu dari sekian banyak musisi/band junkies dengan anomali berupa lagu-lagu keren, terkumpul dalam sebuah EP bertitel Mood Enhacer, dirilis Interscope Records di tahun 1995.

Ber-DNA grunge, Campfire Girls meracik sekitar 7 lagu mengesankan di EP ini. Keliaran para rocker flanel, grunge dan fuzz rock, kombinasi yang apik dan tak pasaran pada eranya. Beberapa lagu yang patut disimak seperti Motorola Casanova, Little Wolverine, atau Junkman, menjadi track yang asyik untuk disimak. Bahkan ada juga lagu akustik yang berjudul P.F.A.M.G. (Perry Farrell Ate My Girlfriend), memiliki kedalaman melankolis seperti Pennyroyal Tea versi akustiknya Nirvana (menurut saya). Plus bonus satu lagu ngumpet a.k.a. hidden song, Strawberry Fields Forever milik The Beatles, dibawakan ulang oleh Campfire Girls, heavy dose!



Band ini sendiri terdiri dari Andrew Clark (bas), Jon Pikus (drum), dan Christian Stone (gitar dan vokal). Berada dibawah label segede Interscope Records, tentu tidak sembarangan. Materi mereka menjanjikan, meski sayangnya, para personil band ini mulai tak terkontrol akibat narkotika dan akhirnya dilepas oleh label. Namun EP ini adalah salah satu jejak keren dari musik 90s-alt di pertengahan 1990-an, dan patut disimak oleh pemerhati khasanah musik 90's.

Editorial reviews
...Slinky, slow tempos build, crash in on themselves and revive. Power riffs soar only to settle back into a murky melancholia...
Option  (01/01/1996)

Feeling The Pains of Being Pure At Heart at Jakarta

Didukung dua band pembuka, Polyester Embassy dan White Shoes and The Couple Company, band asal kota New York, The Pains of Being Pure at Heart memukau beberapa ratus pasang mata di Balai Sarbini.

The Pains at Balai Sarbini
Duh, begitu sepinya malam Sabtu, bertanggal 2 Maret itu. Setelah bersalin dari kantor dan siap berangkat menuju Balai Sarbini, tempat dimana Kip Berman cs., sama sekali tak kebayang kalau acara yang diusung CHMBRS ini hanya dipenuhi oleh sekitar 400an orang saja, dari kapasitas ruangan yang bisa menampung 2000an.  Padahal band ini bisa dibilang termasuk menjadi band populer didengar oleh scenester di tanah air.

Jam 7 saya dan teman, Tommy the Drowner, sampai di pintu masuk tempat acara, dan tak ditemui ada keramaian atau sesaknya penonton. Pada saat pintu masuk dibuka pun, pada jam 8-an, tak ada tuh antrian memanjang layaknya sebuah konser musik. Bahkan ketika masuk ke ruang konser, begitu melompong, bahkan saya sampai bisa tiduran saking sepinya.

Dugaan sementara, mungkin karena heboh konser Morrissey di Indonesia yang sudah berkicau sejak minggu kedua Februari, lalu acara Java Jazz (entah yah) bertepatan pada tanggal tersebut, sepertinya telah membunuh momentum konser The Pains of Being Pure at Heart. Mungkin banyak yang memilih tak datang agar bisa membeli tiket Morrissey yang semakin sulit dicari itu. Wallahualam.

Semakin dinginnya ruang konser, dan sepinya penonton tak membunuh niat kami, toh tiket sudah terbeli dan band yang rilisannya via Slumberland ini patut disaksikan. Kapan lagi bisa melihat Kip dengan suara teduhnya, dan Peggy Wang yang cute hehehe...

Polyester Embassy menjadi band pembuka pertama. Band postrock asal Bandung memulai dengan keriuhan efek-efek mereka, dan cabikan bassline yang rough. Sayangnya, kedua ampli dari masing-masing gitaris tampak berebutan siapa yang paling keras dan meraungi ruang konser. Mungkin belum ada check sound?

White Shoes and the Couple Company tampil selepas Polyester Embassy. What else can i say anymore, they're the best indie band in Indonesia, fuckin class! Sari cs. begitu memikat dan rapih, dan juga piawai dalam merajut keintiman dengan penonton melalui lagu, dan juga Sari sendiri. Bahkan Kip pun mengidolai band ini, dan mengapresiasi band yang lahir dari kampus IKJ saat tampil di atas panggung. Class, and international!

Kip Berman dengan Telecaster-nya
Setelah itu, hadirlah Kip dan gengnya. Dan sekitar 400an orang bergembira dan menikmati lagu-lagu dari kedua album dan B-sides, meski harus merapatkan jaket saking dinginnya Balai Sarbini. Saya lupa lagu-lagu apa saja, tetapi semua lagu mulai dari Contender, Come Saturday, sampai Say No To Love, ditampilkan dengan mengesankan, dan membuat saya terus joget dan lupa umur. Soundsnya tertata rapi dan Kip cs tak terpengaruh dengan jumlah penonton yang tak begitu banyak.

Overall, terlepas dari sepinya penonton, Big Thanks buat CHMBRS dan Revisions untuk menghadirkan band berkelas ini. Two thumbs up!

Thanks for Joan Lumanauw for gave the permissions of concert photos
Thanks for Kip, bisa foto bareng dengan kami :))

Tuesday, February 28, 2012

Morrissey Live in Jakarta, OMG!


Akhirnya, mimpi itu menjadi kenyataan. Mimpi yang nyaris seperti sebuah ilusi yang musykil terjadi di setiap asa terpendam di hati para penggemar Morrissey di Indonesia. Kerinduan mereka hanya bisa ditambatkan pada video streaming di Youtube yang menampilkan sosok Morrissey secara hidup untuk para penatapnya di komputer masing-masing.

Melihat secara langsung sosok pria pendiri The Smiths ini di atas panggung hanya bisa dilakoni oleh anak-anak muda yang pernah mengenyam pendidikan atau bekerja di luar negeri, bagi yang berduit tak ada masalah untuk itu. Kini semua orang memiliki kesempatan mulia itu, ketika sebuah posting di Morrissey-Solo.com dan situs resmi Morrissey, True-to-You.net, menginformasikan bahwa Indonesia masuk ke dalam rangkaian tur dunia Morrissey pada 10 Mei 2012.

Sekejap berita ini menyeruak di berbagai situs social media, dan membuat heboh setiap orang, termasuk saya. Tak lama, kabar berikutnya, Indikapro, menjadi pihak yang berjasa besar membawa pria baya ini ke tanah air. Reaksi para fans lokal akan kabar itu, ada yang sampai menangis, merinding, speechless, sampai tiba-tiba mendadak sehat dari sakitnya (hahaha itu saya :D)

Bagi para fannya, Morrissey tak sekadar seseorang yang diidolakan atas musiknya. Ia lebih dari itu. Morrissey seperti seorang 'wali', yang mewakili suara hati para fannya melalui lirik-lirik yang puitis namun bisa nakal, sinis, dan sarkastis; elegan dan jenaka. Ia memeluk hangat hati-hati terabaikan, mosaik kehidupan dan asa yang tak seindah para rupawan. The king of mopey and miserable songs!

Saya sendiri pertama kali mengenal Morrissey, ketika dipinjami kaset Beethoven was Deaf, sebuah album live. Lagu-lagunya memikat dan saya seperti merasakan betapa Morrissey dan para penontonnya seperti begitu intim, seperti ada chemistry alias kimiawi misterius yang belum pernah saya kenal sebelumnya. Sekejap, saya langsung merasa klik dan penasaran sosok penyanyi itu, berlanjut dengan penjelajahan nge-band covering Moz dan The Smiths, - salutes for The Morris, The Beos, The Grasmeres, Moz is the Reason, Planet Bumi dan Glue (so kindly for lettin' me to ngebantu adisional hehe), dan satu band yang belum ada namanya hehehe (big thanks to Anggar yang pertama kali ajak ngeband bawain Moz :P)

Dan, sekarang, Idola kita semua, Morrissey, ternyata mau untuk tampil di Indonesia! Dengan tiket festival mulai dari harga Rp550ribu, sampai VIP 2 Jutaan, sebuah kesempatan emas bagi siapapun yang merindukan beliau. Saya berniat untuk tak hanya menontonnya, tetapi juga cuti 3 hari, agar bisa mencegat dia di Bandara Soetta, nungguin di Hotel, sampai bila perlu kemah di Tennis Indoor Senayan hahaha (kissing him? why not LOL)

Well, guys, selamat buat kita semua, He's come to Indonesia, with love and music. Marr

Join fanbase Morrissey di Morrissey United Fan Club Indonesia

Wednesday, December 28, 2011

Biff Bang Pow! - Debasement Tapes



Biff Bang Pow!, tempat dimana Alan McGee mencoba peruntungan musikalitasnya. Pendiri label Creation Records ini mungkin tak sesukses band-band yang hidup di labelnya, namun jejak bermusik produser musik asal Skotlandia ini patut dicermati dan menarik.

Alan McGee sendiri sudah ngeband sejak tahun 1981 di sebuah band bernama The Laughing Apple di Glasgow, Skotlandia. Setelah pindah ke London, Alan mendirikan sebuah band baru bernama Biff Bang Pow!, diambil dari salah satu lagu dari band nuggets idolanya di tahun 1960-an, The Creation.

Biff Bang Pow! terdiri atas Alan McGee (vokal, gitar), Dick Green (gitar), Joe Foster (bass), dan Ken Popple (drum). Album yang tertampil di blog ini adalah sebuah kompilasi b-sides dan outtakes, dinamai Debasement Tapes. Dirilis pada tahun 1992, dibawah label binaannya Creation Records, album ini seperti sebuah kompilasi atas tendensi Alan terhadap band-band jenius yang berhasil ia temukan berkat nalurinya selama menjadi produser musik di era 80-90an. Mulai dari jangly, postpunk, noisepop, folk, hingga indie pop hadir di Debasement Tapes.
Lagu pembuka, Long Live Neil Young and All Who Sail With Him, kentara sekali dari judulnya, sebuah apresiasi terhadap sang legenda Neil Young, yang ia hormati melalui sebuah materi folk rock. Satu lagu lagi sejenis, In Bed with Paul Weller, sebuah materi untuk Paul Weller, dengan iringan organ dan kocokan gitar berdistorsi tipis dan ketukan drum yang santai.

Inside the Mushroom, sebuah lagu zat adiktif yang kental elemen noisepop disana-sini.  The Death of England, menampilkan indie pop era 86, dengan sayatan biola pada gitar yang menjadi ciri khas gitaris band idola Alan, Eddie Phillips dari The Creations. Lagu dengan tensi cepat, It Makes You Scared, menjadi salah satu lagu favorit saya, terasa jangly dan indie rock.

Keseluruhan lagu-lagu di album ini, sajian gitar dikemas dengan dominasi reverb, termasuk akustiknya. Noise reverb berlebih kebetulan ciri khas dari band-band dari label Alan pada saat itu, umumnya bergenre noisepop dan shoegaze. Marr

OST Amateur - Soundtrack



Banyak album soundtrack film di era 90-an yang dikenang hingga kini. Sebut saja High Fidelity, Reality Bites, dan masih banyak lagi. Namun bagi saya, hanya ada satu album soundtrack yang benar-benar mengesankan, serta mewakili sebuah generasi musik pada saat itu, musik latarnya 'Generasi X'. Album soundtrack itu adalah Amateur, dari produksi film berjudul sama pada tahun 1994 yang disutradarai oleh Hal Hartley.

Film Amateur sendiri mengangkat plot seorang tokoh yang amnesia, berusaha bangkit dan menemukan jati dirinya. Album soundtracknya sendiri berbeda dengan album soundtrack film sejenis yang menampilkan para hit-makers atau pencetak jutaan kopi. Hal Hartley menggandeng label Matador Records merilis daftar band dan musisi alternatif yang mewakili 'Generasi X'. Sebut saja, mulai dari My Bloody Valentine, Yo La Tengo, PJ Harvey, Bertie Servert, hingga Pavement. Total ada 9 lagu dari 9 band atau musisi di album kompilasi ini.

Daya pikat album soundtrack ini semakin menjadi-jadi dengan disuguhkan enam komposisi gubahan score film yang begitu indah, khas komposisi ambient dari Brian Eno. Komposisi ini sendiri dibuat oleh Hal Hartley dan Jeffrey Taylor. Dijamin, bagi yang suka kegalauan, bakal terpesona oleh keenam komposisi tersebut.

Overall, album soundtrack ini adalah mengesankan sekali. Bahkan dari sebuah kaset dari Amateur pula (saya pernah punya versi kasetnya dari seorang teman), saya akhirnya mengenal musik shoegaze dan indie rock secara bijak dan sahih. Marr


It's Hartley's most ethereal sound, featuring keyboards, strings, and vocals, and while it's less pop-oriented than his other work, it's no less arresting. --Randy Silver

Get The Link!

Sunday, November 20, 2011

Noises By Gap - Sonic Sun

Umurnya hanya 18 tahun. Namun ajal terlalu cepat menjemputnya sebelum skena lokal mengenal lusinan lagu-lagu eklektik folk shoegaze memikat dan imajinatif yang tersimpan di laptopnya. Ia bernama Gendra Aldyasa Pasaman (1992-2010).

Sungguh, saya tak menyangka kalau penggubah album Sonic Sun, ternyata satu orang yaitu Gendra Aldyasa Pasaman, dengan memakai nama Noises By Gap. Ketika album itu muncul di etalase Aksara, saya sudah penasaran seperti apa sosok band ini ketika berada di atas panggung. Sampai sebuah artikel dari Rolling Stones yang berjudul Haru Biru di Peluncuran Album Sonic Sun Milik Noises by Gap, mengejutkan saya dengan kematian Gendra sebelum album ini dirilis!

Dirilisnya album Sonic Sun, pun tak lepas dari peran dua personil Agrikulture, Anton dan Hogi Wirjono. Ketika diwawancarai RSI, mereka menemukan materi-materi Gendra ketika sedang melihat isi laptopnya. Sekumpulan musik bernuansa shoegaze langsung memikat mereka. Anton dan Hogi segera menyambangi Iyub, produser dan otak Santamonica, untuk melakukan proses mixing dan mastering ulang.


Noises by Gap - Sonic Sun

Materi-materi mentah hasil polesan Iyub pun tersaji di album ini. Gendra meracik kesan akustik folk, eklektik, electronic, dan shoegazing terkini dengan apik. Terasa sekali pengaruh band-band shoegazing era 90-an seperti The Verve (album Storm in Heaven), Spoonfed Hybrid, Pale Saints, ataupun My Bloody Valentine. Dan Gendra melakukan semua isian dari seluruh materi seorang diri dengan sistem home recording hanya menggunakan gitar dan sebuah software musik.

On My Way, menjadi salam pembuka instrumental album Sonic Sun yang kentara sekali kesan space rock, dreampop, dan shoegazing. Lagu berikutnya, Sonic Gaze secara perlahan menerpa dengan gelombang gitar akustik, berselimutkan fuzz dan reverb penuh adiksi. Superstar menjadi lagu ketiga yang sejuk. Kabarnya telah dibuatkan videoklipnya, Gendra meracik gitar akustik lagu ini disandingkan dengan nuansa tremolo fuzz, menambah pekat atsmosfir lagu.

Alm. Gendra Aldyasa Pasaman
Beberapa lagu lainnya di album ini yang juga patut diperhatikan, sebut saja  zzz, sebuah materi yang dimana Gendra bermain-main dengan loop dan synthesizer. Folk akustik yang begitu pekat, tampak juga di lagu One More, mengingatkan keteduhan slowcore a la Red House Painters. Lalu, The Moon is Your Friend, membuai sebagai penutup jendela imajinasi Gendra yang begitu liar. Album Sonic Sun oleh Noises by Gap, bisa saya sebut sebagai album shoegaze lokal yang detail, unik, dan artistik.

Terjatuh dari lantai 15 sebuah apartemen di daerah Jakarta Selatan, tak pelak akhir tragis dari remaja ini. Mungkin segetir kisah para musisi muda cerdas yang keburu tewas sebelum albumnya dipuji orang banyak, seperti Andrew Wood dari Mother Love Bone. Namun album Sonic Sun yang dikerjakan selama 6 bulan semasa hidupnya, bisa menjadi awal yang bagus untuk bercengkerama dengan keliaran imajinasi dan musikalitas Gendra yang harus berhenti selamanya. (Marr)

star Pictures, Images and Photosstar Pictures, Images and Photosstar Pictures, Images and Photosstar Pictures, Images and Photos

Album Sonic Sun, bisa dibeli di toko musik khusus seperti Aksara dan sejenisnya. IDR45.000. 

Check his songs, online streaming at http://noisesbygap.bandcamp.com/album/sonic-sun

Thursday, September 15, 2011

Freedy Johnston - This Perfect World



"Known for the craftsmanship of his songs, he has been described as a "songwriter's songwriter (wikipedia)"

Ketika saya masih SMA di tahun 1996, ada satu lagu di radio yang sempat menghantui telinga dan pikiran saya hingga 3 tahun silam. Musiknya seperti country folk, dan liriknya simpel namun mengena di hati. Lupa judulnya, namun masih ingat dengan potongan liriknya, '...i know i've got a bad reputation..'. Kenangan itu juga muncul gara-gara saya, pak Drowner, dan mas Clockender begadang di kantor saya, iseng membuat playlist seratusan lagu one hit wonder alternative yang pernah kami dengar selama ini di komputer saya, sampai subuh.

Dunia maya pun menjadi sang penolong dengan mesin pencari google, saya mendapati jati diri sang penyanyi beserta liriknya, plus video di youtube. Sang penyanyi itu adalah Freedy Johnston, dan lagunya berjudul Bad Reputation. Muncul di era 90-an, Freedy memperoleh apresiasi sebagai salah satu pencipta lagu yang bertalenta. Gubahan musiknya berangkat dari musik Americana dan Country dimana masa mudanya dihabiskan bersama rekaman-rekaman Neil Young hingga XTC. Liriknya berkesan witty dan personal, apa adanya.

Album This Perfect World adalah satu dari dua album Freedy yang mampir di toko kaset kita. Kover albumnya menampilkan foto klasik dua pasangan manula duduk di depan Taj Mahal, bikin hati temaram seperti ketika mendengar semua lagu yang ada di album ini. Diproduseri Butch Vig, produser legendaris yang meracik album-album Nirvana, Smashing Pumpkins, dan Sonic Youth, album ini memang memperlihatkan tangan dingin Butch dalam mengemas materi-materi Freedy yang jelas berbeda jauh dengan band-band tadi.

Pria asal Kansas ini menggubah 12 lagu yang patut didengarkan dengan seksama. This Perfect World langsung dibuka dengan lagu utama, Bad Reputation yang melankolis. Lagu-lagu lainnya yang patut dinikmati seperti Dolores yang terinspirasi dari novel legendaris Lolita, Two Lovers Stop yang mengisahkan sepasang kekasih yang memilih untuk bunuh diri ketimbang menghancurkan hati pasangannya, atau lagu syahdu berjudul This Perfect World yang menjadi soundtrack film komedi Kingpin yang dibintangi Woody Harrelson.

Saya menganjurkan, siapapun untuk mengenal Freedy lewat album ini. Apapun genre musik yang kita sukai, Freedy akan mendewasakan khasanah musik kita dengan cara yang sederhana tanpa berkesan menggurui lewat lirik dan musiknya. Marr

"his music marries perfectly realized power pop sensibility to skilled, literary writing chops - CDUniverse.com"

Get The Link!

Friday, September 2, 2011

Catherine Wheel - Ferment


Salah satu band yang berangkat dari era shoegazing 90-an yang hanya berusia pendek di Inggris. Catherine Wheel menjadi salah satu band shoegaze yang berhasil memperpanjang usia dengan album-album yang beda rupa. Berasal dari wilayah timur Inggris, band ini merilis sebuah debut klasik berjudul Ferment dibawah label Fontana.

Seperti band-band shoegaze lainnya, Catherine Wheel yang didirikan pada tahun 1990 oleh Rob Dickinson (vokal, gitar), Brian Futter (gitar), Neil Sims (drum), dan Dave Hawes (bas) ini mengedepankan kebisingan yang rapi dari perangkat pedal dengan membayangi vokalisasi Rob pada lagu-lagu mereka. Namun mereka lebih beruntung ketimbang para kompatriot shoegaze lainnya. Album debut mereka diterima baik di negeri Paman Sam, dimana single utama Black Metallic berhasil menduduki nomor sembilan di tangga lagu Billboard Modern Rock. Lagu lainnya, I Want to Touch You juga memperoleh apresiasi yang sama di AS.

Ferment memang ditangani oleh orang yang tepat. Kagum dengan Talk-Talk, Rob dan lainnya mengajak Tim Friese-Greene, anggota tak resmi sekaligus kibordis dan songwriter beberapa lagu Talk-Talk untuk menjadi produser album debut mereka. Dan Tim berhasil memoles materi album Ferment dengan memadukan musikalitas para personil Catherine Wheel dengan apik, saling mengisi dan tidak saling mendominasi.

Beberapa materi keren dari Ferment, misalnya lagu pembuka berjudul Texture. Kebisingan yang harmonis antara Rob dan Futter melalui gitar mereka, menjadi salam pembuka yang hangat. Vokal Rob yang halus, merasuki materi ini dengan penuh perasaan dan emosional. Shallow menjadi salah satu materi yang liar dengan petikan Futter yang hidup dan groovy, dibungkus kebisingan yang apik. Lagu Indigo is Blue, saat dimana Futter dan Rob, leluasa mengolah perangkat pedal mereka dengan manis sesuai karakter lagu tersebut, tanpa berlebihan.

Dua lagu bonus, Salt dan Balloon, menjadi pengakhir menyenangkan dari Rob cs. Catherine Wheel berhasil memfermentasikan sebuah debut album yang mengesankan, khususnya bagi penikmat shoegaze dan british sounds. Marr

..Catherine Wheel's debut spins their dense guitar web around a core of solid melodies and airy vocals..
Audio Magazine (19921101)

Get the Link!
Buy It!

Saturday, July 9, 2011

BRNDLS - DGNR8

photo: fuzztoni




















It takes strength to be gentle and kind, said Morrissey in one of his lyrics, so it kinda suited enough for a band like The Brandals. They've changed into somekind of a different gentle and kind, the coolest as fuck and sexier than any of their previous albums.

Menanggalkan kekasaran maskulinitas proto punk kota Detroit yang telah melekati sosok band kota Jakarta ini bertahun-tahun, dan butuh nyali untuk itu. Sekejap, band yang diawaki Eka (vokal), Tony (gitar), Rully (drumer), dan dua personil baru, Mulyadi (gitar) dan Radhit (basis), memutuskan meracik sebuah album yang tak terbayangkan bakal muncul dari band mereka.

Album bertajuk DGNR8 seperti sebuah album gress dari sebuah band baru. Bagi para loyalis The Brandals, mungkin akan sulit menerima suguhan album ini dari Eka cs yang begitu progresif dan sekali lagi bernyali untuk berkelindan dalam eksplorasi sounds dan konsep. Bahan dasar semacam funk, indie rock, noise pop, dilebur dalam sensasi ruang dan waktu di era 90-an.

Tetapi bagi pendengar baru, khususnya saya (tak terlalu menggemari musik mereka terdahulu), DGNR8 jelas sangat menarik dan keren. Hal pertama yang terlintas dibenak saya ketika mendengar single kedua mereka di internet pra rilis DGNR8, Perak, semacam polesan mosaik dari band-band klasik Creation Records, terutama Primal Scream, Ride, atau semacam album Giant Steps dari the Boo Radleys dari aspek eksplorasi ide. Suara Eka pun lebih kalem laiknya Bobby Gillespie, tak lagi meledak-ledak.

Suguhan ekstra, BRNDLS mulai bersenang dengan sampling, dub, dan loop. Ditangani oleh Alan Moulder-nya negeri ini, Iyub, elemen-elemen tersebut menjadi tampak solid dan menyenangkan untuk didengar. Terpuji bagi Rully yang dahulu terkenal dengan gebukan drum yang bisa membuat memar telinga siapapun, di album ini dia bermain begitu tertata dan artistik. Betul-betul menambah beat groove dari setiap lagu.

Overall, seluruh materi lagu yang berjumlah 10 materi ini mengesankan, termasuk gubahan lirik oleh Eka yang lebih berisi dan tajam, serta terkadang bermetafora. Keberanian mereka layak diberi apreasiasi, berani keluar dari zona aman, dan tetap bercita rasa rock n roll, namun dalam tarekat berbeda. Hate it or leave it, they don't give a fuck!

star Pictures, Images and Photosstar Pictures, Images and Photosstar Pictures, Images and Photosstar Pictures, Images and Photos

Thursday, June 16, 2011

Morrissey Pamerkan Tiga Lagu Terbarunya di Radio BBC! (Free Streaming)

Bagi para pemuja Steven Patrick Morrissey, bersuka rialah, sang solois legendaris berdarah Irlandia namun berhati Inggris, pendiri The Smiths, dan pelirik yang menghibur hati orang-orang yang terlupakan dan tersisihkan, memamerkan tiga lagu barunya di radio BBC, minggu lalu.

Ketiga lagu baru ini, yang masih kentara dengan album Years of Refusal, yang penuh distorsi dan enerjik, yaitu  “Action Is My Middle Name”, “The Kid’s a Looker”, dan “People Are the Same Everywhere”. Pameran lagu ini tentu bisa diendus sebagai isyarat akan dirilisnya album kesepuluh Morrissey sejak tahun 1988, paska bubarnya The Smiths.


Morrissey mengakui telah merampungkan album tersebut, namun belum ada kepastian kapan dirilis dan label apa yang siap menampungnya.  Berikut sepenggal kalimat dari beliau, “The follow-up to Years of Refusal is ready and fluttering wildly against the bars. There is still no record label and the years shuffle like cards. My talents do not lie in DIY.” 

Bersukarialah, wahai Mozzerian di tanah air (dan belahan dunia lainnya). Silahkan bermimpi Morrissey hadir dan beraksi di negeri ini, dan siapapun promotornya. Dan nikmati pranala free streaming dari ketiga lagu tersebut dibawah ini (demi kenyamanan mendengar, klik stop di boks 'video's of the week', di sebelah kanan blog ini).



Morrissey - Action Is My Middle Name (BBC Session) by TheNJUnderground

Morrissey - The Kid's a Looker (BBC Session) by TheNJUnderground

Morrissey - People Are The Same Everywhere (BBC Session) by TheNJUnderground

Wednesday, June 15, 2011

Curve - Pubic Fruit


















Buah rambutan ada di kover album? Well, ternyata itu terjadi dan tampil di kover album band shoegaze UK bernama Curve. Entah apa alasan band ini dengan memasang gambar rambutan atau pubic fruit di gambar kover album mereka. Apakah mereka penyuka buah mungil berambut ini, atau sekadar takjub dengan rupa buah yang bernama ilmiah Nephelium lappaceum?

Tentunya, seperti buah rambutan, khususnya jenis cipelat, Curve yang juga salah satu band shoegaze di daratan UK pada era 90-an, termasuk favorit saya. Daya tarik dari Curve, adalah cita rasa unik daripada band-band shoegaze lainnya. Band ini menyajikan shoegaze yang tetap bermahzab swirling airy sounds dari gitar dan efek, diramu bersama sensaasi funk, electronic, sedikit gotik, dan beberapa pil ekstasi dari musik rave. Suara seksi vokalis perempuan menjadi sensasi candu menggairahkan dari Curve, dan itu bukan gombalan belaka dari saya.

Band ini diotaki oleh dua orang yaitu, Toni Halliday (vokal) dan Dean Garcia (basis, gitar, programer). Latar belakang Garcia yang mantan additional player dan juga pengisi materi di dua album band  Eurythmics. Tak heran musik Curve juga berangkat dari musik yang rada dance tracks. Kedua orang ini yang sempat menjadi kekasih (fenomena cinta yang juga dilakoni MBV dan Cocteau Twins), dibantu oleh Debbie Smith (gitaris dan personil Echobelly), Alex Mitchell (gitaris), dan Steve Monti (drumer Jesus and Mary Chain).

Sebelum rilisan album perdana mereka, Doppelganger, Curve telah lebih dulu melempar tiga album EP berjudul Blindfold, Frozen, dan Cherry. Album Pubic Fruit adalah merupakan kompilasi dari semua lagu dari ketiga album EP tersebut. Bagi saya, album ini betul-betul memiliki sesuatu yang berbeda dari album shoegaze lainnya.

Vokal seksi Toni dan lanskap musik dari Garcia menjadi urat nadi Pubic Fruit. Sebut saja lagu pertama berjudul Ten Little Girls dari EP Blindfold, man! sangat danceable sekaligus headbanging, plus loop dan sampling Garcia yang asyik diselingi ocehan seorang rapper.

Lagu lainnya yang saya sukai, Blindfold. Tampak ethereal, rave, dan shoegazing in the same time. No Escape From Heaven, menyusul dengan beat yang lebih cepat dan keren. Kuncinya tak lain sampling gitar yang ajib, dan drum Monti yang konstan, ditemani permainan bass dan racikan sampling Garcia.

Coast is Clear, termasuk lagu yang juga saya sukai. Suguhan utama adalah vokal Toni yang begitu merdu nan seksi, plus drum loop, sampling dan riff gitar yang ekletik. Hal ini juga ditemui pada lagu seperti The Colour is Hurt, Clipped, dan Frozen.

Salah satu lagu paling seru di album ini, adalah Galaxy. Bagi yang pernah menonton film Mysterious Skins, pasti akan ngeh dengan Galaxy yang juga masuk soundtrack film tersebut. Layak didengar ketika anda berada di tengah jalan tol, dengan jendela terbuka, ketika mengendarai mobil Mustang atau sejenisnya.

Cherry, menjadi lagu pembunuh dari semua trek di album ini. Suara halus bergairah Toni, mengawali lagu yang perlahan-lahan dihampiri oleh hempasan reverb dan fuzz dari berbagai arah, namun dengan arus yang tenang menghanyutkan. Sampling dan drum loop mengisi setiap riak-riak dari hempasan tersebut. Naik dan turun, tak terduga.

Lagu penutup Fait Accompli, akhirnya memastikan akhir dari album bergambar rambutan penuh citarasa ini. Dan saya membayangkan betapa Pubic Fruit pun ternyata bisa begitu menggairahkan, selain manis rasanya. Marr

Toni Halliday dan Dean Garcia
Highly Recommended - ...an endless stream of thirsty underground synth-warp, spiraling like DNA and stamping out rhythm like an army wearing Doc Martens....Where Hendrix ricocheted sound from ear to ear of the headphones, Curve lets it drift back and forth, almost aimless...
Spin  (19930101)


Get The Link!

Sunday, June 12, 2011

Free MP3 by Mellonyellow on Their First EP, Milk Calcium!


Sudah lama saya berandai, mau nggak yah, band shoegaze lokal  favorit saya di ibukota Jakarta, Mellonyellow, mengijinkan saya untuk menampilkan share link dari album mini perdana mereka, Milk Calcium, di blog ini. Alasannya, tak hanya karena materi mereka keren dan seru, tetapi juga untuk memperkenalkan band ini kepada mereka yang mungkin belum sempat mendengar musik mereka.

 Untunglah, personil drum MY, Tyo, mempersilahkan saya untuk memperkaya koleksi MP3 di blog ini dengan karya mereka yang hanya dirilis 100 kopi, yang tak aneh langsung ludes. Secara singkat, seperti pernah diulas di blog ini, Milk Calcium adalah hal terbaik yang hadir di skena shoegaze ibukota setelah Sugarstar, menurut saya loh. Materinya mengesankan dan sangat 90's, tidak harus berlebihan menghiasi musik mereka dengan efek-efek agar terlihat intelek. Hasilnya, sebuah album mini dengan empat lagu yang cool as fuck! Penasaran? Unduh link dibawah ini, A.S.A.P.


ps: ingin detail review album mereka, bisa cek melalui pranala link label 'shoegaze' di blog ini

Get The Link!

Friday, June 10, 2011

The Offspring - Ignition















Bagi para anak SMA di pertengahan 1990-an, sudah pasti pernah dikerubuti oleh begitu banyak aksi band-band alternatif, wabil khusus melalui tayangan acara musik tv swasta dan parabola seperti Alternative Nation MTV, ataupun VH1. Mulai dari band britpop, metal, indie, ska, hingga punk. Nah, salah satu band dari layar MTV yang saya pernah gandrungi ketika masih kelas 1 SMA, tak lain the Offspring. Man, this South California's band was so awesome and kick ass!

Ketika album mereka bertajuk Smash sukses besar, saya termasuk pengidola mereka. Lagu 'Come Out and Play', rajin wara-wiri di radio FM dan acara musik di TV. Tak lama kemudian muncul singel berikutnya The Offspring, seingat saya di radio SK, di program musik alternatif yang dipandu Nugie (lupa nama acaranya), berjudul Dirty Magic. Hey! nih lagu keren banget. Keesokan harinya, saya langsung meluncur ke sebuah toko kaset di Ramayana, Pasar Minggu untuk mencari kasetnya. Dapet!

Terbelilah kaset the Offspring berjudul Ignition seharga Rp7500 (kayaknya segitu). Album ini ternyata album kedua mereka sebelum Smash yang album ketiga. Diputer beberapa kali selepas pulang sekolah di tapedeck merek Sony sampai akhirnya hapal liriknya sampai sekarang. Lagu-lagunya keren banget dan kenceng, plus lirik yang blak-blakkan.

Lucu nan sialnya, suatu malam, tak sengaja saya memencet tombol Record yang berdempetan dengan tombol Play. Asli, nggak sadar sampai bingung kok nggak ada suaranya..dan, arghh 10 detik terhapus dari bagian awal lagu favorit saya Dirty Magic. Bodoh nian, saking kecewanya, saya berusaha merekam bagian hilang tersebut dengan cara mutung menanti lagu itu nongol di radio dan segera merekamnya langsung pada bagian yang disasar, klik tombol Record. Yah, rencana konyol itu akhirnya tidak terjadi sama sekali karena selalu ketinggalan start.

Bertahun-tahun berlalu, hingga akhirnya saya bekerja di sebuah penerbitan di Bandung. Ketika saya melakukan ritual ngubek cd bekas di loakan perempatan Cihapit, tiba-tiba jemari saya menyentuh sebuah cd bekas The Offspring, tak lain Ignition. Wow, ternyata masih ada peninggalan album itu, dan terjadilah tawar menawar dengan pemilik kios, lalu terbeli Rp40 ribu dengan kondisi Very Good.

Nostalgia berlanjut dengan lagu-lagu dari album yang saya sebut sebagai album terbaik the Offspring, bersama album Smash.  Mereka mengusung musik punk crossover, namun lebih dekat ke arah metal punk. Para personilnya, Dexter Holland (vokal), Noodles (gitar), Greg K (bas), dan Ron Wealty (drum).

Album Ignition, berisi 11 materi lagu dengan kekuatan penuh dan cepat. Dari beberapa lagu, Dirty Magic menjadi favorit, dengan petikan gitar menyusur seperti Fade to Black atau Sanatorium, Metallica. Bahkan saya sampai mencoba menguliknya dirumah. Beberapa lagu yang berlirik motivasi yang agresif, seperti Get It Right, Kick Him When His Down, atau Take it Like A Man, sungguh bisa menjadi penambah semangat kita ketika memulai segala aktifitas di pagi hari.

Pesan berbahaya juga hadir di lagu-lagu seperti Burn it Up, tentang menjadi seorang penyulut api; dan L.A.P.D., yang penuh kecaman terhadap para polisi di kota Los Angeles yang dahulu dikenal ringan tangan alias penyuka kekerasan sebagai solusi mengatasi keamanan dan kejahatan, khususnya saat kerusuhan kota L.A. di dekade 1990-an.  

Mendengar album ini seperti menemukan band The Offspring yang sebenarnya. Beberapa album setelah Smash, sungguh mengecewakan. Rada picisan dan ndak asyik hahaha Yah, musik berkembang, begitu juga mereka. Well, setidaknya, album ini menampilkan salah satu momen seru dari empat anak muda California Selatan ketika meraungkan ekspresi musik mereka kepada generasinya.